Kepala daerah dan wakil kepala daerah diingatkan untuk tidak menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu kandidat dalam Pilkada 2020. Bawaslu akan mengawasinya.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu mewaspadai modus politisasi bantuan sosial oleh kepala daerah sebagai upaya untuk menguntungkan diri sendiri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah lanjutan tahun 2020. Modus itu diprediksi akan rentan terjadi di saat pilkada lanjutan diselenggarakan pada waktu yang beriringan dengan pendistribusian bansos oleh pemerintah pusat ataupun daerah terhadap warga yang terdampak pandemi Covid-19.
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, Bawaslu akan konsen dan mengawasi dengan saksama pendistribusian bansos di daerah, terutama yang menyelenggarakan pilkada. Sebab, politisasi bansos untuk kepentingan calon tertentu, terutama petahana, kini disinyalir akan menjadi salah satu modus guna meraih dukungan atau simpati warga pemilih. Oleh karena itu, seluruh calon diharapkan mematuhi ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
”Untuk mengantisipasi hal ini, Bawaslu telah mengeluarkan Surat Edaran pada 30 April 2020,” kata Afif saat dihubungi, Jumat (29/5/2020), dari Jakarta.
Bawaslu akan konsen dan mengawasi dengan saksama pendistribusian bansos di daerah, terutama yang menyelenggarakan pilkada. Sebab, politisasi bansos untuk kepentingan calon tertentu, terutama petahana, kini disinyalir akan menjadi salah satu modus guna meraih dukungan atau simpati warga pemilih.
Isi surat edaran Bawaslu itu antara lain mengingatkan kembali kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk tidak menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. Hal itu diatur di dalam Pasal 71 UU Pilkada.
Dengan telah ditetapkannya jadwal tahapan penetapan calon, menurut Afif, pasal tersebut dapat diimplementasikan, yakni dengan menghitung enam bulan sebelum pencalonan sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. ”Kalau nanti tahapan sudah jelas, maka dihitung ke belakang selama enam bulan sebelum penetapan calon dan setiap tindakan yang memenuhi ketentuan yang dilarang di dalam Pasal 71 UU Pilkada tersebut bisa ditindak. Poin pentingnya, kami ingin menjaga kualitas pemilu yang menjadi tanggung jawab kami,” kata Afif.
Selain melarang penggunaan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu satu pasangan calon (paslon), Pasal 71 UU Pilkada juga melarang kepala daerah mengganti pejabat enam bulan sebelum penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih. Pasal itu juga melarang pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI/Polri, hingga lurah dan kepala desa untuk membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon.
Sebelumnya, akhir April lalu diberitakan adanya pemberian bansos bagi warga yang terdampak pandemi di sejumlah daerah yang ditempeli dengan stiker dan nama kepala daerah tertentu. Hal itu terjadi salah satunya di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh Bupati Sri Mulyani. Sri adalah bupati petahana yang berpotensi maju kembali sebagai kandidat bupati dalam Pilkada 2020.
Afif mengatakan, Bawaslu akan memaksimalkan pengawas partisipatif dan jajaran Bawaslu di daerah untuk mengawasi politisasi bansos. ”Masyarakat juga bisa melaporkan hal itu dengan mudah kepada panwaslu di daerah,” ujarnya.
Terkait dengan antisipasi Bawaslu lainnya untuk mencegah dan menangani politisasi bansos, anggota Bawaslu, Frits Edward Siregar, mengatakan, pihaknya secara berkelanjutan melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar mengawasi kepala daerah dengan instrumen yang diatur di dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
”Koordinasi berkelanjutan juga dilakukan dengan polisi dan jaksa untuk menyamakan persepsi soal penerapan Pasal 71 UU Pilkada. Sebab, penindakan atas politisasi bansos itu memerlukan tahapan penetapan paslon terlebih dulu. Sebelum tahapan itu dipastikan, kami belum bisa melakukan penindakan terhadap kejadian enam bulan ke belakang,” katanya.
Dalam draf Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Tahapan Pilkada, penetapan paslon dilakukan pada 23 September 2020. Dengan berpatokan pada tanggal penetapan calon tersebut, menurut Fritz, Bawaslu baru bisa memproses atau menindak dugaan-dugaan pelanggaran sesuai ketentuan dalam Pasal 71 Ayat (3), yang di dalamnya termasuk juga pemanfaatan bansos untuk menguntungkan calon tertentu.
”Sebenarnya kami sudah bisa membawa ke sentra gakumdu (penegakan hukum terpadu), tetapi kan unsur ’penetapan calon’ yang diatur di dalam Pasal 71 itu saat ini belum terpenuhi. Ketika sudah ada penetapan calon, Bawaslu akan memrosesnya,” kata Fritz.
Rentan politisasi
Dihubungi terpisah, pengajar ilmu politik dari Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, mengatakan, politisasi bansos menjadi fenomena laten dalam penyelenggaraan kontestasi politik, baik pemilu maupun pilkada. Namun, dalam kondisi pandemi, fenomena ini lebih rentan terjadi karena pilkada diselenggarakan beriringan waktunya dengan pembagian bansos kepada warga masyarakat yang memerlukan.
Penyalahagunaan bansos ini juga lebih rentan terjadi karena sekitar 70 persen dari kontestan pilkada adalah petahan. ”Data dari Kemendagri menyebutkan ada sekitar 70 persen kontestan pilkada adalah petahana. Angka ini besar karena lebih dari 200 kontestan adalah petahana. Politisi bansos menjadi lebih rentan terjadi karena bansos adalah program pemerintah, sementara para petahana inilah yang bertanggung jawab dalam menyalurkannya,” katanya.
Penyalahagunaan bansos ini juga lebih rentan terjadi karena sekitar 70 persen dari kontestan pilkada adalah petahan.
Modus politisasi bansos pun bermacam-macam dan hal itu harus diwaspadai oleh pengawas pemilu. Petahana, misalnya, bisa menggunakan bansos itu seolah-olah sebagai bantuan atau program dari dirinya pribadi. Modus lainnya, petahana hanya membagikan bansos itu kepada warga di daerah-daerah yang berpotensi menjadi basis pemilihnya dalam pilkada. Akibatnya, pembagian bansos menjadi tidak merata atau tidak berkeadilan. Apa pun modus yang dilakukan oleh petahana, rakyatlah yang paling dirugikan.
Politisasi bansos juga berpotensi untuk memicu tumbuhnya kampanye negatif terhadap bansos itu sendiri.
”Penantang petahana bisa menjadikan pembagian bansos itu sebagai alat kampanye negatif. Dengan demikian, tujuan penyaluran bansos itu menjadi tidak bisa dicapai. Lagi-lagi rakyat yang dirugikan,” kata Djayadi.
Untuk mengatasi politisasi bansos, kata Djayadi, Bawaslu harus mengevaluasi kapasitas dan efektivitas pengawasan yang selama ini ada. Seharusnya ada instrumen-instrumen yang memungkinkan Bawaslu dan jajaran pengawasnya bekerja ekstra mencegah dan mengawasi politisasi bansos. ”Pengawasan ekstra itu, misalnya, dilakukan dengan menambah tenaga pengawas, atau menguatkan kerja sama pengawasan dengan masyarakat sipil. Sebab, masyarakat sipil pasti juga konsen mengawasi pilkada ini agar berlangsung demokratis dan jujur,” katanya.