Sihir Senja Kala
Kerbau sungai bukan binatang bodoh, kata Ahim. Selain punya ”etika” antre yang mengagumkan, kerbau-kerbau peliharaannya juga mampu membedakan rumput dan eceng gondok. ”Dia hanya makan rumput, tidak mau eceng gondok karena beracun,” kata Ahim. Di kawasan Rawa
Daha, eceng gondok memenuhi hampir seluruh permukaan air. Tumbuhan gulma yang pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh ahli botani Jerman, Carl Friedrich Philipp von Martius, tahun 1824 di Sungai Amazon, Brasil, ini bisa berpindah-pindah secara cepat. Bahkan, bukan tidak mungkin, eceng
gondok memenuhi alur-alur sungai untuk keluar menuju Sungai Nagara. ”Kalau sudah tertutup, saya menginap,” kisah Ahim. Pada setiap kalang hadangan biasanya terdapat gubuk kecil tempat para gembala istirahat. Hal yang mustahil dalam waktu singkat bisa memindahkan berton-ton eceng gondok untuk membuka alur sungai.
Tahan sendiri
Senja itu, seorang gembala tetangga Ahim sedang sibuk menyibak kerumunan eceng gondok dari atas perahu. Tak jauh darinya, lima kerbau yang tertinggal berusaha mengejar kerbau lainnya yang sudah lebih dahulu naik ke atas kandang. Ia beberapa kali memberi isyarat agar perahu kami menuju alur lain untuk mencapai kalang hadangan milik Ahim. ”Ini tertutup ilung,” katanya. Ilung adalah bahasa lokal untuk eceng gondok.
Kelotok kami memutar arah. Tak lama tampak Ahim sedang menggiring puluhan kerbau sisa yang berenang terjauh dari kalang hadangan. Pada luasan Rawa Daha terdapat satu-dua bangunan yang tak lain adalah kalang hadangan. Pada umumnya para gembala ”meliarkan” kerbau ke pelosok-pelosok rawa untuk mencari makan sendiri. Ahim berkisah, selama 20 tahun menjadi penggembala, ia hampir-hampir tak pernah berkawan. ”Sendiri saja, ha-ha-ha…,” katanya tak kehabisan tawa. Di balik tawanya, samar-samar ada wajah penuh kegetiran menahan terpaan sepi. Di sini tak hanya jauh dari tepian, tetapi kampung terakhir di sisi Sungai Nagara berjarak lebih dari 3 kilometer. Menjelang malam hari, lampu-lampu berkerlap-kerlip seperti cahaya lilin diembus angin.
Kehidupan di atas rawa-rawa ini jauh dari geriap aliran Sungai Nagara yang senantiasa keruh. Jauh dari kakus dan rumah- rumah tua dari kayu di sepanjang aliran sungai. Bahkan, berjarak lebih dari lima jam perjalanan darat dari ibu kota Kalimantan Selatan, Banjarbaru. Belakangan memang kalang hadangan dianggap destinasi yang seksi oleh para penyuka petualangan. Namun, pasti tak banyak yang menghayati kesepian hidup orang seperti Ahim. Sehari-hari ia cuma jadi penggembala kerbau milik orang lain. ”Yang punya banyak. Saya cuma jaga saja,” katanya. Kerbau ternak di rawa-rawa, tambah Ahim, bisa seharga Rp 20 juta. Lagi-lagi kata Ahim, ”Itu juga punya orang….”
Entah kenapa langit di barat disaput gumpalan awan hitam. Pendar cahaya menerobos tepi kandang, tempat Ahim mengistirahatkan ternak peliharaannya. Tanduk-tanduk kerbau itu mencuat ke atas seperti mencucuk langit senja. Sihir apalagi yang tiba di tempat ini? Seluruh permukaan rawa menjelma lempeng tembaga berukuran raksasa yang di sana-sini penuh gumuk hitam. Sebuah keindahan yang benar-benar magis terpampang di depan mata. Dan, kami pun perlahan bergerak menjauh. Cuma suara mesin yang menderu, meninggalkan asap kelam....