Perlukah Mundur dari Pemeringkatan Internasional
Kampus di Indonesia perlu menahan diri untuk tak ikut-ikutan memboikot pemeringkatan internasional.
Ilustrasi
Keputusan University of Zurich (UZH) baru-baru ini untuk menarik diri dari pemeringkatan universitas internasional pada 2024 cukup mengejutkan.
Dikutip laman berita, keputusan besar untuk mundur dari pemeringkatan seperti Times Higher Education (THE) World University Rankings dan QS World University Rankings ini diambil guna mengeliminasi segala bentuk kompetisi tak sehat yang fokusnya hanya jumlah publikasi dibandingkan mengutamakan kualitas konten.
Sebelumnya, Utrecht University yang menduduki peringkat 100 besar juga telah mengambil langkah serupa. Tiga universitas bergengsi China, Renmin University of China, Nanjing University, dan Lanzhou University, juga menyatakan tak lagi mengikuti pemeringkatan internasional yang dinilai tidak sesuai dengan karakteristik pendidikan China yang ingin mereka kembangkan.
Universitas Renmin memutuskan mundur dari pemeringkatan internasional karena tak pernah masuk 500 top dunia. Padahal, kualitas pendidikan mereka diklaim tak kalah dari universitas ternama lain, seperti Fudan dan Shanghai Jiao Tong. Ini membuat pihak universitas ragu apakah keikutsertaan di kompetisi pemeringkatan ini benar-benar memberi manfaat bagi universitas.
Baca juga: Matinya Peringkat Global Perguruan Tinggi
Penggunaan pemeringkatan internasional semakin meminggirkan universitas-universitas kecil telah banyak disorot. Di AS, misalnya, pemeringkatan umumnya menguntungkan universitas-universitas besar yang punya sumber daya finansial dengan dana abadi yang lebih besar, seperti UCLA.
Mereka memiliki privilese untuk mengalokasikan dana secara fleksibel guna meningkatkan hasil penelitian dan publikasi. Termasuk untuk mendanai biaya open access untuk jurnal internasional bereputasi, yang dapat meningkatkan jangkauan pembaca dan sitasi, sebagai metrik penilaian penting yang menjadi dasar pemeringkatan global.
Pola serupa terjadi di Hong Kong, yang dalam 10 tahun terakhir telah menjelma menjadi pusat pendidikan dunia baru. Perguruan tinggi (PT) negeri yang mendapat suntikan dana operasional dan penelitian besar dari pemerintah umumnya mampu merekrut dosen-dosen kelas dunia dengan gaji fantastis.
Tujuannya untuk meningkatkan peringkat universitas melalui publikasi dan internasionalisasi. Keistimewaan ini tak banyak dimiliki kampus swasta yang sumber pendanaannya lebih independen sehingga menimbulkan kesenjangan perolehan skor pemeringkatan global.
Pun terjadi di Indonesia. Insentif dan dukungan finansial untuk kegiatan penelitian dan publikasi umumnya lebih baik pada universitas-universitas besar. Kampus-kampus ini juga mampu mendatangkan ahli kaliber dunia untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas luaran hasil riset. Pada saat yang sama, masih ada kampus-kampus yang bahkan untuk sekadar membiayai perjalanan konferensi dalam negeri pun tak sanggup.
Kenyataan ini menunjukkan, disparitas sumber daya dan bancakan naik peringkat telah menimbulkan ketidakadilan bagi universitas-universitas kecil.
Selain kesenjangan di antara universitas, Welch (2023) baru-baru ini menemukan adanya kesenjangan di antara disiplin ilmu. Beberapa pemeringkatan internasional, menurut dia, bias terhadap sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) sehingga mengabaikan pentingnya metode dan disiplin ilmu lain, seperti humaniora dan ilmu sosial.
Dengan adanya komplikasi isu pemeringkatan di atas, pertanyaannya, perlukah universitas-universitas di Indonesia juga menarik diri dari pemeringkatan universitas internasional?
Dengan demikian, jika kita juga berpikir untuk keluar dari pemeringkatan internasional, penulis justru khawatir keputusan itu menjadi salah langkah.
Perspektif calon mahasiswa dan dunia usaha
Bagi calon mahasiswa, memilih universitas merupakan sebuah keputusan besar. Mereka ingin memastikan bahwa mereka membuat pilihan terbaik untuk masa depan mereka. Dengan melihat peringkat internasional, mereka bisa mengetahui kekuatan dan kelemahan berbagai institusi pendidikan, serta reputasi universitas, baik secara keseluruhan maupun rumpun keilmuan tertentu.
Memang benar, peringkat dunia bukan satu-satunya faktor dalam memilih universitas, sebagaimana pertimbangan penulis ketika memilih Lingnan University di Hong Kong sebagai opsi untuk melanjutkan studi doktoral. Dari pemeringkatan, Lingnan berada di peringkat ke-641 dunia, sedangkan UGM saat ini peringkat ke-263 dunia (versi QS World Ranking) sehingga sebenarnya jauh lebih bergengsi untuk menempuh pendidikan doktoral di UGM.
Namun, untuk kajian kebijakan sosial di Asia, Lingnan adalah leading university, seperti Universitas Nasional Taiwan di Taiwan atau Yonsei di Korea Selatan. Selain itu, studi doktoral juga sangat personal. Preferensi studi dan keahlian calon dosen pembimbing jauh lebih penting dibandingkan universitas itu sendiri dan tidak semua universitas dapat mengakomodasi minat studi calon mahasiswa yang sangat spesifik.
Pertimbangan lain calon mahasiswa adalah kepastian bahwa universitas yang dipilih bisa memberikan koneksi ke dunia kerja di masa depan. The World University Rankings 2023 menekankan kelayakan kerja sebagai metrik utama.
Dari sisi dunia industri, peringkat internasional dapat menyederhanakan proses perekrutan kerja. Dengan berfokus pada universitas yang memiliki nilai kelayakan kerja tinggi, perusahaan dapat menargetkan rekrutmen mereka secara lebih efisien, untuk membidik lulusan yang tidak hanya piawai dalam kemampuan akademis, tetapi juga soft skill dan pengalaman praktis yang diperlukan dalam dunia profesional.
Ini mungkin luput dari perhatian kita yang hanya terfokus pada kelemahan pemeringkatan global saja, karena titik kritik ditujukan pada target publikasi. Tanpa disadari, semakin banyak pemeringkatan menyoroti universitas-universitas di negara berkembang yang mengalami kemajuan signifikan dalam kualitas pendidikan dan penelitian.
Contohnya, Academic Ranking of World Universities (ARWU) 2022, yang menampilkan beberapa universitas dari Asia dan Afrika, menandai pergeseran menuju representasi yang lebih inklusif dengan lebih mempertimbangkan keberagaman, kesetaraan, inklusivitas, sehingga dianggap paling mendemokratisasi proses pemeringkatan.
Dalam rilisnya, ARWU menyatakan, dengan indikator yang diperbarui itu, dua universitas asal China, Central South University (95) dan Nanjing University (96), untuk pertama kalinya masuk ARWU Top 100; serta 35 universitas lainnya masuk dalam Top 1.000.
Munculnya ARWU menunjukkan bahwa ke depan, sangat mungkin akan ada banyak penyesuaian metrik pada pemeringkatan global yang lebih adil dan demokratis.
Mengambil sikap
UZH dan universitas-universitas lain dalam daftar yang memboikot pemeringkatan global telah memiliki semua yang diperlukan (pre-condition advantages) untuk menjadi universitas unggul, bahkan tanpa harus berada di lembaga pemeringkatan mana pun. Mulai dari reputasi, budaya akademis, produktivitas, sampai sense of knowledge production yang telah menjadi tanggung jawab moral akademisinya—daripada sekadar tanggung jawab administratif.
Yang tidak wajar adalah tingginya beban administrasi berlebih sehingga mengalihkan fokus dosen dari apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab moral-intelektualnya.
Sementara itu, akumulasi produk pengetahuan yang sudah mereka hasilkan puluhan tahun, misalnya dalam bentuk paten, juga telah banyak terhilirisasi ke sejumlah negara, sehingga memungkinkan mereka juga memiliki sirkulasi arus finansial yang berkelanjutan.
Bayangkan jika kampus-kampus di Indonesia melakukan langkah boikot terhadap pemeringkatan global, sementara institusi pendidikan tinggi kita masih berjuang melawan masalah disintegritas akademik yang serius.
Dengan demikian, jika kita juga berpikir untuk keluar dari pemeringkatan internasional, penulis justru khawatir keputusan itu menjadi salah langkah. Bukan tidak mungkin kita akan semakin sering mendengar dosen-dosen yang jarang terlibat dalam penelitian, tidak ada publikasi yang dihasilkan atau sekalinya ada terbit di jurnal predator, atau dosen yang sering keluar kelas untuk pekerjaan sekunder dan sebagainya.
Oleh karena itu, kampus di Indonesia perlu menahan diri untuk tak ikut-ikutan memboikot pemeringkatan internasional hingga setidaknya prasyarat ”paling minimal”, seperti integritas akademik, sudah setara dengan salah satu saja kampus yang mengundurkan diri.
Baca juga: Persoalan ”World Class University” Kita
Bagi kampus-kampus di Indonesia, pemeringkatan global masih menjadi alat yang paling realistis untuk menciptakan iklim persaingan yang sebenarnya masih sangat rendah. Disparitas yang ada semestinya diatasi dengan intervensi pemerintah untuk meredistribusi kesempatan melalui pendanaan dukungan riset ke lebih banyak universitas. Ini masih sangat mungkin mengingat alokasi untuk R&D kita baru 0,24 persen dari PDB, salah satu terendah di dunia.
Pun bertahan pada sistem pemeringkatan global tidak berarti bahwa kampus harus mengorbankan kualitas konten dan mengutamakan jumlah publikasi sebagai yang utama. Faktanya, fokus, apakah proporsi jumlah publikasi yang lebih besar, kualitas konten, atau keduanya, masih menjadi pilihan yang dapat dinegosiasikan sehingga kampus tidak dipaksa harus berorientasi sebagai mesin pencetak artikel jurnal, tulisan buku, dan prosiding semata.
Toh, kebijakan target publikasi bagi dosen di Indonesia saat ini masih sangat wajar. Misalnya, untuk jabatan tertinggi seperti guru besar, prasyarat untuk mendapatkan haknya adalah menghasilkan minimal satu karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi. Untuk jabatan lain di bawahnya, masih ada opsi untuk memublikasikan karya ilmiahnya di platform jurnal nasional yang terindeks SINTA.
Yang tidak wajar adalah tingginya beban administrasi berlebih sehingga mengalihkan fokus dosen dari apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab moral-intelektualnya. Inilah ujung tombak permasalahan sebenarnya yang harusnya masuk dalam daftar prioritas reformasi pendidikan tinggi Tanah Air ketimbang ikut-ikutan berkeinginan keluar dari pemeringkatan internasional.
Tauchid Komara Yuda, Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM