AI dan Masa Depan Pendidikan
Pendidikan masa depan, dengan bantuan AI, harus dikembalikan pada tujuan asalnya: mendidik manusia menjadi manusia.
Tantangan teknologi kecerdasan buatan (AI) terhadap dunia pendidikan mulai dirasakan sangat masif ketika AI generatif tersedia untuk publik.
Para pendidik pusing bagaimana mengevaluasi tugas siswa/mahasiswa saat mereka bisa dengan mudah menjawab soal atau menyusun esai dengan bantuan AI generatif seperti ChatGPT dan Google Bard.
Selain itu, pentingnya kehadiran guru/dosen di kelas mulai dipertanyakan mengingat siswa/mahasiswa kini sudah bisa bertanya apa saja pada mesin AI generatif. Bahkan, kini sudah muncul ide untuk mengganti kehadiran guru di kelas dengan robot yang dilengkapi dengan sistem AI (Bushweller, 2020).
Ukuran pasar teknologi AI di sektor pendidikan juga semakin meningkat. Dari 363,7 juta dollar AS (2020) menjadi 556,9 juta dollar AS (2021) (Grand View Research). Peningkatan sangat fantastis terjadi pada 2022, mencapai 2,5 miliar dollar AS. Ukuran pasar AI itu diprediksi terus meningkat dan diperkirakan 88,2 miliar dollar AS pada 2032 (Allied Market Research).
Baca juga : Kejutan AI Mendidik Generasi Baru
Aplikasi AI di sektor pendidikan yang pasar paling besar adalah platform pembelajaran dan fasilitator virtual dan diikuti oleh sistem tutor cerdas (intelligent tutoring system). Keduanya bersentuhan langsung dengan peran krusial yang selama ini dimainkan guru/dosen. Sistem tutor cerdas, misalnya, benar-benar melakukan apa yang secara umum dilakukan guru/dosen selama ini: memberikan instruksi dan umpan balik bagi siswa/mahasiswa.
Melihat perkembangan ini, kita perlu memikirkan ulang masa depan pendidikan di era AI. Pendidikan ini hendak diarahkan ke mana?
Reorientasi pendidikan
Sejumlah aplikasi AI di sektor pendidikan, seperti fasilitator virtual dan sistem tutor cerdas, banyak bergantung pada sistem AI generatif dan, lebih spesifik, pemroses bahasa alamiah. Sistem ini memang merupakan jenis AI yang didesain dengan pendekatan tes Turing (Russell & Norvig, 2022: 19).
Kategori cerdas pada sistem itu didasarkan pada ketakterbedaannya dengan perilaku manusia. Saat sebuah sistem bisa berperilaku dengan cara yang tak bisa dibedakan lagi dari manusia, berarti ia adalah sebuah sistem yang cerdas.
Kecanggihan sistem AI itu bisa memberikan sejumlah manfaat bagi pendidik sendiri. Selama ini sering muncul keluhan tentang beban administratif yang berlebihan. Dengan hadirnya teknologi AI, beban administratif pendidik harusnya bisa dikurangi, bahkan ditiadakan sama sekali dengan dialihbebankan sepenuhnya ke mesin.
Laporan dan perencanaan kegiatan pembelajaran, misalnya, bisa dialihbebankan pada sistem teknologi AI. Para dosen tak perlu dituntut membuat pedoman beban kerja dosen (BKD) dan lembar kinerja dosen (LKD) tiap semester. Semua sudah terekam secara otomatis di sistem. Dengan demikian, mereka bisa fokus pada pengembangan diri dan pembaruan bahan ajar terus-menerus.
Selain dampak positif, teknologi AI juga menghadirkan beberapa tantangan bagi dunia pendidikan. Masifnya AI generatif membuat pendidik bingung bagaimana mengevaluasi hasil pekerjaan siswa/mahasiswa. Mereka akan sulit membedakan apakah itu hasil pekerjaan manusia atau mesin. Oleh karena itu, perlu reorientasi pendidikan di era AI ini.
Menurut Priten Shah (2023: 32), pendidikan masa kini dan masa depan seharusnya tak didesain untuk menciptakan ”generator”, tetapi untuk melahirkan ”evaluator”. Generator memiliki keterampilan menghasilkan sesuatu, yang dalam tahap tertentu kini sudah bisa diganti oleh teknologi AI. Evaluator memiliki keterampilan untuk menilai sesuatu secara tepat.
Untuk memiliki keterampilan ini, perlu sejumlah keterampilan lain, seperti keterampilan berpikir kritis dan analitis.
Pendidikan masa depan, dengan bantuan AI, harus dikembalikan pada tujuan asalnya: mendidik manusia menjadi manusia, bukan melatih manusia menjadi pekerja.
Dengan demikian, orientasi pendidikan masa depan seharusnya bukan lagi untuk melahirkan generasi yang bisa membuat sesuatu, melainkan generasi yang bisa mengevaluasi sesuatu secara tepat. Keterampilan teknis seharusnya tak lagi menjadi orientasi utama pendidikan. Pendidikan masa depan, dengan bantuan AI, harus dikembalikan pada tujuan asalnya: mendidik manusia menjadi manusia, bukan melatih manusia menjadi pekerja.
Keterampilan filosofis
Evaluator selalu berpikir dalam kerangka normatif: apa yang baik/buruk atau apa yang seharusnya ada/tidak ada. Dalam banyak percakapan publik, berpikir normatif memiliki makna peyoratif. Ia sering dipahami sebagai cara berpikir yang sekadar berdasarkan pada norma yang sudah jelas.
Jika norma yang diterima mengatakan A itu buruk, seseorang yang berpikir normatif akan mengatakan A itu buruk. Seolah tidak ada aktivitas berpikir sama sekali dalam cara berpikir normatif.
Namun, bukan cara berpikir dangkal semacam itu yang dimaksud berpikir normatif seorang evaluator. Apa yang baik/buruk tak selalu jelas dengan sendirinya atau ternyatakan secara eksplisit dalam norma. Karena itu, menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk tak pernah mudah. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Selain itu, nilai baik/buruk bukan kategori biner all-or- nothing, yang mengandaikan jika sesuatu itu baik maka mutlak baik dan jika sesuatu itu buruk maka mutlak buruk. Nilai baik/buruk itu bersifat gradual. Ada spektrum kebaikan-keburukan dan, karena itu, ada kasus tengah-tengah (borderline case) antara baik dan buruk.
Karena itu, berpikir normatif sebenarnya tak pernah mudah kecuali mengasumsikan kebaikan/keburukan adalah kategori biner all-or-nothing. Namun, asumsi demikian justru akan menjauhkan kita dari kenyataan. Apa yang kita temui di kenyataan hidup tidak selalu merupakan sesuatu yang mutlak baik atau mutlak buruk.
Oleh karena itu, untuk menjadi evaluator diperlukan keterampilan khusus, keterampilan filosofis. Ini mencakup keterampilan kognitif dan emotif, mulai dari berpikir kritis, analitis, kreatif, dan imajinatif, hingga kemampuan untuk peka dan berempati pada orang lain.
Baca juga : Pendidikan Tinggi Didorong Adopsi dan Integrasikan Kecerdasan Buatan
Dengan sepaket keterampilan filosofis ini, manusia masa depan dapat menavigasi hidupnya di tengah-tengah mesin bertenaga AI. Ia tak akan menjadi manusia yang diperbudak mesin. Dengan demikian, masa depan pendidikan sebenarnya bertumpu pada filsafat. Jika pendidikan tetap diinginkan menjadi suatu proses sosial yang relevan dan bernilai, ia harus diarahkan pada tujuan untuk mendidik manusia yang memiliki kecerdasan evaluatif, suatu kecerdasan yang berguna untuk hidup bersama dengan entitas cerdas nonmanusia.
Siti Murtiningsih,Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada