Semua Pihak Harus Bekerja Keras Wujudkan Kesejukan
Semua pihak diminta bekerja keras untuk mewujudkan Pemilihan Umum 2019 yang sejuk, aman, dan damai.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Semua pihak diminta bekerja keras untuk mewujudkan Pemilihan Umum 2019 yang sejuk, aman, dan damai. Keberhasilan menyelenggarakan pemilu bisa menunjukkan bahwa Indonesia betul-betul negara yang berdemokrasi dengan baik.
Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) Polri Komisaris Jenderal Moechgiyarto menyampaikan hal itu dalam Rapat Koordinasi Penguatan Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara, TNI, dan Polri dalam Pemilihan Umum Tahun 2019. Rapat itu diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sumatera Barat di Padang, Rabu (27/3/2019).
Turut hadir dalam rapat tersebut antara lain Kepala Kepolisian Daerah Sumbar Inspektur Jenderal Fakhrizal, Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit, dan Ketua Bawaslu Sumbar Surya Efitrimen.
Menurut Moechgiyarto, pemilu adalah agenda rutin yang merupakan fase dalam perjalanan demokratisasi Indonesia. ”Di era reformasi tahun 1998 itulah mulainya era di mana masyarakat sudah bebas berekspresi, berbicara, menyampaikan pendapat, dan kritik-kritiknya kepada kita yang diberikan mandat,” katanya.
Menurut Moechgiyarto, penyelenggaraan pemilu yang bebas berekspresi tersebut menimbulkan polarisasi pada masyarakat. ”Demokrasi yang kita laksanakan ini membuat kita berkelompok-kelompok. Ada yang menjalankan demokrasi dengan cara yang santun sesuai dengan ketentuan. Akan tetapi, ada juga kelompok yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya,” kata Moechgiyarto.
Terkait dengan hal itu, maka diperlukan langkah untuk mengeliminasi atau paling tidak meminimalkan agar pesta demokrasi tidak menimbulkan perpecahan. ”Undang-undang, misalnya, sudah mengamanatkan Polri untuk melaksanakan dua peran. Pertama, peran bagaimana Polri bisa menjamin penyelenggaraan pemilu aman, sejuk, dan damai sehingga berjalan sesuai ketentuan,” kata Moechgiyarto.
Moechgiyarto menambahkan, peran kedua Polri adalah menjadi mesin pendingin atau cooling system. Hal itu tidak hanya di pusat, tetapi juga di jajaran daerah.
”Waktu pemungutan suara kurang lebih tiga minggu lagi. Jadi, gerak politik partai politik pasti akan semakin dinamis, suhu semakin meningkat dan memanas. Polri mesti menjadi ’mesin pendingin’ supaya tidak terjadi bentrokan antarpartai politik dengan masyarakat atau antarpartai politik dengan partai politik lain,” kata Moechgiyarto.
Moechgiyarto menambahkan, dibandingkan empat pemilu langsung sebelumnya setelah era Reformasi, pemilu pada tahun ini menjadi yang paling rumit karena pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan serentak.
Kondisi itu, menurut dia, bisa berpotensi menimbulkan kerawanan yang perlu diwaspadai dan diantisipasi. Misalnya, maraknya kampanye hitam dan kampanye negatif, provokasi, dan hasutan yang bisa mengarah pada tindak pidana pemilu atau pidana umum.
TNI, Polri, penyelenggara pemilu, dan pemerintah daerah harus netral dan solid. Tidak hanya di tingkat pimpinan, tetapi juga di semua tingkatan.
Menurut Moechgiyarto, sebagai mesin pendingin dalam situasi politik yang memanas, harus ada langkah-langkah yang dilakukan. ”Polisi sudah melakukannya dengan mendata hal-hal yang dapat mengganggu dan menghambat jalannya pelaksanaan pemilu, kemudian menyusun perencanaan pengamanan atau mitigasi konflik-konflik dari penyelenggaraan sebelumnya,” katanya.
Selain itu, bersama TNI, isu persatuan dan kesatuan harus terus didengungkan, termasuk tentang empat Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. ”TNI dan Polri sebagai dinamisator dan motor diharapkan bisa mendorong para penyelenggara pemilu dan masyarakat agar berpartisipasi dan peduli untuk melaksanakan pesta demokrasi yang kita harapkan,” kata Moechgiyarto.
Netralitas
Selain terkait kerawanan, netralitas juga harus diwujudkan. Hal itu tidak hanya mencakup ASN, TNI, dan Polri, tetapi juga penyelenggara pemilu.
”TNI, Polri, penyelenggara pemilu, dan pemerintah daerah harus netral dan solid. Tidak hanya di tingkat pimpinan, tetapi juga di semua tingkatan. Koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi harus benar-benar dibangun baik secara formal maupun informal serta tidak ada ego sektoral,” kata Moechgiyarto.
Untuk memastikan itu terwujud, perlu pengawas di kalangan internal institusi masing-masing. Pengawasan itu juga dilaksanakan secara berjenjang di setiap institusi.
”Selain itu, netralitas tersebut juga harus terus digaungkan lewat sosialisasi karena itu yang diinginkan masyarakat. Perlu juga membangun kelompok jaringan masyarakat yang peduli Pemilu 2019. Kalau terjadi (tidak netral), harus ditindak tegas tanpa pandang bulu,” kata Moechgiyarto.
Wagub Sumbar Nasrul Abit mengatakan, menjaga dan menggaungkan netralitas merupakan tugas banyak pihak, termasuk aparatur sipil negara (ASN). Ia pun meminta agar ASN, mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, tidak ikut hiruk pikuk, apalagi menjadi tim kampanye.
”Saya mengajak semua ASN untuk menjaga netralitas, termasuk kepada seluruh bupati dan wali kota agar menyosialisasikan hal ini lewat baliho atau spanduk-spanduk,” kata Nasrul.
Sementara itu, terkait tingkat kerawanan, berdasarkan Indeksi Kerawanan Pemilu 2019 yang dikeluarkan Bawaslu RI per 20 Maret 2019, Sumbar berada di posisi ke-26 dari 34 provinsi. Menurut Ketua Bawaslu Sumbar Surya Efitrimen, itu masuk kategori aman. Meski demikian, menurut Surya, kewaspadaan tetap diperlukan.