Komisi Pemilihan Umum resmi menetapkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden-wakil presiden terpilih. Pascareformasi ada kecenderungan presiden terpilih merangkul semua tokoh politik, termasuk rivalnya saat kampanye. Pilihan politik ini membuat Ulil Abshar-Abdalla gelisah dalam analisis politik, ”Lemahnya Oposisi dan Budaya Harmoni” (Kompas, 25/4/2024).
Budaya ewuh pakewuh, yang bersumber dari mental feodal, masih tumbuh subur dan mengalir deras lintas generasi Indonesia. Kalaupun ada perbedaan karakter antardaerah (suku), nuansanya tipis sekali dan tetap menganut pola patriarki dalam menyelesaikan masalah atau konflik. Akhirnya semua perbedaan bisa diredam atas nama musyawarah, roh demokrasi yang terdoktrin mendarah daging di segenap lapisan masyarakat, sejak anak kenal bangku sekolah, masuk dunia kerja, hingga bermasyarakat.
Kalau ada segelintir yang berani beda/oposisi meski jujur sesuai karakter asli, akan dianggap aneh, tidak sopan, dan dikucilkan. Meski budaya komunal dikritik menghambat perkembangan individu, hal itu terbukti mampu mengamankan status apa pun posisinya, apalagi bagi pucuk pimpinan.
Budaya komunal secara alamiah membangun sikap tahu sama tahu dalam tim. Intinya aman diri sendiri dan barisan pengikutnya, di luar kelompok ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu meski atas nama demokrasi sebenarnya ini pemaksaan karena yang tidak suka terpaksa adaptif meski mengingkari hati nurani.
Merebaknya kasus korupsi di semua lini bermula dari sikap permisif ini. Memalukan bagi bangsa yang gemar klaim sebagai bangsa berbudaya tinggi, berbudi pekerti, dan menjunjung religi. Kalau mau realistis, inilah ciri khas budaya Indonesia, sikap purbawi berkembang di era 5.0.
Budaya komunal menjadi pilihan masyarakat Indonesia, termasuk para presiden era reformasi, khususnya mulai era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudoyono, Joko Widodo, dan kini Prabowo Subianto. Pilihan ini untuk menciptakan relasi harmonis dan meminimalkan konflik. Gus Dur adalah satu-satunya Presiden RI yang bersikap sesuai karakter aslinya, tetapi dimakzulkan karena tidak mau mengikuti keinginan elite politik yang merasa tidak ”kebagian” apa-apa. Setelah Gus Dur kita baru sadar banyak kebijakannya yang membumi, seperti UU Otonomi Daerah, mencabut berbagai TAP MPR yang diskriminatif, dan perbaikan gaji PNS.
Sikap membangun koalisi besar di tingkat elite politik sebenarnya membentuk dua kelompok stratifikasi sosial kontras, yang kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Kompas TV memberitakan mobil Mario Dandy dilelang mulai Rp 809 juta, sementara seorang juru parkir di Riau mencuri satu dus susu untuk anak balitanya karena tak mampu membeli.
Mengingat budaya patron-klien masih menjadi model, para pemimpin, elite politik, tokoh agama, dan tokoh masyarakat mohon memberikan teladan nyata dalam perbuatan, ucapan, dan sikap. Seperti anak-anak masyarakat akar rumput itu sederhana sekali, yaitu melihat, mendengar, dan meniru. Selamat kepada pemimpin terpilih. Karakter kepemimpinan nasional akan menentukan masa depan 270 juta penduduk Indonesia.
Yes Sugimo
Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung