JAKARTA, KOMPAS - Sinkronisasi terhadap 31 juta data penduduk potensial pemilih pemilu yang disebut belum masuk dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2019 akan dibahas secara tripartit oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri. Guna menjaga kepercayaan publik, perwakilan peserta pemilu dan masyarakat sipil perlu dipertimbangan untuk dilibatkan dalam proses tersebut.
Terkait dengan hal itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah berkomunikasi dengan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kemendagri untuk merencanakan pertemuan pada awal pekan ini. ”Kami belum bersurat resmi, tetapi sudah ada saling komunikasi. Diharapkan ada rapat tiga institusi itu, namun harinya masih akan dipastikan,” kata anggota Bawaslu, M Afifuddin, dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/10/2018).
KPU menetapkan 185 juta pemilih dalam negeri yang diakomodasi dalam datar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP) tahap I. Namun, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri menyebutkan, ada sekitar 31 juta penduduk dalam daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang belum sinkron dengan DPTHP. Adapun DP4 menjadi salah satu basis penyusunan daftar pemilih. KPU masih menelusuri data itu.
Menurut Afifuddin, dalam pertemuan tiga lembaga itu akan dibahas pencocokan data 31 juta penduduk DP4 yang disebut belum masuk DPTHP karena khawatir narasi yang berkembang di publik akan menjadi liar. ”Belum tentu juga data itu dianggap baru, tetapi bisa juga anomali data yang belum lengkap semua elemen datanya,” kata Afifuddin.
Secara terpisah, Ketua KPU Arief Budiman membenarkan bahwa sudah ada komunikasi dengan Bawaslu untuk menggelar pertemuan membahas sinkronisasi data pemilih. Namun, untuk menentukan waktu pertemuan, ia masih harus membicarakannya terlebih dahulu di tingkat internal KPU.
Masyarakat sipil
Dalam pertemuan tiga lembaga itu, menurut Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta, ketiga institusi itu perlu membicarakan cara sinkronisasi data dan regulasi sehingga bisa menghasilkan data yang sinkron. Menurut dia, masing-masing tidak boleh bersikeras menyatakan data yang dimilikinya paling benar dan valid.
Dia menambahkan, baik KPU, Bawaslu, maupun Kemendagri punya andil yang menyebabkan persoalan pendataan pemilih. Kemendagri, katanya, jika menemukan indikasi data tidak sinkron seharusnya jauh-jauh hari menyampaikannya kepada KPU, bukan justru baru menyerahkan saat sudah masuk tahap penetapan DPTHP tahap I. Selain itu, Bawaslu juga seharusnya memberikan koreksi terhadap data pemilih secara berjenjang sejak tingkat terbawah.
”KPU juga, bagaimana memberi sinyal positif kepada masyarakat. Menjelang berakhirnya 60 hari masa perbaikan DPTHP (15 November), masyarakat sipil dan perwakilan peserta pemilu seharusnya diundang untuk membicarakan hal itu, termasuk bagaimana sistem informasi data pemilih bekerja. Jangan diundang hanya untuk hal-hal seremonial,” kata Kaka.