Sepak Bola Indonesia: Dari Masa Kolonial Hingga Milenial
Liga sepak bola Indonesia telah dirintis sejak masa kolonial Hindia Belanda. Perjalanan kompetisi merentang zaman dengan beragam kisah yang menarik sehingga mampu bertahan hingga kini, di tengah krisis pandemi Covid-19.
Cikal bakal berdirinya liga sepak bola Indonesia telah dimulai sejak abak ke-20 di tengah gempuran diskriminasi kolonialisme Belanda. Ir. Soeratin, ketua pertama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), menyerukan pembentukan liga sepak bola bumiputra sebagai bagian dari perjuangan melawan Belanda melalui sepak bola.
Namun, memasuki periode kemerdekaan Indonesia, liga sepak bola nasional mengalami pasang surut. PSSI beberapa kali melakukan perubahan nama liga dan sistem kompetisi yang menyesuaikan dengan jumlah peserta klub. Liga sepak bola juga mengalami berbagai masalah seturut dengan polemik yang terjadi di dalam tubuh PSSI. Namun, PSSI selaku induk organisasi sepak bola Indonesia berangsur-angsur memperbaiki liga sepak bola nasional untuk membentuk tim yang berprestasi.
Masa Kolonial
Sejak kedatangan orang Eropa ke Hindia Belanda pada abad ke-17, olahraga sepak bola mulai diperkenalkan kepada penduduk setempat. Kemudian, muncul klub-klub sepak bola yang dibentuk oleh orang-orang Belanda. Beberapa orang Tionghoa dan Arab di Hindia Belanda ternyata juga tertarik untuk bermain sepak bola dan mendirikan klub. Masyarakat bumiputra tidak mau kalah dengan mendirikan klub sepak bola pada abad ke-20.
Aktivitas sepak bola di Hindia Belanda kemudian berkembang seiring diadakannya turnamen baik resmi maupun tidak resmi. Salah satu kompetisi yang rutin diadakan setahun sekali adalah Stedenwedstrijden atau Stedentournooi. Akhirnya, pada tahun 1919 dibentuk organisasi sepak bola Hindia Belanda yang bernama Nederlandsch Indische Voetball Bond (NIVB) untuk mengorganisasi kompetisi sepak bola secara profesional.
Namun, penyelenggaraan kompetisi sepak bola oleh NIVB hanya bisa diikuti oleh klub-klub lokal milik orang Belanda saja. Kondisi tersebut mendorong tujuh perserikatan sepak bola bumiputra bersama dengan Ir. Soeratin mendirikan sebuah organisasi sepak bola sendiri. Pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta lahirlah Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI). Dalam buku Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan, dibentuknya PSSI bertujuan untuk melawan diskriminasi yang dilakukan NIVB.
PSSI kemudian mengadakan kompetisi sepak bolanya sendiri yang diikuti oleh tujuh klub bumiputra anggota awal PSSI. Kompetisi ini bernama Stedenwerd I yang pertama kali dilaksanakan di alun-alun Keraton Solo pada tahun 1931. Kesuksesan Stedenwerd I mendorong PSSI mengadakan kompetisi rutin setiap tahun di beberapa kota besar.
Pada masa pendudukan Jepang, aktivitas sepak bola di Hindia Belanda mulai dibatasi. NIVB yang pada tahun 1935 berubah nama menjadi NIVU (Nederland Indische Voetbal Unie) dibubarkan Jepang. PSSI juga tidak mengadakan turnamen sepak bola lagi karena pembatasan dari tentara Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia sampai tahun 1949.
Liga Perserikatan Indonesia
Setelah kemerdekaan Indonesia, PSSI mengadakan kongres pada September 1950 untuk membangkitkan kembali sepak bola Indonesia yang mati suri sejak pendudukan Jepang. Beberapa keputusan yang diambil dalam kongres antara lain menetapkan beberapa klub perserikatan sebagai anggota baru, nama PSSI diubah menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, memindahkan kantor PSSI ke Jakarta, dan menyelenggarakan kompetisi rutin tiap tahun yang bernama Kejuaraan Nasional (Kejurnas) PSSI mulai 1951.
Tim-tim yang mengikuti Kejurnas merupakan kelanjutan dari klub-klub perserikatan yang dibentuk sejak masa Hindia Belanda. Namun, seiring perjalanan waktu muncul klub-klub baru yang ikut serta. Kemudian, klub-klub yang bermain di kompetisi PSSI sebagian besar merupakan klub yang mewakili daerah-daerah di Indonesia.
Kejurnas PSSI mengalami banyak perubahan sistem kompetisi di beberapa tahun penyelenggaraannya. Pada musim perdananya hingga tahun 1975, Kejurnas PSSI menerapkan sistem kompetisi yang dimulai dari tingkat distrik atau wilayah hingga menuju tingkat nasional yang dipusatkan di Jakarta. Namun, sistem kompetisi model ini beberapa kali mengalami modifikasi seturut dengan penambahan jumlah tim yang ikut serta dan penambahan distrik/wilayah.
Pada Kejurnas PSSI 1978/1979 mulai diperkenalkan sistem kompetisi berdasarkan divisi. Sistem ini baru benar-benar terlaksana pada musim 1980. Kompetisi berubah nama menjadi Divisi Utama Perserikatan PSSI, yang menjadi liga sepak bola tertinggi di tanah air. Sedangkan untuk liga sepak bola Indonesia tingkat dua dikenal dengan nama Divisi I PSSI. Sistem promosi-degradasi mulai diterapkan pada kompetisi ini.
Pada Divisi Utama Perserikatan PSSI musim 1983 terjadi modifikasi sistem kompetisi dengan diterapkannya pembagian grup berdasarkan geografis seiring bertambahnya jumlah klub peserta. Setiap tim peserta dibagi menjadi dua grup, yakni wilayah barat dan wilayah timur. Pada awal penerapannya PSSI menunjuk tuan rumah di masing-masing grup sebagai tempat pertandingan. Namun, sejak kompetisi musim 1986/1987 hingga musim 1993/1994 PSSI mulai menerapkan sistem kompetisi penuh kandang dan tandang.
Galatama
Sepak bola Indonesia yang belum berkembang di dunia internasional membuat PSSI berkeinginan untuk mencetak klub-klub profesional. Sebelumnya, klub-klub perserikatan hanya memiliki pemain-pemain amatiran yang sifatnya kedaerahan dan tidak dikelola secara profesional. PSSI berupaya menampung keinginan para pemain untuk menjadikan sepak bola sebagai jenjang karir atau profesi yang sesuai dengan peraturan FIFA.
Rencana ini pertama kali dikemukakan oleh Bardosono, Ketua Umum PSSI, pada 2 Maret 1975. Bardosono mengatakan bahwa setidaknya pada awal tahun 1976, PSSI akan merilis liga sepak bola untuk klub profesional. Namun, rencana ini ditunda karena perdebatan tentang status pemain antara profesional dan amatir. Pemain yang telah bergabung dengan klub profesional akan dicoret status amatirnya dan tidak diperbolehkan mengikuti PON IX 1977.
Baru pada 6 Oktober 1978 dalam sidang paripurna PSSI, liga sepak bola untuk klub professional Indonesia mulai dibentuk oleh Ketua Umum PSSI, Ali Sadikin. Liga ini bernama Liga Sepak Bola Utama atau disingkat Galatama. Pada edisi perdana, Galatama diikuti oleh empat belas klub profesional yang telah disahkan oleh PSSI. Kompetisi secara resmi dimulai pada 18 Maret 1979 lewat pertandingan antara Arseto melawan Pardedetex dan Warna Agung melawan Jayakarta.
