Terima Kasih atas Segala Pemberianmu kepada Puisi, Jokpin
Kata-kata tak perlu lagi kau kejar bagai berburu kuda liar di padang-padang sabana.
Puisi paling rahasia itu pada akhirnya Ia berikan kepadamu. Kata-kata tak perlu lagi kau kejar bagai berburu kuda liar di padang-padang sabana. Ia bawakan kau setumpuk kata, jumlahnya melebihi kamus paling lengkap yang pernah kau kutip. Oh ya, Jok, Ia juga sudah lama menunggumu di tapal batas; antara garis pernyataan dan impian, garis kenyataan dan imajinasi.
Setidaknya sejak Januari, di mana kita saling bercerita di ruang tamu rumahmu yang sempit dan penuh buku, bahwa kau tak ingin dicap egois. Katamu, kata boleh datang setiap hari, kalimat-kalimat boleh pula berdesakan di pintu masuk, dan puisi silakan menjelma di bantal tidurmu, tetapi hari itu tidak ada puisi. Lalu kau bertanya, apa gunanya puisi jika disesaki perasaan egois?
Sepenuhnya aku belum mengerti apa yang kau ceritakan. Soalnya, begini Jok, bukankah penyair akan lebih produktif jika sedang kesusahan, bersedih, atau terasing di kota yang jauh? Kupikir itu sudah jadi ”mitos” di antara para penyair di negeri ini, bukan? Mungkin kau memang ”makhluk” berbeda, penyair yang tidak mau aji mumpung: menulis karena sesuatu yang diberikan. Bahwa penyair bukan penunggu yang sabar. Ia harus bekerja, mengejar kata-kata, dan menjamah wilayah-wilayah terjauh yang bisa kau jejaki.
”Buat apa puisi jika abai pada soal-soal manusiawi, menghargai mereka yang telah berusah-payah menyelamatkan hidupmu…,” katamu. Waktu itu istriku, Joan Arcana, sampai memperingatkanmu:
”Jangan terlalu banyak cerita, Mas. Oksigen itu kamu butuhkan untuk menarik umur sampai jauh,” katanya.
Kau cuma nyengir seperti biasa.
”Ya, sudah lama aku meninggalkan kebiasaan merokok itu. Itu lihat…,” ujarmu sambil menunjuk ke bawah ranjangmu. Sebuah mesin bernama oxygen concentrator teronggok manja.
”Itu alat untuk menghasilkan oksigen, tetapi tabung oksigen tetap juga disiapkan istriku,” katamu.
Buat apa puisi, jika abai pada soal-soal manusiawi, menghargai mereka yang telah berusah-payah menyelamatkan hidupmu...
Baru pertama kali aku melihat alat yang serupa dengan speaker wireless itu. Alat ini yang senantiasa terhubung dengan selang ke sebuah selubung seperti masker dan melekat seterusnya di mulut dan hidungmu.
”Sungguh ini tidak nyaman,” katamu tiba-tiba melepas masker.
Kau minta tolong anak sulungmu, Wahyu Wibisono, untuk mengangkat badanmu agar sedikit lebih tegak. Kulihat kau merasa lebih nyaman.
Sepertinya, itu pertanda kau siap bercerita lebih panjang lagi. Terus terang kami agak khawatir, tetapi rupanya ceritamu sudah tidak terbendung lagi.
Begini, katamu. Aku sudah terlalu lama merepotkan Nur, istriku. Dia, kan, juga harus bekerja, menemui murid-muridnya di sekolahan. Jadi, aku malah sering kali memintanya untuk mengajar saja, aku akan baik-baik saja di rumah. Toh, masih ada asisten rumah tangga yang siap membantuku jika butuh sesuatu. Sering kali bahkan Paskas, maksudku anak sulungku, yang pulang ke rumah. Dia tinggal di kota lain, tetapi selalu siap menemaniku selama aku sakit.
(Sewaktu kami bercerita, Paskas sedang istirahat di dalam kamarnya. Semalam ia begadang menemani ayahnya di ruang tamu).
Begitulah, sejak Oktober tahun lalu, aku bolak-balik ke rumah sakit. Bahkan suatu kali, katanya, aku tidak ingat secara pasti, aku sudah hampir lewat. Napasku tiba-tiba putus dan orang-orang cemas lalu menangis. Entahlah, mungkin ada mukjizat, tiba-tiba aku sadar lagi. Benar seperti yang diceritakan Mas Butet (Butet Kartaredjasa), bahwa mukjizat itu nyata. Bukankah dia sudah mengalami juga?
