Kerusuhan 27 Juli 1996, Tantangan Berdemokrasi Masa Orde Baru
Dualisme kepemimpinan dan ikut campurnya pemerintah Orde Baru menjadi pemantik kerusuhan 27 Juli 1996. Peristiwa ini tidak hanya menjadi catatan kelam demokrasi masa Orde Baru, namun juga merupakan babak awal reformasi.
Kongres Medan 1993
Kebijakan fusi partai oleh pemerintah tidak memberikan dampak besar bagi PPP dan PDI dalam kancah mereka di gelaran pemilu. Kedua partai tersebut selalu berada di urutan di bawah Golkar yang selalu mendapatkan suara terbanyak. Fusi partai juga menimbulkan banyak konflik di dalam tubuh partai yang disebabkan baik oleh internal maupun pengaruh eksternal dari pemerintah.
PDI pada awal pembentukannya hingga beberapa kali penyelenggaraan kongres selalu terjadi konflik terutama dalam pemilihan ketua umum. Banyak dari tokoh-tokoh PDI masih membawa-bawa kebanggan partainya terdahulu sebelum penerapan fusi partai. Konflik di dalam tubuh PDI ini selalu tidak pernah tuntas terselesaikan, yang justru berakibat pada terpecahnya partai dan berujung pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau biasa disingkat Kudatuli.
Peristiwa Kudatuli berawal dari Kongres IV PDI pada 21--25 Juli 1993 di Medan dalam pemilihan Ketua Umum PDI periode 1993--1998. Soerjadi yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Umum PDI maju kembali dalam kongres ini. Namun, beberapa kalangan partai menolak pencalonan kembali Soerjadi. Panglima ABRI, Jenderal Feisal Tanjung juga mengatakan bahwa Soerjadi tidak layak sebagai calon Ketua Umum PDI karena tuduhan penculikan yang tengah disidangkan. Namun, tuduhan tersebut tidak ditanggapi oleh Soerjadi dan para pendukungnya.
Kongres IV PDI tetap berjalan dengan dibuka oleh Presiden Soeharto, namun dalam prosesnya justru terjadi banyak kericuhan antaranggota partai. Pada kongres hari pertama tiba-tiba ada kelompok yang memaksa untuk masuk ke ruang sidang padahal sudah dicegah oleh pihak keamanan. Kelompok ini adalah DPP Peralihan PDI dan Kelompok 17 yang merupakan kumpulan orang-orang PDI yang sebelumnya disingkirkan oleh Soerjadi.
Yakob Nuwa Wea yang mengaku sebagai fungsionaris DPP Peralihan mengatakan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk protes bahwa mereka tidak diizinkan mengikuti kongres. Kericuhan dapat segera teratasi setelah beberapa anggota DPD PDI membuka dialog dengan kelompok yang memaksa masuk. Hal ini kemudian membuat sidang pada hari pertama dapat dilanjutkan kembali.
Pada kongres hari yang kedua kericuhan terjadi kembali setelah Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum PDI masa jabatan 1993--1998 secara aklamasi. Sebelumnya, pernyataan Feisal Tanjung mengenai kriteria calon ketua umum partai haruslah yang tidak cacat hukum dibantah oleh Soerjadi dan pendukungnya. Mereka membantah bahwa Soerjadi cacat hukum dan pernyataan Feisal Tanjung dianggap sebagai pernyataan umum yang tidak menunjuk salah satu partai.
Suasana persidangan semakin kacau dengan tidak diterimanya Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI oleh kelompok Yakob Nuwa Wea. Keadaan ini terus memanas hingga hari terakhir kongres pada 25 Juli 1993, dengan tidak tercapainya kesepakatan antara kubu Soerjadi dengan kelompok yang menolak Soerjadi.
Terpilihnya Soerjadi dalam Kongres IV PDI tidak diterima oleh pemerintah sebelum terjadi kesepakatan di antara kedua kubu. Wakil Presiden Try Sutrisno yang direncanakan bakal menutup kongres menolak untuk hadir dan menyatakan bahwa Kongres IV PDI gagal. Pemerintah kemudian meminta kepada PDI untuk membentuk caretaker, yakni lembaga perantara selama masa kevakuman PDI.
Baca juga: Menanti Solusi PDI-P Pasca-27 Juli 1996
Kongres Luar Biasa Surabaya
Caretaker yang telah terbentuk pada Agustus 1993 berencana untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 2--6 Desember 1993. Rencana ini juga telah disetujui oleh 27 DPD PDI, sambil berharap tidak ada kericuhan lagi dalam kongres.
Menjelang KLB PDI, beberapa calon ketua umum yang baru muncul perlahan-lahan, salah satunya adalah Megawati Soekarnoputri. Megawati merupakan sosok orang baru di dalam tubuh partai berlambang kepala banteng ini. Putri kedua Soekarno ini, pertama kali terjun ke dunia politik pada tahun 1987 setelah diajak bergabung oleh Soerjadi. Ketika itu PDI berencana untuk memanfaatkan nama Megawati yang merupakan keluarga Bung Karno untuk menaikkan suara PDI dalam pemilu.
Menurut Ahmad Bahar dalam Biografi Politik Megawati Soekarnoputri 1993--1996, nama Megawati mencuat dalam persaingan Ketua Umum PDI ketika ia sedang menyelenggarakan ulang tahun putrinya pada September 1993. Ketika itu ada tamu yang tidak diundang mengaku berasal dari 70 cabang PDI di delapan provinsi. Pada awalnya mereka hanya bersilaturahmi, namun kemudian meminta Megawati untuk bersedia dicalonkan sebagai Ketua Umum PDI.
Langkah pencalonan Megawati sebagai Ketua Umum PDI mendapatkan sambutan yang cukup baik. Beberapa anggota partai menyetujui Megawati maju sebagai calon ketua umum. Hal ini juga didukung oleh beberapa tokoh seperti Frans Seda dan Adnan Buyung Nasution yang secara terang-terangan mendukung Megawati.
Megawati yang semakin diunggulkan dalam pemilihan ketua umum tanpa disadari juga mulai digembosi pada hari pertama KLB PDI tanggal 2 Desember 1993. Beberapa pendukung Megawati yang berasal dari DPC di berbagai daerah dicegat untuk masuk dalam arena KLB. Kemudian, masalah KTP Megawati digunakan sebagai senjata penjegal. Megawati memegang KTP Jakarta Pusat, padahal Mega merupakan utusan dari Jakarta Selatan.
Pemerintah juga khawatir dengan kemunculan Megawati dalam perpolitikan PDI. Hal ini disebabkan karena Megawati merupakan anak biologis dari Soekarno yang pada saat itu cukup tabu membicarakan presiden pertama Indonesia itu. Beberapa kalangan pemerintah merasa was-was apabila Megawati naik sebagai Ketua Umum PDI sehingga dapat menyebabkan berkembangnya kembali pemikiran Soekarno.
Pengaruh buruk dari luar nyatanya tidak berdampak pada keterpilihan Megawati. Sebanyak 256 utusan DPC PDI menyatakan untuk memilih Megawati sebagai ketua. Angka ini tidak berubah sampai hari terakhir KLB pukul 24.00 yang menyatakan bahwa Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI periode 1993--1998.
Terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI kemudian diterima oleh pemerintah. Namun, Menteri Dalam Negeri, Yogie S. Memed memberikan syarat bahwa Megawati baru sah memimpin PDI melalui Musyawarah Nasional yang diadakan tanggal 22--23 Desember 1993.
Munas akhirnya dilaksanakan di Hotel Garden, Jakarta. Pada tanggal 22 Desember 1993 ditetapkanlah Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian disusunlah kepengurusan DPP PDI dengan menggabungkan antara pendukung Megawati dengan kelompok yang menolaknya. Ini juga sebagai jalan rekonsiliasi supaya tidak terjadi lagi permasalahan di dalam partai.
Baca juga: Kudatuli, Luka Demokrasi, dan Penantian atas Sikap Negara
Kongres PDI versi Soerjadi
Terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI belum membuat partai tersebut terhindar dari konflik. Megawati pun mengingatkan kepada seluruh anggota partai untuk berhati-hati terhadap pihak eksternal maupun internal yang mencoba untuk memecah belah partai. Hal ini tampaknya menjadi kenyataan ketika tanggal 3 Juni 1996 sekitar 50 pengurus DPC PDI yang mengaku mewakili 215 cabang partai dari 21 DPD menemui Dirjen Sosial Politik Departemen Dalam Negeri, Soetoyo NK.
Dalam pertemuan itu, mereka menyatakan keinginan untuk menyelesaikan permasalahan partai melalui sebuah kongres. Rencana ini tentunya juga sebagai bagian untuk menyingkirkan Megawati sebagai pimpinan partai.
Situasi ini tampaknya juga didukung oleh beberapa kalangan pemerintah yang merasa terancam dengan kehadiran Megawati. Sikap ini terlihat dari pernyataan Soetoyo NK, yang mengatakan bahwa pemerintah mempersilahkan PDI untuk menyelenggaraan kongres untuk menyelesaikan masalah partai sesuai dengan AD/ART seperti yang diinginkan oleh anggota partai.
Namun, rencana kongres tersebut ditolak oleh DPP PDI dan dengan tegas mengatakan tidak akan menyelenggarakan kongres dalam waktu dekat. DPP PDI beralasan bahwa partai ingin menjaga stabilitasnya untuk menyongsong Pemilu 1997.
Di tengah kebuntuan ini pemerintah mencoba untuk menyusun berbagai skenario supaya Megawati bisa diturunkan sebelum Pemilu 1997. Pemerintah beralasan bahwa PDI pimpinan Megawati dapat menggerus suara Golkar dalam pemilu. Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996, Titik Balik Perlawanan Rakyat, menulis bahwa pemerintah kemudian menggandeng sosok Soerjadi yang dahulu tergusur kekuasaannya dalam Kongres IV PDI di Medan 1993. Mereka berencana untuk menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada 20--24 Juni 1996. Rencana Kongres PDI di Medan yang diumumkan oleh para fungsionaris partai yang mengatasnamakan DPP PDI.
Namun, DPP PDI versi Megawati menolak rencana tersebut. Penegasan tersebut disampaikan oleh Mohammad Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid, dan Ben Mangrengsay yang menyatakan bahwa rencana Kongres PDI di Medan telah menyalahi AD/ART partai. Sesuai dengan Anggaran Dasar PDI pasal 29 ayat 1, kongres diadakan lima tahun sekali dan sesuai jadwal akan terselenggara setelah Pemilu 1997.
Rencana Kongres PDI Medan 1996 yang tetap berjalan malah memunculkan sikap solidaritas terhadap Megawati di daerah-daerah. Hal ini terlihat di Jawa Timur di mana terdapat ribuan orang pendukung Megawati melakukan aksi long march dari Surabaya ke Jakarta untuk menemui Departemen Dalam Negeri agar mendesak mereka membatalkan kongres di Medan. Sedangkan, di Bali juga diadakan renungan di Makam Pahlawan Pancaka Tirta Tabanan sebagai wujud dukungan kepada Megawati.
Kongres PDI versi Soerjadi tetap digelar di Wisma Haji, Pangkalan Mansyur, Medan tanggal 20--24 Juni 1996, dibuka oleh Mendagri, Yogie S. Memed. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung turut hadir. Keduanya memberikan pidato yang intinya mengatakan bahwa Kongres PDI 1993 belum mampu menyelesaikan konflik di dalam partai berlambang kepala banteng ini sehingga perlu diadakan Kongres PDI Medan 1996.
Kongres ini berlangsung dengan tertib dan lancar tanpa gangguan apapun dari luar. Hal ini juga semakin menguatkan posisi Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI periode 1996--1998. Sementara itu, Megawati sebagai Ketua Umum PDI hasil KLB Surabaya 1993 tidak mengakui keberadaan kongres di Medan itu dan tetap mengklaim dirinya sebagai pucuk pimpinan PDI yang sah, legal, dan konstitusional.
Terpilihnya Soerjadi dalam kongres di Medan membuat pemerintah mengakui kepemimpinan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang dianggapnya sah. Pemerintah juga menyatakan bahwa tidak akan mengakui dan melayani lagi DPP PDI pimpinan Ketua Umum Megawati. Hal ini kemudian memicu reaksi para pendukung Megawati di berbagai daerah.
Simak Video: Kudatuli, Sebuah Catatan Kelam Demokrasi