Menjajal Motor dengan Citra Sejarah
Motor Royal Enfield itu tercatat terlibat dalam serbuan Pasukan Para dalam Operasi Market Garden di Arnhem, Belanda, September 1944, yang dikenal lewat film legendaris A Bridge Too Far. Sebelumnya, motor ini juga turut dalam invasi akbar D Day di Pantai Normandia, Perancis, Juni 1944. Hingga kini, Operasi Market Garden dan D Day Normandy masih diperingati setiap tahun oleh para veteran dan keluarganya, beserta berbagai peralatan yang dulu mereka gunakan, termasuk motor Royal Enfield.
Bentuk motor Royal Enfield Flying Flea itu mirip dengan varian Royal Enfield Klasik yang kini diproduksi dengan kapasitas mesin 350 cc dan 500 cc. Tentu saja, sepeda motor Royal Enfield abad ke-21 saat ini memiliki berbagai perbedaan dibandingkan Si Kutu Terbang, misalnya sistem pasokan bahan bakar yang sudah menggunakan injeksi elektronik dan sistem pengereman cakram modern.
Direktur Pemasaran Internasional Royal Enfield Arun Gopal dalam bincang media di Bali, Sabtu (26/8), mengatakan, Royal Enfield yang diproduksi sejak tahun 1901 di Inggris dan kemudian dirakit di India mulai tahun 1955 memiliki tradisi panjang dan kepercayaan dari pengguna. ”Seperti digunakan Pasukan Para Inggris semasa Perang Dunia II lalu digunakan aparat di India dan kini menjadi motor rakyat di India,” kata Arun Gopal yang berasal dari Kerala, India Selatan.
Bentuk klasik khas motor-motor era tahun 1940-an yang dipertahankan hingga kini diyakini menjadi salah satu daya tarik Royal Enfield. Bentuk motor yang klasik mirip tunggangan Captain America itu terbukti mengundang perhatian warga sepanjang perjalanan uji kendara Royal Enfield dari Denpasar ke tepian Gunung Batur pergi-pulang, akhir Agustus lalu.
Benny Hidayat, wartawan otomotif yang kerap menguji coba berbagai motor besar, mengatakan, kekhasan motor klasik buatan Inggris adalah sensasi getaran mesin yang terasa hingga di stang, letupan-letupan kecil di mesin, dan torsi yang mendukung perjalanan jarak jauh menempuh medan naik-turun.
Nikmat dan santun
Kenikmatan berkendara memang dijual Royal Enfield. Arun Gopal mengatakan, pihaknya menggelar perjalanan tur rutin lintas Himalaya sejak tahun 1997 dan kini menjadi agenda penggemar Royal Enfield di dunia. ”Seperti Anda di Bali dan di Indonesia yang banyak pemandangan indah, berkendara dengan Royal Enfield dan menikmati keindahan perjalanan itu menjadi hal utama. Bukan sekadar sampai di tujuan akhir untuk beristirahat dan berwisata,” tutur Gopal.
Strategi pemasaran Royal Enfield, menurut dia, bukanlah mengejar omzet penjualan, melainkan memasarkan semangat menikmati keindahan hidup dalam berkendara menikmati tempat-tempat baru. Indonesia dan Thailand kini menjadi sasaran berikut Royal Enfield dalam meluaskan pemasaran dengan konsep memadukan gaya hidup berkendara dan menikmati alam sekitar di negara-negara eksotis.
Ferry Kana, yang memandu rombongan media dalam perjalanan di Bali pada 25-27 Agustus 2017, berulang kali mengingatkan, yang dicari dalam uji kendara Royal Enfield ini bukanlah kecepatan berkendara dan berkonvoi menerobos lampu merah seolah-olah jadi raja jalanan. ”Kita di sini mencari kesenangan menikmati perjalanan, pemandangan, dan berbaur dengan warga. Jangan beda sendiri karena merasa eksklusif,” kata Ferry yang berulang kali memandu perjalanan bermotor di Sumatera-Jawa-Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara.
Ferry pun sejak awal meminta pengawalan polisi yang memandu konvoi untuk mengikuti lampu pengatur lalu lintas dan berkendara tanpa prioritas utama agar pengendara dapat berbaur dengan pemakai jalan lainnya.
Sensasi berkendara yang dirasakan memang menarik, tarikan kopling yang cukup keras, mesin yang tidak kehilangan tenaga saat naik-turun di pegunungan dataran tinggi Kintamani sangat terasa. Raju Bastian, wartawan otomotif kawakan, menerangkan cara mengendalikan kopling agar tidak terlalu membebani jemari tangan. ”Pakai jemari paling pinggir supaya tidak cepat lelah. Motor ini tidak untuk digeber, tetapi tenaga selalu ada untuk mengatasi tanjakan karena itu khasnya motor silinder tunggal. Torsinya jadi lebih besar. Ini motor untuk riding bukan untuk kebut-kebutan,” papar Raju.
Sepanjang perjalanan, melaju dengan kecepatan 70-80 kilometer per jam, Royal Enfield tidak pernah kehilangan tenaga untuk menambah kecepatan. Kecepatan puncak di atas 140 kilometer per jam bisa dengan mudah dicapai. Namun, menurut Raju, untuk kategori motor klasik, kenikmatan dan kenyamanan berkendara yang dicari.
Patrick Nerhot, warga Prancis yang lama bermukim di Indonesia, secara khusus bergabung dengan rombongan. ”Saya beli Royal Enfield tahun lalu begitu buka keagenan di Indonesia. Merek ini cukup populer di Prancis,” kata pensiunan AL Prancis itu.
Menurut dia, keberadaan motor-motor klasik di Indonesia akan memperkaya gaya hidup dan pengembangan pariwisata perjalanan di Indonesia. Perjalanan waktu akan membuktikan eksistensi motor kesayangan Pasukan Para Inggris pada Perang Dunia II tersebut di Indonesia. (Iwan Santosa)