Saat Rapat DPR yang Diakui Terbuka, Tetapi Tak Bisa Diakses dari Publik
RDP Komisi II DPR membahas tambahan anggaran Pilkada 2020 diklaim berlangsung terbuka. Namun, publik tidak bisa mengakses rapat tersebut. Beberapa pegiat pemilu yang berusaha bergabung dalam rapat daring, di-remove.
Rapat kerja gabungan antara Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, soal anggaran Pilkada 2020, Rabu (3/6/2020), kemarin mengundang banyak pertanyaan, terutama terkait dengan sifat rapat yang tertutup. Rapat yang berlangsung selama hampir enam jam itu tidak dapat diakses oleh publik, karena rapat tidak dapat diikuti secara virtual oleh kalangan masyarakat sipil, jurnalis, maupun pegiat pemilu lainnya.
Alhasil, kecuali mereka yang hadir secara virtual di ruang rapat itu, tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di sana. Rapat Rabu itu seolah menjadi “ruang gelap,” karena tidak seperti biasanya, TV Parlemen dan media sosial (medsos) DPR lainnya, seperti Youtube, Instagram, dan Facebook, tak satu pun yang menayangkan atau menyiarkan rapat tersebut secara langsung.
Padahal, sejak pekan sebelumnya, pimpinan Komisi II DPR menjanjikan untuk membuka rapat tersebut. Partisipasi dan pengawasan publik sejak awal memang diniatkan untuk selalu dihadirkan dalam setiap rapat Komisi II DPR terkait dengan persiapan pilkada lanjutan.
Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi Membuat Anggaran Jadi Membengkak
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, sejak awal ingin membuka rapat-rapat terkait dengan pilkada, dan rapat-rapat lainnya. Peraturan Tata Tertib DPR juga secara eksplisit mengatur setiap rapat DPR bersifat terbuka kecuali dinyatakan tertutup. Lazimnya rapat-rapat di DPR, rapat dinyatakan tertutup bila disetujui oleh peserta rapat, dan kecenderungannya bila hal-hal yang dibahas dalam rapat itu menyangkut rahasia negara.
Pasal 276 Tatib DPR menyebutkan, rapat terbuka adalah rapat yang selain dihadiri oleh anggota juga dapat dihadiri oleh bukan anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang. Adapun rapat tertutup adalah rapat yang hanya boleh dihadiri oleh anggota dan bukan anggota yang diundang.
Merujuk pada ketentuan Tatib DPR dan kelaziman atau peraturan tidak tertulis dalam praktik di DPR selama ini, seharusnya rapat pembahasan anggaran pilkada yang diikuti penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP), serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan anggota Komisi II DPR, itu dilangsungkan terbuka.
Terbuka berarti dapat dihadiri anggota maupun bukan anggota DPR, dan pihak yang diundang ataupun tidak diundang. Namun, pada kenyataannya, rapat itu berlangsung tertutup.
Sejumlah pegiat dan pemerhati pemilu, termasuk para wartawan tidak dapat mengikuti rapat itu, baik melalui aplikasi zoom maupun siaran langsungnya di TV Parlemen dan medsos DPR. Padahal, Tatib DPR juga eksplisit mengatur TV parlemen secara mandatori berkewajiban menyiarkan rapat DPR yang dinyatakan terbuka, terkecuali bila rapat itu dinyatakan tertutup.
Akan tetapi, ketika sifat rapat yang tertutup itu dikonfirmasikan ke pimpinan Komisi II DPR, mereka menyatakan rapat dilangsungkan secara terbuka.
“Lho, rapatnya terbuka kok. Saya nyatakan di dalam rapat bahwa rapat itu dibuka untuk umum. Makanya saya tadi juga heran kenapa banyak yang mengatakan dan mengirim pesan kepada saya kalau rapat itu tertutup. Saya tadi marah-marah kepada teman-teman TV Parlemen, kenapa tidak menyiarkan rapat itu secara langsung,” kata Doli.
Lain pernyataan, lain lagi realitanya. Rapat itu terlanjur tidak disiarkan dan aksesnya ditutup untuk publik. Pernyataan bahwa rapat itu terbuka menjadi kehilangan relevansinya, sebab rapat pada tidak dapat diakses secara terbuka.
Sejumlah pemerhati dan penggiat pemilu, seperti mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay, juga tidak dapat masuk mengikuti rapat melalui aplikasi zoom tersebut. “Pak Hadar juga di-remove oleh host,” kata Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit).