PSSI menerapkan beberapa persyaratan bagi klub untuk dapat mengikuti Liga Galatama di setiap musimnya. Setidaknya klub diharuskan memenuhi persyaratan administrasi dan fisik pemain sebelum mendaftar kepada PSSI. Kondisi tersebut membuat setiap musim Liga Galatama, jumlah peserta klub tidak menentu. Ada beberapa klub baru yang bergabung, namun ada juga klub yang memutuskan untuk mundur karena tidak dapat memenuhi persyaratan.
Sistem kompetisi Galatama juga mengalami beberapa kali perubahan menyesuaikan dengan jumlah klub yang lolos pendaftaran. Pada awal penyelenggaraannya hingga beberapa musim, Galatama menggunakan sistem satu grup dan memainkan kompetisi penuh kandang-tandang. Namun, beberapa kali Galatama juga mengubah sistem kompetisinya. Musim 1982/1983 dan musim 1990 Galatama pernah mengadopsi sistem dua divisi. Liga Galatama juga pernah menerapkan pembagian grup berdasarkan wilayah geografis, namun hanya berlaku pada dua musim saja, yakni musim 1983/1984 dan musim 1993/1994.
Liga Indonesia
Awal tahun 1994, PSSI berencana mengembangkan liga sepak bolanya yang telah menjadi tontonan favorit masyarakat Indonesia. Namun, liga sepak bola Indonesia ini belum mampu mengangkat prestasi tim nasional di tingkat internasional. Hal inilah yang membuat PSSI berencana untuk menggabungkan dua liga sepak bola antara Perserikatan dan Galatama.
Sebelumya, dua liga tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Perserikatan memiliki kekuatan jumlah pendukung yang cukup besar dengan fanatisme kedaerahannya. Namun, klub-klub perserikatan tidak memiliki manajemen yang baik untuk mengelola klub dan pemain. Sedangkan, Galatama memiliki kekuatan manajemen klub yang telah dikelola secara profesional. Tetapi, Galatama tidak banyak diminati sehingga beberapa pertandingannya sepi penonton. Kekuatan dari masing-masing liga kemudian diambil oleh PSSI dan digabungkan menjadi sebuah liga sepak bola yang baru.
Rencana ini kemudian ditanggapi oleh beberapa klub peserta dari masing-masing liga. Mereka mengkritik langkah PSSI tersebut karena klub akan mengalami kesulitan akibat perbedaan status antara amatir dan profesional. Tim perserikatan masih bergantung pada kebijakan pemerintah daerah sebagai pemilik klub dan para pemainnya masih berstatus amatir. Sedangkan, tim-tim Galatama sudah dikelola secara mandiri dan sebagian besar pemainnya telah menggantungkan sepakbola sebagai profesinya.
Namun, PSSI tetap bersikukuh untuk menggabungkan dua liga tersebut dengan nama baru Liga Indonesia. Peraturan dan perangkat pertandingan dalam Liga Indonesia diatur dengan menyesuaikan pada dua liga sebelumnya. Liga Indonesia terbagi dalam dua divisi yakni Divisi Utama dan Divisi I sehingga tiap musimnya akan ada tim yang mengalami promosi-degradasi. Kompetisi ini secara resmi mulai dimainkan pada musim 1994/1995.
Liga Indonesia pada edisi perdana hingga musim 2002, menerapkan pembagian grup berdasarkan wilayah yang berlaku pada Divisi Utama. Pada musim 2003 dan musim 2004, PSSI mulai mengubah sistem kompetisi Divisi Utama dalam satu grup meniru liga sepak bola di negara lain. Namun sistem tersebut tidak bertahan lama sehingga musim liga tahun 2005 kembali diubah menjadi dua grup wilayah.
Pada tahun 2006 PSSI berencana kembali melakukan perubahan kompetisi Liga Indonesia dan mengubah namanya menjadi Liga Super Indonesia (LSI). PSSI membuat peraturan baru di mana setiap klub wajib melakukan verifikasi lisensi kepada Badan Liga Indonesia sebelum mengikuti kompetisi. Klub harus memenuhi lima aspek standar Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), yakni pembinaan pemain muda, infrastruktur, personel dan administrasi, legal, dan finansial.
Liga Super Indonesia baru dimulai pada musim kompetisi 2008/2009 sebagai liga sepak bola tertinggi. Sedangkan, untuk liga tingkat dua diberi nama Divisi Utama sehingga Divisi I yang dipakai pada sistem kompetisi sebelumnya dinyatakan tidak berlaku. Sistem kompetisi LSI tidak lagi menggunakan dua grup wilayah, namun menggunakan satu grup dengan pertandingan kandang-tandang dan promosi-degradasi.
Dualisme liga sepak bola Indonesia
Semenjak PSSI dipegang oleh Nurdin Halid selaku ketua umum, banyak kalangan menilai bahwa prestasi tim nasional Indonesia semakin merosot. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai turun tangan dengan mengadakan Kongres Sepak Bola Nasional pada tahun 2010 sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja PSSI. Pada sisi yang lain, juga terdapat ketidakpuasan terhadap kompetisi LSI sehingga muncullah liga sepak bola tandingan bernama Liga Primer Indonesia (LPI) yang dikomandani oleh Arifin Panigoro
Keadaan ini kemudian mendesak kepengurusan Nurdin Halid untuk segera diganti mengingat masa jabatannya berakhir pada 2011. Namun, dalam Kongres PSSI 2011 terjadi perdebatan antara kubu yang menginginkan Nurdin Halid untuk turun dengan kubu yang mencalonkan kembali Nurdin Halid sebagai ketua. Akibatnya, kongres berlangsung kacau sehingga tidak menemukan titik temu.
FIFA sebagai federasi sepak bola dunia mengingatkan, apabila tidak menyelesaikan kekacauannya, PPSI akan diberi sanksi termasuk pembekuan sepak bola Indonesia. Presiden FIFA, Sepp Blatter, menegaskan bahwa PSSI harus menyelesaikan dualisme liga antara LSI dengan LPI. Sepp Blatter juga menekankan bahwa empat calon ketua umum yang diajukan dalam Kongres PSSI, yakni Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro tidak bisa dicalonkan. Penyebabnya adalah keempat tokoh tersebut ada yang melanggar Kode Etik FIFA dan beberapa tokoh dianggap sebagai inisiator terpecahnya liga sepak bola Indonesia.
FIFA melalui Komite Darurat kemudian membentuk Komite Normalisasi yang diketuai oleh Agum Gumelar untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) dengan agenda memilih Ketua Umum PSSI yang baru. KLB PSSI diselenggarakan pada 9 Juni 2011 di Solo dimana Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman terpilih sebagai Ketua Umum dan Farid Wakil. Keduanya dituntut untuk menyelesaikan perpecahan di antara pemangku kepentingan sepak bola nasional.
Djohar Arifin kemudian menetapkan LPI sebagai liga sepak bola tertinggi di Indonesia dan mengakomodasi klub-klub LSI untuk bergabung. PSSI juga meminta setiap klub untuk memenuhi persyaratan yang sesuai dengan standar AFC sebelum mendaftar pada kompetisi LPI 2011/2012. Lima kriteria AFC yang harus dipenuhi adalah aspek legal, finansial, infrastruktur, personel, dan sporting. Kompetisi LPI juga melarang klub untuk menggunakan APBD.
Persyaratan ini membuat beberapa klub keberatan sehingga mereka memilih untuk angkat kaki dari LPI dan membentuk kompetisi sendiri di luar PSSI dengan mengangkat kembali nama Liga Super Indonesia musim 2011/2012. Hal ini membuat PSSI berang dan mencoret klub-klub yang mengikuti LSI dan dijatuhi hukuman sesuai dengan peraturan FIFA.
Dualisme liga sepak bola Indonesia yang kembali terjadi membuat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Indonesia beserta FIFA turun tangan lagi. Berbagai upaya telah dilakukan dengan melakukan pertemuan dengan PSSI yang menjalankan kompetisi LPI dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang diketuai oleh La Nyalla Mattalitti yang menyelenggarakan LSI. Puncaknya pada 17 Maret 2013 diadakanlah KLB PSSI untuk mengakhiri dualisme tersebut.
PSSI dan KPSI kemudian menyetujui untuk menggabungkan LPI dan LSI dalam satu liga dengan nama tetap Liga Super Indonesia yang dimulai pada musim 2014. Kompetisi LPI musim 2013 dihentikan karena dianggap tidak sah dan digantikan dengan pertandingan play-off untuk menentukan klub yang berhak mengikuti LSI musim 2014.
Sanksi FIFA, kebangkitan PSSI, dan covid-19
Pada saat mempersiapkan kompetisi LSI musim 2015, Badan Penyelenggaraan Olahraga Indonesia (BOPI) meminta setiap klub untuk memenuhi persyaratan sebagai klub profesional sebelum mengikuti kompetisi. BOPI meminta PSSI untuk menyelesaikan persyaratan ini sebagai tiket sebelum menggelar liga.
PSSI dan semua klub merasa keberatan karena tidak ada satu pun klub yang memenuhi persyaratan sebagai klub profesional. Hal ini membuat BOPI bersama Kemenpora melunak sehingga mengurangi beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh klub. Pada 1 April 2015, BOPI memberi rekomendasi kepada enam belas peserta klub LSI 2015 dan mencoret Persebaya Surabaya serta Arema Cronus. Kedua klub tersebut terlilit masalah dualisme kepemilikan sehingga dilarang bermain dalam liga.
Namun diluar dugaan, PSSI memberikan izin pertandingan kepada Persebaya Surabaya dan Arema Cronus tanpa sepengetahuan BOPI. Hal ini membuat Kemenpora bereaksi dan meminta kompetisi dihentikan. Permasalahan yang tidak segera diselesaikan ini membuat Kemenpora kemudian membekukan PSSI pada 17 April 2015. Peristiwa ini mengundang reaksi FIFA dengan menjatuhkan sanksi pembekuan terhadap aktivitas sepak bola Indonesia di tingkat internasional karena intervensi pemerintah kepada PSSI yang dilarang oleh FIFA.
Pada 2 November 2015, delegasi FIFA dan AFC bertemu dengan pemerintah Indonesia beserta PSSI guna mencari solusi mengenai persoalan sepak bola Tanah Air. Mereka bersepakat untuk membentuk Komite Ad Hoc yang diketuai oleh Agum Gumelar. Baru pada 24 Februari 2016, dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menpora Imam Nahrawi, dan Ketua Komite Ad Hoc Agum Gumelar, disepakati untuk mencabut pembekuan PSSI dan mewacanakan untuk diselenggarakan KLB.
Sementara, saat pembekuan PSSI belum dicabut oleh Kemenpora dan FIFA, beberapa pihak telah menyelenggarakan kompetisi untuk mengisi kekosongan aktivitas sepak bola. PT Gelora Trisula Semesta, selaku anak perusahaan dari PT Liga Indonesia menyelenggarakan kompetisi Kejuaraan Super Indonesia (ISC) yang dimulai pada 29 April 2016.
Setelah melalui berbagai proses pengkajian dan kepastian akan diselenggarakannya KLB, Kemenpora mencabut pembekuan PSSI pada 10 Mei 2016. FIFA juga mencabut sanksi pada 13 Mei 2016. PSSI kemudian melakukan reformasi kepengurusan dalam kongres yang diadakan di Jakarta pada 10 November 2016. Kongres tersebut menetapkan Eddy Rahmayadi sebagai Ketua Umum PSSI yang baru.
