Pemerintah Berkeras Adakan Pilkada 2020
DPD mendorong Kemendagri menunda pilkada hingga tahun depan. Namun, pemerintah tetap ingin pilkada digelar pada 2020. Penundaan pilkada dinilai hanya timbulkan ketidakpastian sebab tak jelas kapan Covid-19 berakhir.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tetap pada keputusan untuk mengadakan pilkada lanjutan pada 9 Desember 2020. Penyelenggaraan di tengah pandemi Covid-19 itu diyakini tidak hanya menjadi upaya pemerintah menjalankan agenda politik yang penting, tetapi juga untuk menggerakkan stimulus perekonomian yang cukup signifikan di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah yang digelar secara virtual, Rabu (10/6/2020), di Jakarta, mengatakan, keputusan untuk tetap menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi itu diambil karena tidak ada kepastian kapan pandemi ini berakhir. Di tengah ketidakpastian itu, keputusan untuk menunda pilkada hingga 2021 juga menimbulkan ketidakpastian baru karena tidak ada yang dapat menjamin apakah tahun depan kondisi akan lebih baik atau malah lebih buruk. Di satu sisi, penundaan pilkada membebani aspek politik, karena pilkada menjadi tidak dapat dilakukan.
Keputusan untuk tetap menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi itu diambil karena tidak ada kepastian kapan pandemi ini berakhir. Di tengah ketidakpastian itu, keputusan untuk menunda pilkada hingga 2021 juga menimbulkan ketidakpastian baru.
Sebagian besar peserta raker yang dipimpin oleh Ketua Komite I DPD RI Agustin Teras Narang mendorong pemerintah agar menunda pilkada pada 2021. Sejumlah kendala diungkapkan anggota DPD, yakni belum jelasnya teknis pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan Covid-19, ketidaksiapan anggaran oleh daerah, kendala sosialisasi protokol dan tahapan oleh KPU daerah secara virtual dalam kondisi pandemi lantaran kesulitan jaringan internet, serta tidak dilibatkannya institusi DPD dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu terkait pilkada.
Terkait waktu penyelenggaraan pilkada, Tito mengatakan, Komisi Pemilihan Umum telah memberikan tiga opsi, yakni Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021. Namun, melihat perkembangan di mana banyak negara juga tidak dapat memastikan kapan pandemi berakhir, serta belum adanya vaksin untuk virus korona, pemerintah mengambil opsi paling optimistis, yakni Desember 2020.
”Pilkada ini merupakan agenda politik yang penting untuk memilih pemimpin yang legitimate (sah) dengan dipilih oleh rakyat daripada nanti memilih pelaksana tugas (Plt) sampai 2022. Sebab, nanti paling cepat 2022 dan kalau masih pandemi bisa ditunda lagi pada 2023. Akhirnya pemerintah tidak legitimate karena tidak dipilih rakyatnya. Karena itu, kami kembali kepada opsi optimistis,” kata Tito.
Mengenai kemungkinan pilkada untuk diundur pada 2021, Tito mengatakan, hal itu dimungkinkan karena ada ketentuan yang membuka potensi itu di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020. Jika ada kondisi pilkada tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Desember 2020, bisa saja pilkada ditunda. ”Masih ada peluang diundur ke masa berikutnya. Perppu itu berbunyi demikian, tidak hanya mengatakan satu tanggal,” kata Tito.
Dengan memilih skenario paling optimistis, yakni pilkada pada 9 Desember 2020, sejumlah implikasi pun harus dihadapi oleh penyelenggara, baik yang terkait dengan teknis tahapan, anggaran, maupun protokol kesehatan. Dalam hal ini, KPU telah membuat dua peraturan KPU (PKPU), yakni satu PKPU tentang jadwal dan tahapan, serta satu lagi PKPU tentang pilkada dengan protokol kesehatan Covid-19. Dua PKPU itu sedang diharmonisasikan dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Anggaran
Untuk merespons implikasi anggaran, Kemendagri terus berkomunikasi dengan pemerintah daerah untuk memetakan kemampuan fiskal daerah. Dari hasil komunikasi tersebut, menurut Tito, cukup banyak daerah yang menyatakan siap untuk menambah anggaran pilkada. Namun, banyak pula pemda yang mengatakan tidak memiliki cukup kemampuan fiskal untuk memenuhi kebutuhan anggaran dalam pilkada lanjutan. Daerah di kawasan Indonesia timur menjadi salah satu daerah yang memerlukan dukungan dana dari pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pilkada.
”Ada 194 daerah yang telah kami petakan kapasitas fiskalnya dari 270 daerah yang akan mengadakan pilkada. Masih ada 76 daerah lagi yang akan terus kami tanya setiap hari. Ada yang fiskalnya rendah seperti daerah timur. Itulah yang akan didorong oleh APBD. Adapun untuk daerah yang siap mendukung tambahan anggaran, setelah rasionalisasi anggaran KPU dan Bawaslu, otomatis kami persilakan mereka untuk memberikan tambahan anggaran,” katanya.
Dalam raker gabungan antara pemerintah, penyelenggara pemilu, dan DPR, pekan lalu, terungkap kebutuhan anggaran tambahan berkisar Rp 2,8 triliun sampai Rp 5,9 triliun. Sebagian besar dari jumlah kebutuhan tersebut ialah untuk pemenuhan protokol kesehatan Covid-19. Raker pekan lalu juga belum sampai pada simpulan berapa jumlah anggaran yang dapat dipenuhi oleh pemerintah pusat, berikut alat atau perangkat protokol kesehatan yang tersedia, ataupun proses pengadaannya.
Menurut rencana, raker gabungan kembali akan digelar Kamis ini untuk membicarakan hasil restrukturisasi anggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu, dan kepastian berapa anggaran yang dapat didukung oleh pemerintah pusat, dan apakah bantuan alat-alat kesehatan itu dapat diberikan oleh institusi lain, seperti Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Rapat kali ini juga akan memastikan siapa yang bertanggung jawab atas pengadaan alat-alat kesehatan itu dan cara distribusinya di lapangan.
Baca juga: Dari Sisi Anggaran, Pilkada Serentak Tidak Realistis Diselenggarakan 2020
Stimulus perekonomian
Menurut Tito, ada dampak ikutan yang sifatnya positif dari penyelenggaraan pilkada ini, yakni adanya peredaran uang di tengah masyarakat. Penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung akan turut menggerakkan ekonomi karena ada uang yang berputar dalam kegiatan itu. Hal tersebut akan membantu menggairahkan perekonomian masyarakat yang sedang kesulitan di tengah pandemi.
Penyelenggaraan pilkada secara tidak langsung akan turut menggerakkan ekonomi karena ada uang yang berputar dalam kegiatan itu. Hal tersebut akan membantu menggairahkan perekonomian masyarakat yang sedang kesulitan di tengah pandemi.
Saat ini, masih ada sisa anggaran pilkada yang belum digunakan sekitar Rp 9,2 triliun. Bila pilkada dilanjutkan, uang itu akan berputar dan terjadi peredaran uang di tengah masyarakat. Selain itu, akan ada tambahan dukungan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun daerah. Secara tidak langsung, penyelenggaraan pilkada itu akan memberikan sitimulus ekonomi bagi masyarakat.
”Ada dua keuntungan. Pertama, ada uang yang beredar di tengah-tengah perekonomian yang tidak menggembirakan. Kedua, kita gunakan uang itu untuk agenda politik yang penting sekali,” kata Tito.
Belajar dari negara lain, seperti Korea Selatan, menurut Tito, kekhawatiran pemilihan di tengah pandemi akan menurunkan partisipasi pemilih tidak sepenuhnya benar. Sebab, justru pemilihan di Korsel, April lalu, mencatatkan tingkat partisipasi tertinggi sepanjang sejarah pemilu digelar di negara tersebut. Alasannya, warga pemilih di Korsel menggunakan momen pemilihan itu untuk memilih pemimpinnya yang dinilai memiliki visi dan program yang jelas dalam menghadapi Covid-19. Isu pandemi menjadi salah satu isu kampanye yang krusial di Korsel.
