Pilkada pada Bulan Desember Dinilai Masih Berisiko
Pilkada memunculkan sejumlah risiko jika akan digelar pada Desember 2020 sesuai Perppu No 1/2020. Selain pandemi belum dipastikan berakhir, hal itu bisa berdampak pada penurunan partisipasi pemilih dan kualitas pilkada.
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan kepala daerah serentak diprediksi akan memunculkan sejumlah risiko apabila akan digelar pada Desember 2020. Selain pandemi belum dipastikan berakhir, hal itu bisa berdampak pada penurunan partisipasi pemilih dan kualitas pilkada. Untuk memastikan tahapan lanjutan pilkada, penyelenggara pemilu masih harus berkonsultasi dengan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid- 19 dan Menterian Kesehatan.
Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) pada pertengahan April 2020 di 53 daerah pemilihan yang akan menggelar Pilkada 2020, sebesar 92 persen responden setuju pilkada ditunda hingga 2021.
Itu berarti mayoritas masyarakat tidak sependapat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yang menunda Pilkada 2020 dari September menjadi Desember 2020.
Baca juga: Perppu Penundaan Pemungutan Suara Pilkada Opsi Paling Memungkinkan
Sementara hanya ada 2 persen responden menjawab tidak setuju pilkada digelar pada 2021, tidak menjawab 2 persen, dan tidak tahu 4 persen. Total responden di 53 daerah tersebut adalah 100 orang.
Sebesar 92 persen responden setuju pilkada ditunda hingga 2021. Itu berarti mayoritas masyarakat tidak sependapat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yang menunda Pilkada 2020 dari September menjadi Desember 2020.
Koordinator Nasional JPPR Alwan Ola Riantoby saat diskusi virtual JPPR di Jakarta, Kamis (7/5/2020), mengatakan, dari hasil jajak pendapat tersebut, ada sejumlah kondisi obyektif yang perlu diperhitungkan oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu apabila pilkada serentak akan digelar pada Desember 2020, salah satunya kesiapan pemilih.
Menurut Alwan, di tengah pandemi Covid-19, konsentrasi pemilih akan lebih terfokuskan pada proses penanggulangan virus. Rasa khawatir diprediksi masih tinggi apabila pemilih diminta datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
”Pasti akan menurun partisipasi pemilih. Masyarakat seakan difungsikan lima tahunan, ketika pilkada muncul, mereka baru didatangi. Akibatnya, partisipasi pemilih akan sangat rendah karena mereka masih gelisahan terhadap Covid-19 dan lebih baik di rumah daripada di TPS,” ujar Alwan.
Hadir juga dalam diskusi, anggota Komisi Pemilihan Umun (KPU) RI Viryan Aziz, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Fritz Edward Siregar, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, serta peneliti senior JPPR, Nurlia Dian Paramita.
Selain penurunan partisipasi pemilih, Alwan menyebutkan, kualitas pilkada juga akan ikut terdampak. Kualitas pilkada ini meliputi kesiapan dari penyelenggara pemilu dari pusat hingga daerah, protokol kesehatan bagi badan ad hoc penyelenggara pemilu, serta kesiapan partai politik dan calon peserta pemilu.
”JPPR khawatir, jangan sampai terulang kembali fenomena di Pemilu 2019, penyelenggara pemilu ad hoc menjadi korban, bekerja tak kenal waktu dengan standar kesehatan yang belum pasti. Ini kondisi obyektif yang harus diperhitungkan dengan sangat matang,” ujar Alwan
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, lebih dari 400 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal saat Pemilu 2019.
Alwan pun menyebutkan, di tengah pandemi, pemantau pemilu juga akan mengalami kesulitan mencari sukarelawan sehingga dikhawatirkan pengawasan pilkada menjadi kendur.
Evaluasi pada Juni
Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, Perppu No 2/2020 yang dikeluarkan pemerintah telah mengakomodasi putusan politik di Komisi II saat rapat dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan penyelenggara pemilu pada pertengahan April lalu. Saat itu, rapat juga memutuskan penundaan Pilkada 2020 menjadi digelar pada Desember 2020.
Namun, pelaksanaan pilkada pada Desember 2020, lanjut Doli, masih akan melihat perkembangan pandemi hingga Juni 2020 terlebih dulu.
”Harapan kami, masa tanggap darurat tanggal 29 Mei dinyatakan berakhir oleh pemerintah sehingga Juni situasi terkendali dan tahapan-tahapan berikutnya yang tadinya ditunda bisa dilaksanakan,” ujar Doli.
Sambil menunggu Juni, Komisi II bakal mengevaluasi kesiapan KPU. Penyelenggara pemilu itu diminta membuat sejumlah skenario dalam melanjutkan tahapan yang tertunda. KPU juga harus membuat standar protokol kesehatan apabila pilkada digelar pada Desember 2020.
