Komisi Pemilihan Umum memperketat protokol pengamanan kerja untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19. Di sisi lain, anggota DPR didorong segera memastikan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran berjalan.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum memperketat protokol pengamanan kerja untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19. Di sisi lain, anggota DPR didorong segera memastikan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran berjalan dengan baik untuk menangani wabah Covid-19.
Pengetatan protokol di lingkungan kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipastikan lewat Surat Edaran Nomor 10/2020 yang ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman pada 24 Maret 2020. Dalam surat edaran itu disebutkan tentang aktivitas bekerja dari rumah bagi ketua, anggota, dan staf sekretariat KPU di daerah yang sudah dinyatakan berstatus tanggap darurat.
Adapun di daerah yang tidak dinyatakan tanggap darurat, anggota KPU, Viryan Azis, saat dihubungi pada Rabu (25/3/2020) menyebutkan sudah ada arahan sebelumnya terkait hal tersebut. Ini sesuai dengan Surat Edaran Nomor 4/2020 tentang Panduan Tindak Lanjut Pencegahan Penularan Infeksi Covid-19 di Lingkungan KPU pada 16 Maret 2020.
Bagi daerah yang belum dinyatakan berstatus tanggap darurat, aktivitas kerja dari rumah dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan situasi daerah masing-masing.
Bagi daerah yang belum dinyatakan berstatus tanggap darurat, aktivitas kerja dari rumah dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan situasi daerah masing-masing. Sementara bagi daerah-daerah yang baru belakangan dinyatakan berstatus tanggap darurat, tugas kerja juga dilakukan dari rumah setelah melalui koordinasi dengan pemerintah setempat.
Peran DPR
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, pada hari yang sama menyebutkan keterkaitan pembatasan protokol kerja KPU dengan penundaan sejumlah tahapan dalam Pilkada 2020. Ia mengatakan, jika ada tahapan pilkada yang diundur, tahapan lain dipercepat untuk menyesuaikan dengan waktu pemungutan dan penghitungan suara.
Akan tetapi, hal tersebut sangat bergantung pada situasi dan penanganan pandemi Covid-19. Jika memang dilakukan penundaan total, KPU mesti sejak jauh hari sebelumnya menghitung waktu yang sesuai. Hal ini dinilai penting agar tidak mengurangi tahapan-tahapan penting dalam pelaksanaan pilkada.
Ihsan juga menyebutkan, dengan kondisi saat ini, KPU diharapkan cermat dalam menghitung waktu penyelenggaraan pilkada. Anggota DPR yang saat ini tengah menjalani masa reses harus pula dilibatkan.
Pasalnya, ini berkaitan dengan konsultasi yang mesti dilakukan pula oleh KPU, terutama dalam kaitannya dengan waktu penyelenggaraan Pilkada 2020 pada 23 September yang didasarkan pada ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Ihsan mengatakan, pada masa reses yang diperpanjang saat ini, anggota DPR mestinya dapat pula melihat langsung situasi di daerah pemilihan masing-masing. Ini terutama dalam kaitannya dengan penyebaran wabah Covid-19 dan kesiapan penyelenggara pemilu.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Antoni Putra, saat dihubungi, Rabu (25/3/2020), mengatakan perpanjangan masa reses DPR seperti dilakukan saat ini cenderung terlalu berisiko sebab akan menghambat fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.
Padahal, kondisi saat ini sangat perlu dukungan dari DPR untuk mengimbangi kekuasaan presiden dalam penanggulangan Covid-19.
”Padahal, kondisi saat ini sangat perlu dukungan dari DPR untuk mengimbangi kekuasaan presiden dalam penanggulangan Covid-19,” sebut Antoni.
Reses DPR sudah berlangsung sejak 27 Februari 2020. Sedianya Rapat Paripurna DPR untuk memulai masa persidangan ketiga tahun ini dilakukan pada 23 Maret, tetapi diundur menjadi 29 Maret 2020.