Reindustrialisasi dan Insentif Likuiditas Makroprudensial
Agar kondisi deindustrialisasi saat ini tidak berlanjut, pemerintah perlu segera melakukan reindustrialisasi.
Oleh
ARDHIENUS
·4 menit baca
Indonesia tengah menghadapi gejala deindustrialisasi dini. Kondisi ini setidaknya tergambar dari sumbangan sektor industri terhadap produk domestik bruto yang kian menyusut secara perlahan. Bersandar pada data Biro Pusat Statistik, fenomena deindustrialisasi menampakkan hilalnya mulai 2002 dan makin terakselerasi sejak 2008.
Sebagai ilustrasi, pada periode 2002 kontribusi sektor industri masih cukup tinggi, mencapai 28,25 persen, meski menurun ketimbang 2001 yang mencapai 29,05 persen. Lalu, pada 2008 porsi industri manufaktur terhadap PDB nasional kembali menciut menjadi 27,8 persen dan lalu merosot menjadi 22 persen pada 2010. Saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, peran sektor pengolahan semakin mengecil ke 19,8 persen pada 2020 dan pascapandemi turun lagi menjadi 18,67 persen pada akhir 2023.
Dari sisi pertumbuhan sektor industri juga setali tiga uang seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebelum krisis 1997, pertumbuhan sektor industri mencapai 12 persen per tahun melebihi pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 7-8 persen. Namun, semenjak krisis ekonomi hingga saat ini, kinerja sektor industri terus menurun dan belum bisa kembali seperti kondisi sebelum krisis.
Penurunan kontribusi sektor industri secara berlanjut sebelum waktunya itu tentu tidak menguntungkan bagi ekonomi Indonesia. Ini juga yang barangkali menyebabkan ekonomi Indonesia tumbuh stagnan di kisaran 5 persen.
Padahal, sektor industri sangat diharapkan peranannya menjadi motor penggerak dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pengentasan rakyat dari kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi tingginya tingkat pengangguran. Apalagi kita tahu bahwa penduduk produktif Indonesia juga sangat besar dengan mayoritas lulusan sekolah menengah atas. Sektor industri yang paling mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan demografi seperti itu.
Kondisi yang tak menguntungkan itu juga dapat membuat keinginan Indonesia menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi pada 2045 akan kian sebatas mimpi saja. Sebab, untuk bisa menjadi negara maju, rasanya peranan manufaktur terhadap PDB harus maksimal dan menjadi strategi utama untuk membangun ekonominya. Beberapa pengalaman beberapa negara di Asia menjadi negara maju karena berhasil membangun industrinya dapat dijadikan rujukan, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan serangkaian upaya antisipasi agar kondisi deindustrialisasi itu tidak berlanjut dan mengancam Indonesia masuk dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Artinya, pemerintah perlu segera melakukan reindustrialisasi secara terukur dan berkesinambungan. Dengan begitu, kita kembali menempatkan pembangunan industri sebagai solusi dalam memecahkan masalah ekonomi dan sosial. Kita perlu memosisikan kembali sektor industri sebagai agen pembangunan dalam upaya memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tentu pemerintah perlu menginisiasi berbagai strategi kebijakan yang mendorong ke arah reindustrialisasi. Sebagai contoh, kebijakan reindustrialisasi melalui peningkatan investasi, baik investasi dalam negeri maupun penanaman modal asing.
Langkah ini diikuti dengan upaya peningkatan ekspor melalui ekstensifikasi negara tujuan ekspor agar tidak bertumpu pada beberapa negara saja. Dengan begitu, produksi yang dihasilkan industri dalam negeri mendapatkan kepastian pasar.
Kita perlu memosisikan kembali sektor industri sebagai agen pembangunan dalam upaya memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan berbagai kluster industri dan peningkatan produktivitas pada sektor industri juga perlu terus dilakukan dengan mengedepankan keunggulan setiap kluster. Begitu pula dengan upaya penggunaan produksi dalam negeri juga senantiasa digaungkan dan diimplementasikan. Ini penting karena output produksi yang dihasilkan industri dapat diserap sehingga mesin-mesin produksi tetap terus berderu sekaligus dapat mengurangi impor sehingga secara tidak langsung dapat menghemat devisa negara.
Aspek yang juga tidak kalah penting adalah perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui restriksi barang impor agar tidak menyerbu pasar domestik. Barangkali kita sering mendengar keluhan dari pelaku industri akan serbuan barang impor sehingga produk mereka kalah bersaing dan pada akhirnya menutup usahanya sehingga menimbulkan pemutusan hubungan kerja.
Apresiasi diberikan kepada pemerintah atas kebijakan untuk membatasi barang-barang impor elektronik dan tekstil. Momentum reindustrialisasi terbuka sejalan dengan indikator Purchasing Manager Index (PMI) yang terus berada di jalur optimistis.
Jamu manis
Dalam membangun industri, tentu butuh pembiayaan yang tidak sedikit. Di sinilah peran perbankan dalam menopang reindustrialisasi. Apalagi perbankan sebenarnya masih punya ruang yang cukup untuk mengucurkan kreditnya.
Posisi rasio kredit terhadap pendanaan yang diterima bank baik berupa dana pihak ketiga (DPK) maupun wholesale funding, seperti pinjaman, penerbitan surat utang jangka panjang, dan right issue saham, sangat mendukung. Alat likuid juga masih besar. Menurut catatan Bank Indonesia, hingga posisi triwulan I-2024, rasio alat likuid terhadap DPK mencapai 27,18 persen.
Gambaran kredit untuk sektor industri juga masih positif dengan kualitas kredit yang terjaga. Berdasarkan data Maret 2024, kredit untuk industri pengolahan tumbuh sebesar 9,13 persen, meningkat ketimbang Maret 2023 yang tumbuh 6,50 persen. Meski tumbuh meningkat, capaian ini masih lebih rendah daripada pertumbuhan kredit agregat yang mencapai 12,40 persen.
Untuk memberikan daya dorong agar perbankan kian deras mengucurkan kredit ke sektor industri, BI telah meracik jamu manis dalam bentuk insentif likuiditas dalam skema Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM). Insentif likuiditas diberikan dalam bentuk pelonggaran giro wajib minimum (GWM) hingga paling tinggi 4 persen bagi bank yang menyalurkan kredit untuk pengembangan industri melalui hilirisasi baik sektor mineral tambang dan nonmineral tambang (pertanian, peternakan, dan perikanan).
Takaran jamu manis itu kian ditambah. Mengacu hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23-24 April 2024, otoritas moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran itu kembali menguatkan KLM dengan cara memperluas cakupan sektor ekonomi yang dapat mencicipi jamu manis itu.
Cakupan sektor ekonomi menyasar perluasan sektor hilirasi minerba, nonminerba, perumahan, pariwisata dan industri kreatif, serta otomotif. Menurut perhitungan BI, hingga akhir tahun ini total insentif likuiditas yang dapat dimanfaatkan perbankan mencapai Rp 280 triliun.
Adanya penguatan insentif likuiditas tersebut menjadi angin segar bagi perbankan setelah BI memberikan jamu pahit berupa kenaikan BI Rate sebanyak 25 basis poin menjadi 6,25 persen. Langkah menaikkan bunga acuan itu bagaimanapun harus diambil BI untuk tetap konsisten dalam menjaga stabilitas perekonomian (pro-stability). Meski BI Rate naik, likuiditas tetap ada dan diharapkan akan terus menopang pertumbuhan ekonomi dari dampak rambatan global.
Ardhienus, Deputi Direktur di Departemen Surveilans Makroprudensial, Moneter dan Market, Bank Indonesia