Meski demikian, kata Doli, Perppu No 2/2020 sebetulnya masih memberikan ruang penundaan lebih lama apabila pandemi belum usai. ”Klausul ini dicantumkan supaya bisa mengantisipasi, ada sedikit pintu masuk ketika situasi sama sekali tak terkendali sehingga pada saat diperpanjang, tak perlu perppu baru,” katanya.
Sementara itu, Viryan Aziz menuturkan, ada sejumlah regulasi yang perlu disesuaikan dengan adaptasi pandemi Covid-19. Itu pun hanya bisa dilakukan di tingkat peraturan KPU (PKPU). Sifat pengaturannya tidak bisa melampaui undang-undang.
Viryan mencontohkan, dengan tidak diubahnya pengaturan ketetapan mengenai praktik verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan dalam Perppu No 2/2020, praktiknya tetap akan dilakukan dengan cara sensus. Ini membuat alternatif yang sempat muncul dengan mengubahnya menjadi metode penarikan sampel menjadi tidak lagi memungkinkan.
Penyesuaiannya, tambah Viryan, dilakukan dengan menjamin prinsip jaga jarak fisik guna mengurangi risiko terinfeksi dan untuk memutus penyebaran virus pencetus Covid-19. Sementara untuk pencocokan dan penelitian data pemilih terkait apakah harus dilakukan dari rumah ke rumah, Viryan menyebutkan bahwa hal itu bisa diputuskan dalam PKPU. Ini karena tidak adanya pengaturan dalam undang-undang terkait hal tersebut, tetapi hanya proses yang dilakukan oleh petugas pemutakhiran data pemilih.
Viryan menyebutkan, ada lima hal yang perlu ditinjau ulang oleh KPU terkait pengaturan tahapan pilkada serta penyesuaiannya dengan kondisi pandemi Covid-19. Lima hal itu adalah verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan, pencocokan dan penelitian data pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi.
”Lima tahapan itu kami kaji mendalam. Kami bekerja cepat, menyeluruh, dan detail. Terkait konsekuensi anggaran, mudah-mudahan rampung (selesai) seminggu ke depan, minggu ke depan kami sampaikan. Kami punya waktu hingga minggu ketiga Mei,” katanya.
Lebih jauh lagi, ujar Viryan, demi aspek kesehatan, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid- 19 dan Menteri Kesehatan dalam pelaksanaan pilkada di tengah pandemi ini.
”Kami akan koordinasikan gimana kondisi Covid-19 pada akhir Mei 2020 nanti, apakah akhir Mei nanti status bencana sudah dicabut, lalu tahapan pilkada bisa langsung jalan atau perlu tahap pemulihan. Ketika pemulihan, mungkin atau tidak berjalan tahapan pilkada,” ujar Viryan.
Politisasi bansos
Fritz Edward Siregar menyampaikan, dalam proses penindakan politisasi bansos di tengah pandemi, ada sejumlah hal yang harus diamati, di antaranya subyek pelanggar, undang-undang yang dilanggar, serta kategori pelanggaran.
”Setiap delik harus terpenuhi, baik calon, waktu, maupun apa yang dilanggar. Harus dilihat melanggar undang-undang di pemilihan atau undang-undang lain,” ujar Fritz.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, menurut Fritz, tak bisa serta-merta menjerat politisasi bansos oleh kepala daerah sebab tahapan pilkada belum dilanjutkan kembali.
Namun, ada celah hukum yang bisa dipakai untuk menjerat kepala daerah yang mempolitisasi bansos, yaitu Pasal 76 Ayat (1) huruf a dan d UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalam Pasal 76 Ayat (1) huruf a tertulis, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ini sebuah pasal yang dapat dikonstruksi untuk calon kepala daerah yang melakukan politisasi bansos.
Kemudian di Pasal 76 Ayat (1) huruf d, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan atau merugikan daerah yang dipimpin.
Baca juga: Pilkada Ditunda, Peta Politik Bisa Berubah
”Ini sebuah pasal yang dapat dikonstruksi untuk calon kepala daerah yang melakukan politisasi bansos,” ucap Fritz.
Jika terbukti melanggar UU Pemda itu, lanjut Fritz, sanksi yang bisa dikenakan adalah pemberhentian. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 78 Ayat (2) huruf e UU Pemerintahan Daerah.
Fritz mengatakan, Bawaslu RI juga telah membuat surat edaran kepada semua jajaran Bawaslu tingkat provinsi, kabupaten, dan kota agar mengoptimalkan pengawasan terhadap pejabat daerah serta melakukan pencegahan politisasi bansos.