PKPU Pelarangan Eks Napi Koruptor Tak Boleh Dikesampingkan
Oleh
Antony Lee
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dua Peraturan KPU yang mengatur pelarangan bekas napi kasus korupsi dalam pencalonan anggota DPD maupun pencalonan anggota DPR dan DPRD harus dihormati dan dijalankan semua pihak, termasuk dalam sengketa di Badan Pengawas Pemilu. Masyarakat sipil menganggap sikap Bawaslu yang mengesampingkan peraturan KPU itu menjadi ancaman serius yang bisa menurunkan kualitas pemilu.
Sebelumnya, muncul putusan pengawas pemilu di tiga daerah yang menganulir keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat yang menyatakan tidak memenuhi syarat bakal calon anggota DPD dan DPRD yang merupakan bekas napi korupsi. Putusan itu dikeluarkan oleh Pengawas Pemilihan Aceh atas sengketa yang diajukan calon anggota DPD, begitu pula dengan Bawaslu Sulawesi Utara. Sementara itu, di Toraja Utara, Sulawesi Selatan, diajukan bakal calon anggota DPRD kabupaten. KPU kemudian mengirim surat ke Bawaslu, meminta agar putusan tersebut dikoreksi.
Ketua KPU Arief Budiman di Gedung KPU di Jakarta, mengingatkan bahwa Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD masuk kategori perundang-undangan maka harus dipatuhi dan dijalankan oleh semua pihak. Di PKPU itu, dicantumkan bahwa parpol dilarang mencalonkan bekas napi kasus korupsi, bandar narkoba, serta kejahatan seksual terhadap anak.
Arief juga menegaskan bahwa Peraturan KPU itu hanya bisa dikoreksi melalui uji materi di Mahkamah Agung atau KPU sendiri yang merevisinya. “Kalau tidak setuju PKPU, undang-undang memberi cara melakukan uji materi. Kenapa tidak dilakukan (oleh Bawaslu), tetapi tidak dijalankan PKPU,” kata Arief.
Menurut dia, setiap putusan Bawaslu pasti ditindaklanjuti oleh KPU, tetapi karena tiga putusan Bawaslu itu tidak sesuai dengan PKPU, maka KPU memutuskan untuk menunda penerapan putusan itu.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan menuturkan, ruang koreksi atas putusan pengawas pemilu di daerah, hanya dibuka saat permohonan pemohon ditolak oleh jajaran pengawas pemilu. Dengan begitu, tidak ada ruang bagi KPU untuk mengajukan permohonan koreksi atas putusan pengawas di tiga daerah itu. Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menambahkan, Bawaslu sudah mengirim surat balasan ke KPU, menegaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa, Bawalsu menjalankan fungsi adjudikasi, sehingga mengeluarkan putusan yang harus dijalankan oleh KPU.
“Menjadi kewajiban hukum setiap orang untuk melaksanakan putusan. Itu mengapa UU menyatakan (produk) sengketa adalah putusan, bukan keputusan. Saat Bawaslu kabupaten dan kota sudah keluarkan putusan, maka itu harus dilaksanakan oleh KPU,” kata Fritz.
Ancaman kualitas
Dalam diskusi di Gedung KPU, Kamis, perwakilan sejumlah kelompok masyarakat sipil menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan mereka terhadap tiga putusan pengawas pemilu. Masyarakat sipil menilai, hal ini bisa menjadi preseden buruk, sekaligus membuka peluang munculnya putusan yang sama di daerah-daerah lain.
Diskusi itu dihadiri peneliti senior Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Mulki Shader, peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Adelline Syahda, peneliti Indonesia Corruption Watch Almas Syafrina, dan anggota KPU Wahyu Setiawan.
Hadar menuturkan, KPU sudah mengundangkan PKPU Pencalonan yang isinya sudah baik, tidak ingin ada calon anggota legislatif merupakan orang yang pernah bermasalah, tetapi kemudian sisi lain pengawas pemilu, berpandangan berbeda. Menurut dia, seharusnya pengawasan dilakukan seperti apa yang sudah disusun dalam peraturan detail, yakni PKPU.
“Jadi bisa dikatakan ada kesalahan kalau bertentangan dengan PKPU. Sekarang (putusan Bawaslu) tidak demikian. Ada orang yang sama-sama tidak diinginkan karena ada masalah, sudah dinyatakan tidak memenuhi syarat, dikembalikan oleh penyelenggara pemilihan sendiri. Kualitas pemilu kita bisa jadi berantakan,” kata Hadar.
Feri Amsari menuturkan, tiga putusan pengawas pemilu itu menunjukkan sikap kontradiktif. Bawaslu sudah pernah mengeluarkan pakta integritas agar parpol tidak mencalonkan bekas napi koruptor untuk legislatif. Namun, putusan jajaran Bawaslu di daerah, menunjukkan tidak ada wibawa pakta integritas tersebut. Selain itu, dia juga menilai tindakan pengawas pemilu itu inkonstitusional dari tujuan pembentukan lembaga pengawas pemilu, yakni untuk mengawasi agar peraturan perundang-undangan terkait pemilu dijalankan dengan benar, termasuk peraturan KPU.