Baca juga: Rumit dan Mahal, Penyelenggaraan Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19
Dorong penundaan
Dalam kesimpulan rapat, Komite I DPD tetap menolak pilkada dilakukan di tengah pandemi. Sejumlah persoalan dihadapi oleh penyelenggara ataupun masyarakat di daerah jika pilkada tetap dilakukan pada Desember 2020.
Komite I DPD tetap menolak pilkada dilakukan di tengah pandemi. Sejumlah persoalan dihadapi oleh penyelenggara ataupun masyarakat di daerah jika pilkada tetap dilakukan pada Desember 2020.
Anggota Komite 1 DPD, Fillep Wafawma dari Papua Barat, mengatakan, daerahnya tidak mungkin mengalokasikan anggaran tambahan pilkada lanjutan karena ada alokasi anggaran sampai 50 persen untuk penanganan Covid-19. ”Kalau anggaran tambahan dibebankan kepada daerah, yakni kepada APBD mereka, sudah tidak mungkin lagi,” katanya.
Badikenita Sitepu, anggota Komite I DPD dari Sumatera Utara, mengatakan, ada 22 kabupaten/kota di Sumut yang akan menyelenggarakan pilkada. Dari jumlah itu, 10 daerah di antaranya termasuk zona merah Covid-19. Dengan tahapan dimulai pada 15 Juni 2020, potensi penyebaran Covid-19 menjadi kian mengkhawatirkan karena pada tahap awal itu ada kegiatan pelantikan penyelenggara pemilu ad hoc di lapangan, verifikasi dukungan calon perseorangan, dan pemutakhiran data pemilih melalui pencocokan dan penelitian (coklit). Semua kegiatan itu berpotensi melibatkan banyak orang. Persoalan anggaran juga dihadapi KPU di daerah.
”Kalau ditarik ke APBN, mungkin akan lebih simple. Karena bagi beberapa kabupaten/kota, pembiayaan melalui APBD harus melalui pembicaraan dengan DPRD. Sementara KPU daerah sudah melakukan rasionalisasi anggaran sebesar 15-30 persen. Contohnya KPU Binjai,” katanya.
Namun, ada pula daerah zona hijau yang siap melaksanakan pilkada. Salah satunya Sulawesi Barat. Anggota DPD dari Sulbar, Almalik Papabari, mengatakan, ada empat kabupaten di Sulbar yang akan mengadakan pilkada. Keempatnya merupakan zona hijau sehingga tidak ada kendala dalam melaksanakan pilkada di tengah pandemi.
Tito mengatakan, sekalipun ada perbedaan pendapat antara Komite I DPD dan pemerintah terkait dengan pelaksanaan pilkada, pemerintah ingin mengajak DPD untuk aktif mengawasi jalannya tahapan pilkada. Tawaran Tito itu dilakukan sebagai respons atas keinginan DPD untuk juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pilkada sebab anggota DPD adalah perwakilan daerah yang mengetahui kondisi setiap daerahnya.
”Kami tawarkan dengan segala hormat komunikasi antara DPD dan Kemendagri tidak berhenti di sini. Kami hargai DPD sebagai pengawas dalam sistem pemerintahan kita. Kami tawarkan kiranya bisa kita membentuk satgas gabungan DPD dengan Kemendagri dan terus mengawal tahapan mulai dari penyiapan protokol kesehatan, anggaran, sampai jalannya tahapan,” katanya.
Wakil Ketua DPD Nono Sampono, yang juga mengikuti rapat itu, mengatakan, usulan satgas bersama itu bagus, disambut dengan baik oleh DPD. Namun, untuk tindak lanjutnya akan disampaikan oleh pimpinan DPD dalam rapat paripurna.