Napasku tiba-tiba putus dan orang-orang cemas lalu menangis. Entahlah, mungkin ada mukjizat, tiba-tiba aku sadar lagi.
Sejak mengalami koma itu, ada yang berbeda padaku. Jangan dikata, baris-baris puisi itu berjejalan ingin segera ditulis. Mungkin kalau aku menuliskannya, sudah jadi satu buku antologi, yang kalau orang baca pasti isinya tentang kesakitan dan Tuhan. Namun, itu tadi, aku tidak bisa egois. Puisi tidak menjadi prioritas untuk segera ditulis. Aku ingin sembuh sebagai apresiasiku kepada orang-orang di sekelilingku, yang dengan segala dedikasinya berusaha menyelamatkan nyawaku.
Mereka sudah berkorban waktu, tenaga, bahkan banyak uang. Kalau aku cuma memikirkan puisi, sudah jelas itu riwayat kepenyairanku bisa dipertanyakan. Kok, penyair yang saban hari bergelut dengan kata-kata bijak dan filsafat hidup bersikap tidak simpatik. Itu yang aku tidak bisa terima. Bukan ingin menempatkan penyair sebagai pedoman moral, itu kan jadi bagian dari pelajaran yang diberikan agama. Bukan, penyair bukan orang suci. Namun, setidaknya segala tingkah dan perilakunya selaras dengan apa yang dia dengungkan lewat tulisannya.
Kau pasti setuju aku kan, Can?
Baca juga: Derai Pohon-pohon Kesedihan
Aku mencoba memegang tanganmu. Terasa kisut dan dingin. Kau yang sejatinya memang sudah kurus, sekarang jadi jauh lebih kurus lagi. Tonjolan tulang pipi dan pelipismu membuat raut mukamu sedikit berubah. Selain pucat, juga tampak seperti bukan Jokpin yang kukenal selama ini. Dulu, kau seperti puisi-puisimu, tenang, detail, dan penuh perhatian kepada setiap orang. Waktu itu, di bulan Januari kau tampak gelisah, kurang tenang, dan gusar.
”Ya itu tadi, makin seperti ini, aku makin menjadi beban bagi orang lain,” katamu.
Kemudian, tanpa persetujuan kami, kau melanjutkan ceritamu dengan sedikit emosional.
Rahasia sebuah puisi bukan pada penemuan kata-kata. Aku mungkin penyair yang mencoba mencari irisan antara puisi-puisi Chairil (Anwar) dan Sapardi (Djoko Damono) sehingga (merasa) menemukan wilayah yang lebih akrab. Bahwa puisi itu sehari-hari, sesuai dengan lingkungan hidup manusia yang paling terkini. Kau boleh menulis tentang nostalgia, perasaan-perasaan kesedihan, tetapi kan tidak boleh menghindar dari mempercakapkan tentang segala bentuk peristiwa yang datang kepadamu setiap hari.
Oleh sebab itulah, aku menggabungkan antara pencarianku tentang hakikat hidup dengan benda-benda sekitar yang akrab dengan kita semua. Bahwa di sekeliling kita sekarang ada gadget, tablet, atau benda-benda teknologi lain, yang menjadi keniscayaan. Soalnya, tinggal bagaimana memadukan benda-benda itu agar itu luluh ke dalam puisi, tidak sekadar tempelan, dan tetap mengantarkan pesan atau nilai.
(Maaf, aku sela sedikit cerita Jokpin. Penyair kelahiran 11 Mei 1962 ini banyak menulis perihal telepon genggam. Coba kita simak puisi berjudul ”Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Berkantor di Ponselnya”).
Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
Nomor-nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomorMu.
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor
yang tak pernah kausapa.
(2018)
Sebuah logika yang ”nakal” tengah diperagakan Jokpin. Sesungguhnya ia sedang ”mengejek” kita semua, termasuk dirinya, yang kini hampir-hampir tidak bisa lepas dari telepon genggam. Bahkan, seluruh ingatan dan daya nalar kita pasrahkan kepadanya sehingga, ketika terjadi sebuah insiden, kita semua seperti kehilangan segalanya. Di situlah, dalam kebuntuan logika, barulah manusia mengingat Tuhan.
