Sebuah buku bertajuk “Jejak Hitler di Indonesia” (Penerbit Buku Kompas) dibahas dalam sebuah timbang pandang yang digelar di Museum ARMA, Jumat (20/01). Bedah buku ini menghadirkan pembicara dr I Nyoman Sutarsa MPH dan sang penulisnya, Horst Henry Geerken (83). Agenda terselenggara berkat kerjasama Penerbit Buku Kompas dengan ARMA Museum, didukung Agung Rai dan I Gusti Agung Ngurah Harta serta Bentara Budaya Bali.
Buku setebal 402 halaman ini menuliskan sejarah hubungan antara bangsa Jerman dengan Indonesia sedini disebut Hindia Belanda hingga era perjuangan kemerdekaan. Tidak hanya mengisahkan tentang penggalan bukti fisik keberadaan pemerintahan Jerman semasa Hitler di Indonesia, buku ini juga mengungkapkan bukti-bukti betapa tokoh di lingkaran dalam Hitler begitu antusias serta punya perhatian tersendiri pada potensi Kepulauan Nusantara.
“Saat perang Dunia II, Jepang bekerjasama dengan Jerman untuk mencegah rekolonialisasi pemerintah Belanda terhadap Indonesia. Salah satu peran Jerman adalah memasok senjata dan perlengkapan untuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air),” ungkap Geerken.
Menandai timbang pandang buku tersebut, diserahkan pula secara simbolis buku “Jejak Hitler di Indonesia” kepada Horst Geerken oleh Patricius Cahanar, Manajer Eksekutif Penerbit Buku Kompas. Pada kesempatan itu, Agung Rai selaku founder Museum ARMA juga memberi sekilas pengantar dan mengapresiasi kehadiran buku yang telah diterbitkan dalam 3 bahasa ini.
Buku yang sebelumnya juga diluncurkan di Toko Buku Gramedia Level21 Mall, Denpasar dan didialogkan pula Padepokan Sandhi Murti, Denpasar ini terbit dalam bahasa Jerman (Hitlers Griff nach Asien), Inggris (Hitler’s Asian Adventure); dan Indonesia (Jejak Hitler di Indonesia). Adapun versi bahasa Indonesia merupakan rangkuman sebagian dari versi aslinya.
“Cara bertutur Geerken yang seperti menulis sebuah memoar sangat menarik. Namun buku ini tidak bisa dipenuhnya dibaca sebagai buku sejarah, sebab di dalamnya banyak mengandung interpretasi pengarangnya. Karenanya akan lebih baik jika buku ini disandingkan dengan tulisan ataupun film dengan latar belakang yang serupa,” kata Nyoman Sutarsa yang kini tengah menempuh studi Doktoral di Australia.
Lebih lanjut, Nyoman Sutarsa yang merupakan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana serta aktif sebagai pembicara di berbagai forum nasional dan internasional ini menyebut bahwa pembaca dituntut untuk lebih kritis dan jernih dalam menimbang setiap fakta dan informasi dalam buku ini.
Di sisi lain, Jean Couteau, budayawan asal Prancis yang lama mukim di Bali, turut memberikan pandangan dalam dialog tersebut. Menurutnya, peran Jerman dalam perjuangan Indonesia tidaklah sebagai negara,melainkan individu-individu yang kala itu tergerak untuk mendukung secara pribadi.
Disinggung pula tentang kemungkinan akhir hayat Hitler di Indonesia yang memerlukan kajian lebih mendalam dan fakta-fakta yang lebih teruji. Hal mana ditanggapi oleh Geerken bahwa untuk menjawab itu, penting untuk dilakukan uji DNA sebagai pembuktian kesahihan bukti sejarah terkait ada kubur Hitler di Surabaya.
“Tulisan ini bolehlah menjadi pelengkap pemahaman kita tentang sejarah Indonesia, namun bukan alternatif dalam membaca sejarah Indonesia. Geerken menyajikan banyak informasi sejarah objektif karena masih banyak bukti-bukti otentiknya yang bisa kita akses hingga kini. Tetapi di sisi lain, dalam analisisnya ia juga menghadirkan sejarah yang subjektif lewat uraian cerita dan narasinya ketika merangkai peristiwa-peristiwa sejarah secara koheren”, ujar Nyoman Sutarsa. “Sebagai karya interpretatif, pembaca juga harus menyadari bahwa buku ini tidak lepas dari sisi politis penulisnya. Maka di sinilah pembaca harus pandai dalam memilahnya,”lanjutnya.
Horst Geerken menulis buku ini melalui riset mendalam baik di Indonesia maupun di Jerman selama 40 tahun. Ia memiliki sumber daya yang sangat kaya. Maka tak heran bila i mampu melakukan pemaparan yang amat detil atas fenomena, peristiwa, tempat, termasuk siapa-siapa yang terlibat.
Di dalam buku ini terangkum fakta-fakta menarik yang belum pernah diungkap sebelumnya, seperti Kedekatan Hitler dengan Walther Hewel yang memperkenalkannya pada Indonesia; Kisah Emil Helfferich dengan perkebunannya di Jawa dan Sumatera; Pianis kesayangan Hitler yang berasal dari Indonesia; Hubungan dagang antara Nazi Jerman dengan Hindia Belanda; Sekolah Jerman di Jawa; Makam tentara Jerman di Jawa; Tokoh-tokoh Jerman yang terlibat dalam pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan, dan lain-lain.
Horst Henry Geerken lahir tahun 1933. Ia meraih gelar insinyur teknik di Jerman dan AS. Ia bekerja di perusahaan telekomunikasi Jerman yang menempatkannya di Indonesia sebagai direktur kantor perwakilannya sejak 1963 hingga 1981.
Buku pertamanya tentang pengalamannya di Indonesia bekerja di penghujung pemerintahan Soekarno, masa-masa peralihan kekuasaan ke Soeharto, dan masa-masa awal pemerintahan Orde Baru telah diterbitkan dengan judul A Magic Gecko: Kesaksian Seorang Jerman di Indonesia 1963-1981.
Ni Wayan Idayati