Praktik jual-beli data pribadi semestinya jadi pelajaran bagi pemerintah, DPR, dan KPU agar terus memperkuat perlindungan data pemilih karena rentan disalahgunakan pihak lain. KPU harus memperbaiki penanganan data.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
Dugaan kebocoran data pemilih dari Pemilu 2014 mengingatkan pemerintah dan KPU agar memperbaiki mekanisme penanganan data.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik jual-beli data pribadi semestinya menjadi pelajaran bagi pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu agar terus memperkuat perlindungan data pemilih karena ternyata rentan disalahgunakan pihak lain.
Karena itu, dugaan bocornya data pemilih, seperti diungkap akun Twitter @underthebreach pada Kamis (21/5/2020), harus segera diungkap. Selain itu, perlu perbaikan penanganan dan perlindungan data pemilih.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar di Jakarta, Jumat (22/5/2020), mengatakan, kebocoran data pemilih memiliki risiko besar karena data dibangun dari data kependudukan yang terkoneksi dengan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (NKK). Adapun NIK dan NKK merupakan instrumen utama verifikasi dan pengaksesan berbagai layanan.
Elsam mencatat, data pribadi bisa digunakan mengakses rekening bank dan pemerasan. Kasus-kasus penipuan dan pemalsuan data juga akibat bocornya data. ”Potensi penambangan data lanjutan juga sangat besar dan berakibat pada eksploitasi dan berekses hilangnya kontrol subyek data pribadi,” ujar Wahyudi. Untuk itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika segera menginvestigasi. Hal ini penting demi kenyamanan dan keamanan data di masa datang.
Potensi penambangan data lanjutan juga sangat besar dan berakibat pada eksploitasi dan berekses hilangnya kontrol subyek data pribadi.
Hal senada diungkap Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity Ferry Kurnia Rizkiyansyah.
Sebelumnya, 2,3 juta daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 diperjualbelikan. Peretas mengklaim mengambil data dari situs KPU tahun 2013 yang berisi nama hingga alamat rumah.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, M Afifuddin, meminta KPU segera menjelaskan kebocoran data itu. ”Data harus dipastikan benar-benar aman dan jangan sampai dikapitalisasi pihak tak bertanggung jawab,” ujarnya.
Diduga ”soft file”
Anggota KPU, Viryan Azis, menegaskan server KPU tak diretas. Data yang bocor diduga soft file DPT Pemilu 2014 dengan metadata 15 November 2013. ”Sedang ditelusuri. Kemungkinan dari eksternal yang menerima. Kami akan lapor (Polri dan Kemenkominfo) untuk memperjelas ini,” ujar Viryan.
Berdasarkan UU Pemilu, KPU wajib menyerahkan soft file DPT kepada peserta pemilu dan pengawas pemilu.
Sementara itu, Menkominfo Johnny G Plate telah berkoordinasi dengan KPU serta Badan Siber dan Sandi Negara untuk menelusuri.
Johnny menyampaikan, dalam UU Pemilu, pemerintah berkewajiban menyerahkan perkiraan data penduduk yang memenuhi syarat sebagai pemilih kepada KPU Pusat. Oleh karena itu, mekanisme pengiriman, pengolahan, penyimpanan, dan pengungkapan data calon pemilih, perlu diperhatikan keamanannya.
Tidak saja secara teknis melalui security system yang andal dan updated, tetapi juga sangat dibutuhkan payung hukum yang memadai.
”Tidak saja secara teknis melalui security system yang andal dan updated tetapi juga sangat dibutuhkan payung hukum yang memadai,” tutur Johnny.
Atas dasar itu, lanjut Johnny, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) di DPR dapat segera dilakukan. ”Kami meyakini DPR juga mempunyai pandangan yang sama dimana RUU PDP perlu segera diselesaikan,” katanya.
Saat ini, ujar Johnny, Kemenkominfo sedang menyiapkan Pusat Data Nasional Pemerintah yang akan mengintregrasikan data pemerintah dengan sistem keamanan yang berlapis dan sesuai standar keamanan yang berlaku. Dia berharap, pusat data tersebut akan mencegah terjadinya perpindahan data dari satu lembaga kepada lembaga lainnya dan akan memperkuat ketahanan data, serta informasi nasional.