Ketika kau berdoa untuk sebuah telepon genggam kepada Tuhan, sangat mungkin Tuhan menjawabnya, ”Dan itulah satu-satunya nomor/yang tak pernah kausapa”. Kalimat penutup itu jelas mengandung kenakalan, ejekan, kritikan, dan peringatan. Kini, mungkin kita semua sudah ”menuhankan” telepon genggam sehingga abai kepada perjalanan sesungguhnya di dunia: menyusuri jalan ketuhanan itu.
Kau kemudian melanjutkan bercerita.
Puisi paling rahasia itu bukan pada kamus, melainkan pada keberadaan kita di tengah-tengah orang lain. Oleh sebab itu, aku bertekad sembuh bukan karena ingin sehat, melainkan karena ingin menghormati yang telah dilakukan orang lain kepadaku. Mungkin terdengar absurd bagi sebagian besar orang. Namun, selama aku terbaring ini, itulah renungan-renunganku. Sebuah buku puisi pertama-tama menjadi pencapaian kepenulisanku sebagai seorang penyair, kedua mungkin memenuhi hasrat ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman hidupku kepada banyak orang.
Keduanya, jalan kemuliaan dalam hidup ini. Namun, coba renung-renung ulang. Bukankah kita ada karena orang-orang di sekitar kita? Aku akan menjadi sangat egois jika segala kesakitanku ini aku tulis menjadi puisi. Dan, itu akan menjadi puisi paling egoistis selama karier kepenyairanku yang sudah berjalan puluhan tahun. Oleh karena itu, aku bertekad sembuh.
Baca juga: Sihir Jimat Harimau dan Pemburu yang Diburu
”Doakan saja…,” katamu sambil mengepalkan tangan.
Kemudian kau minta tubuhmu dibaringkan lagi. Cukup pegal jika harus terus bersandar di bantal dengan posisi tubuh tegak.
Entahlah, seluruh ceritamu itu aku rekam baik-baik dalam ingatanku, Jok. Sesungguhnya aku ingin kembali membesukmu setelah dikabarkan menerima pengurapan minyak suci dari seorang romo beberapa hari lalu. Sepemahamanku, itu pertanda kau dalam kondisi kritis dan keluarga sudah pasrah menerima apa pun yang akan terjadi.
Benar saja, tak berselang dua hari kau dilarikan ke rumah sakit kembali. Dan, kabar duka itu singgah di telepon genggamku pada Sabtu, 27 April 2024 pukul 06.35 WIB. Sementara kau sudah pergi dan lenyap bersama rahasia puisi pada pukul 06.03 WIB di RS Panti Rapih Yogyakarta.
Secepat kilat aku beranjak ke Yogyakarta. Sengaja aku naik kereta dari Stasiun Gambir Jakarta. Aku ingin memiliki waktu untuk mencoba memahami seluruh kata-kata yang kau ceritakan kepadaku pada 22 Januari 2024 lalu itu. Aku ingin menyelam ke dalam rahasia puisi yang barangkali tetap kau rahasiakan dan kau bawa ke dalam kuburmu di Dusun Demangan, Desa Minomartani, Ngemplak, Sleman. Dusun ini adalah dusun kecil, tempat orangtuamu berasal mula. Bahkan, ibumu, Lusia Ngasilah, yang kini telah berusia lebih dari 80 tahun, tinggal bersama anak bungsumu, Maria Azalea Anggraeni.
Di malam perjalananku kembali ke Jakarta, beberapa jam setelah menghadiri pemakamanmu, aku tersentak di dalam kereta. Bukankah puisi paling rahasia itu adalah Zat Mahasuci, yang sering kali kau sebut-sebut sebagai Tuhan itu, Jok? Seberapa jauh pun perjalanan seorang penyair, ia tetap berkeinginan memahami dan bahkan membongkar rahasia tersuci yang bisa disentuh dengan ketajaman intuisi dan imajinasinya.
Begitulah Jok, mungkin ini terkesan mengada-ada karena aku asyik bermain-main dengan penalaranku untuk memahamimu seutuhnya. Namun, satu hal yang pasti, kami semua berterima kasih atas segala pemberianmu kepada puisi. Kini, kami memahami satu hal: bahwa puisi tidak perlu mengambil jarak dengan kehidupan nyata, tidak perlu merasa membawa pesan suci dari Tuhan, dan tidak perlu merasa gagah apalagi sombong karena merasa diri menerima wahyu. Puisi adalah senyata-nyatanya hidup sehingga tidak ada lagi rahasia dan nganga luka di antara kita.
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022, sastrawan, sutradara, perupa, pengajar Creative Writing di London School of Public Relations (LSPR) Jakarta.