Anggota KPU Hasyim Asy’ari pun hampir tidak bisa masuk mengikuti rapat itu secara daring. “Saya ikut online. Tadi memakai nama HA langsung diremove. Begitu pakai nama Hasyim KPU langsung dimasukkan,” katanya.
Publik wajar kecewa dengan sifat dan pengelolaan rapat yang tertutup itu, sebab pembahasan anggaran pilkada adalah salah satu hal paling krusial di dalam penyelenggaraan suatu pemilihan. Publik memiliki hak mengawal dan memantau jalannya pembahasan anggaran itu. Sebab, hal itu merupakan roh dari penyelenggaraan pemilihan.
Tanpa anggaran, suatu tahapan tidak dapat dilaksanakan, sekalipun desain dan skenario teknis telah disiapkan dengan rapi. Terlebih lagi, kini penyelenggara pemilu memiliki kewajiban untuk mengutamakan keselamatan pemilih dan penyelenggara di lapangan, karena pilkada dilaksanakan di tengah pandemi.
Empat opsi
Dalam raker gabungan pekan lalu, KPU dan Bawaslu memaparkan estimasi kebutuhan anggaran untuk penyediaan alat perlengkapan guna memenuhi protokol kesehatan Covid-19. KPU memperkirakan memerlukan Rp 535, 9 miliar, sedangkan Bawaslu Rp 204 miliar.
Jumlah itu membengkak atau naik dalam raker, Rabu kemarin. Dari konfirmasi ke sejumlah pihak usai rapat diketahui bahwa KPU mengajukan empat opsi penyelenggaraan pilkada dengan kategori yang didasarkan pada jumlah pemilih setiap tempat pemungutan suara (TPS) dan ketersediaan alat perlindungan diri (APD) dan alat kesehatan sesuai protokol Covid-19.
Untuk kategori A, KPU membuat jumlah pemilih dalam tempat pemungutan suara 800 orang, sehingga ada 253.929 TPS. Selain itu, untuk kategori A ini, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) dilakukan berbasis TPS. Dalam kategori ini, bila pengadaan alat kesehatan dan protokol Covid-19 lengkap, estimasi biaya tambahan yang diperlukan KPU Rp 3,5 triliun. Namun, untuk opsi kedua, yakni bila alat protokol kesehatan Covid-19 tidak lengkap, biaya yang diperlukan Rp 2,5 triliun.
Untuk kategori B, KPU membuat jumlah pemilih setiap TPS sebanyak 500 orang, sehingga ada 311.978 TPS. Adapun untuk pembentukan PPDP dilakukan berbasis rukun tetangga (RT). Untuk kategori ini, opsi pertama dengan kelengkapan protokol kesehatan lengkap dibutuhkan Rp 5,6 triliun, dan opsi kedua dengan kelengkapan protokol kesehatan kurang lengkap diperlukan Rp 4,5 triliun.
Adapun Bawaslu mengusulkan tiga opsi. Opsi pertama, Rp 279 miliar jika jumlah pemilih dalam satu TPS 800 orang. Opsi kedua Rp 290 miliar bila jumlah pemilih per TPS 500 orang. Opsi ketiga Rp 326 miliar jika jumlah pemilih per TPS 300 orang. Namun, akhirnya di dalam rapat disepakati kebutuhan tambahan anggaran Bawaslu diusulkan menjadi Rp 290 miliar.
Hasil rapat hanya menyimpulkan 500 orang dalam satu TPS adalah kondisi ideal, tetapi tidak disertai kepastian anggaran yang dapat ditambahkan. Dalam rapat Rabu kemarin, efisiensi anggaran menjadi pertimbangan semua pihak karena kondisi fiskal negara yang tertekan oleh pandemi Covid-19. DPR meminta penyelenggara pemilu merestrukturisasi anggaran dari tahapan pilkada.
Mendagri Tito Karnavian juga meminta waktu untuk bicara dengan para kepala daerah yang menyelenggarakan pilkada karena kemendagri meyakini ada daerah-daerah yang masih bisa membiayai pilkada itu dengan anggaran daerah. Dengan demikian, tidak sepenuhnya biaya pilkada lanjutan itu dibebankan kepada anggaran negara. Pemetaan oleh kemendagri itu dilakukan, Jumat ini.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustofa mengatakan, pemetaan oleh Kemendagri tentang daerah-daerah mana saja yang mampu membiayai pilkada penting dilakukan untuk memastikan ketersediaan anggaran bagi pilkada. Skenarionya ialah pembiayaan pilkada tidak hanya dimintakan kepada anggaran negara, tetapi juga dibiayai oleh daerah.