Eddy Rahmayadi kemudian membangkitkan kembali sepak bola Indonesia dengan menyelenggarakan kembali liga sepak bola yang diberinama Liga 1, Liga 2, dan Liga 3. Kompetisi ini mulai dijalankan pada musim liga tahun 2017.
Namun, Edy kemudian mencalonkan diri dalam Pilkada Sumatera dan terpilih sebagai Gubernur Sumut tahun 2018. Akhirnya, pada kongres PSSI yang diadakan pada 20 Januari 2019 di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali, Edy Rahmayadi menyatakan pengunduran dirinya dari posisinya sebagai Ketua Umum PSSI.
Pada musim kompetisi 2020 seluruh liga sepak bola Indonesia terpaksa dihentikan akibat wabah Covid-19 yang melanda Tanah Air. PSSI mencoba untuk menggulirkan kembali liga antara Oktober dan November 2020 dengan syarat mematuhi protokol kesehatan. Namun, rencana tersebut gagal karena tidak mendapatkan izin dari kepolisian. Baru pada 24 Mei 2021, Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan memberikan kepastian untuk menyelenggarakan kembali Liga 1 dan Liga 2 pada Juli 2021 setelah mendapatkan lampu hijau dari Kemenpora dan kepolisian.
Sepak bola era milenial
Pada 2020 lalu, PSSI memiliki sejumlah program kompetisi sepak bola untuk pemain dalam kategori usia milenial. Beberapa kompetisi yang digelar tahun 2020, antara lain, Liga 1 Elite Pro Academy (EPA) meliputi U-16, U-18, dan U-20. Selain itu, PSSI juga menggelar Liga 1 U-20, Piala Soeratin U-17 dan usia di bawah 15 tahun (U-15) meliputi U-12, U-13, dan U-14.
Liga Elite Pro Academy adalah sistem liga sepak bola kelompok usia yang dikelola dan diorganisasi oleh PSSI. Sistem ini diperkenalkan pada awal 2018 dan diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tahun 2018. Sistem ini mencakup kelompok usia di bawah 16 tahun sejak 2018, di bawah 18 dan di bawah 20 tahun sejak 2019. Elite Pro Academy ini dilaksanakan bersamaan dengan gelaran Liga 1. Kompetisi ini diikuti oleh 18 tim yang bersaing di Liga 1.
Sementara, Piala Soeratin adalah sebuah turnamen kompetisi sepak bola di Indonesia yang diperuntukkan bagi pemain sepak bola yang berusia 18 tahun ke bawah. Gelaran kompetisi Piala Soeratin telah diselenggarakan sejak yang dimulai sejak tahun 1965. Nama kompetisi Piala Soeratin diambil dari nama tokoh pendiri PSSI yakni Ir. Soeratin Sosrosoegondo.
Pada tahun 2012 PSSI meregulasi kompetisi Piala Soeratin diperuntukkan bagi pemain sepak bola yang berusia 17 tahun ke bawah. Sejak 2017, Piala Soeratin menggelar dua kategori usia, yaitu di bawah 17 tahun (U-17 ) dan di bawah 15 tahun (U-15). Kompetisi dimulai berjenjang dari putaran daerah di tiap provinsi, kemudian masing-masing juara provinsi akan lanjut mengikuti putaran nasional. Putaran nasional Piala Soeratin U-15 digelar di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Namun, akibat pandemi Covid-19 seluruh kompetisi sepak bola nasional musim 2020 lalu termasuk kompetisi sepak bola usia milenial terpaksa dihentikan.
Sejarah panjang sepak bola Indonesia dengan segala upaya melalui serangkaian kompetisi liga yang digelar, memiliki harapan besar agar suatu saat nanti Indonesia memiliki pemain tangguh dan andal serta bisa kembali berkiprah dan berprestasi di pentas dunia. (LITBANG KOMPAS)