“Mendagri akan mapping dan membuat kluster daerah-daerah mana yang masih sangat memadai dari sisi anggaran dan defisit untuk menambah anggaran pilkada. Memang ada daerah-daerah yang \'lempar handuk\' atau tidak mampu membiayai pilkada. Daerah-daerah itu yang akan disupport APBN. Upaya (pemetaan) Ini juga keinginan Menteri Keuangan,” katanya.
Rapat juga mengusulkan agar keperluan barang dan alat kesehatan untuk protokol Covid-19, seperti sarung tangan, hand sanitizer, alat perlindungan diri (APD), dan tinta semprot, dibantu oleh institusi lain, yakni Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sebab, saat itu lembaga tersebut sedang mengonsolidasikan pengadaan alat-alat kesehatan terkait dengan protokol kesehatan Covid-19.
“Kami ingin penyelenggara fokus pada teknis pilkada, sehingga pilkada yang dihasilkan demokratis dan berkualitas. Mereka tidak perlu mengurusi pengadaan barang dan alat-alat untuk protokol Covid-19, karena itu dapat dibantu oleh institusi lain,” kata Saan.
Perlu kepastian
Terkait hasil rapat tertutup itu, Ferry mengkritisi tetap dilakukannya pilkada pada Desember 2020. Dengan kondisi anggaran yang belum jelas, kepastian tahapan juga terganggu. Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi membawa konsekuensi berupa persiapan yang harus mempertimbangkan juga keselamatan dan kesehatan publik. KPU tentu harus menghitung kebutuhan anggaran itu, sehingga suka atau tidak suka, harus ada jalan keluar dalam penganggaran pilkada lanjutan ini.
“Kalau pun bantuan itu bentuknya barang dan alat kesehatan untuk protokol Covid-19, ya harus ada kepastian, atau harus ada mekanisme keuangannya. Nilai barang itu harus bisa dinominatifkan. Sebab, Pilkada bukan pengadaan proyek tertentu yang bisa setiap saat kalau barangnya tidak ada maka bisa ditunda dulu. Itu tidak bisa. Kalau tahapan pilkada sudah mulai, otomatis sampai tahapan akhir sudah ada anggaran dan kegiatan yang pasti dan terjadwal,” ujarnya.
Penyelenggaraan pilkada yang harus siap anggaran dan tahapan kegiatan itu berimplikasi pada penyiapannya yang harus detil dan seksama. Dengan kondisi ketidaksiapan anggaran di tengah pandemi, menurut Ferry, tidak ada salahnya agar pilkada ditunda pada 2021, dan tidak dipaksakan pada 2020.
Namun, DPR dan pemerintah sudah pada kesimpulan tetap melaksanakan pilkada tahun 2020. Di sisi lain, KPU dan Bawaslu hanya dapat membuat opsi yang dapat dipilih dalam penyelenggaraan pilkada. Opsi untuk mengadakan pilkada pada tahun 2021 pun sebenarnya telah disodorkan oleh penyelenggara pemilu, tetapi tidak diambil oleh pembuat kebijakan.
Doli mengatakan, tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat memprediksi kapan Covid-19 berakhir. Karena itu, pilihan menunda pilkada juga tidak menjamin kondisi tahun 2021 akan lebih baik daripada kondisi saat ini. Sebab, penyakit itu bahkan diprediksikan tidak akan bisa teratasi sampai vaksinnya ditemukan. Namun, hingga saat ini tidak ada yang dapat memastikan kapan vaksin itu ditemukan.
“Kalau ditunda sampai tahun 2021, apakah bisa dijamin kondisi saat itu akan lebih baik daripada sekarang? Iya kalau lebih baik, tetapi kalau lebih buruk bagaimana? Ini akan membawa dampak berat bagi pemerintahan daerah jika pilkada tidak segera dilakukan,” kata Doli.
Pilihan untuk menunda atau meneruskan pilkada di kala pandemi memang tidak mudah dan problematis. Tetapi, setidaknya dalam setiap putusan itu, pembuat kebijakan mendengarkan masukan dan pendapat dari publik.
Dalam negara demokrasi, upaya itu minimal dapat dilakukan dengan membuka akses publik seluas-luasnya dalam proses pembuatan kebijakan. Namun, jika rapat anggaran saja tertutup dari publik, akankah suara tetap publik didengar dalam pembuatan kebijakan?