Persembahan untuk Sang Guru
Menurut Yuswantoro, metode pengajaran Tino sangat menarik karena ia mengajar menggambar dengan cara yang sangat sederhana, misalnya, dengan garis lurus dan lengkung. ”Bagi orang dewasa, garis lurus dan garis lengkung itu biasa. Namun, bagi kami yang anak-anak, itu jembatan kreativitas yang luar biasa,” katanya dalam pembukaan pameran ”Tribute to Tino Sidin”, Kamis (14/12).
Bagi kebanyakan anak era 1970-1990, nama Tino Sidin mungkin akan selalu melekat dalam ingatan. Sebagai pemandu acara Gemar Menggambar yang disiarkan TVRI, Tino secara tak langsung telah menjadi guru gambar bagi banyak anak pada masa tersebut.
Tino dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, pada 25 November 1925 dan mulanya belajar melukis secara otodidak. Ia baru belajar melukis secara formal di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada 1961 atau ketika umurnya sudah 36 tahun. Di Yogyakarta, selain melukis, Tino juga menjadi guru menggambar bagi anak-anak.
Tino pertama kali mengajar anak-anak menggambar sekitar tahun 1969 di Galeri Seni Sono, Yogyakarta. Pada tahun itu pula dia diminta mengisi acara Gemar Menggambar di TVRI Yogyakarta. Sekitar 10 tahun kemudian, acara itu diambil alih TVRI pusat di Jakarta sehingga Tino kian dikenal sebagai guru menggambar bagi anak-anak. Pada 1995, Tino berpulang sehingga ia tak lagi bisa mengajar menggambar.
Namun, hingga sekarang, warisan dan semangat Tino ternyata terus dirawat melalui beragam bentuk. Salah satunya adalah pameran Tribute to Tino Sidin yang digelar di Museum Taman Tino Sidin, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 14-31 Desember 2017. ”Pameran ini merupakan bagian dari acara untuk memperingati 92 Tahun Pak Tino Sidin,” kata Panca Takariyati Sidin, anak kelima Tino Sidin, yang akrab dipanggil Titik.
Ada 17 partisipan yang ikut serta menampilkan karya dalam pameran seni rupa tersebut. Dalam daftar nama partisipan, ada sejumlah perupa yang sudah dikenal luas, misalnya, Heri Dono, Nasirun, Putu Sutawijaya, Jumaldi Alfi, dan Yuswantoro. Namun, yang menarik, beberapa tokoh yang bukan perupa ternyata juga turut menjadi partisipan, antara lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada, Laretna T Adhisakti.
Ditanya ihwal keikutsertaan Sri Mulyani, Titik menuturkan, panitia memang sengaja mengundang sang menteri untuk ikut memamerkan lukisannya. ”Terus terang, saya sebenarnya tidak kenal secara pribadi dengan beliau, tetapi saya mengagumi beliau. Selain itu, saya pernah membaca berita bahwa beliau pernah ikut pameran di Semarang. Karena itu, saya berusaha kontak beliau agar bersedia ikut pameran,” tuturnya.
Karya
Sejumlah karya dalam pameran Tribute to Tino Sidin secara jelas menggambarkan relasi langsung dengan Tino. Karya Yuswantoro, misalnya, menggambarkan potret diri Tino yang memakai kaus kuning dan topi pet warna hitam. Dalam lukisan berjudul ”Garis Lurus-Garis Lengkung” itu, Yuswantoro begitu piawai menggambarkan karakter Tino, lengkap dengan kacamata dan rambut ikal yang sedikit gondrong. Yang menarik, Yuswantoro memakai teknik ”lelehan cat” sehingga potret diri Tino dalam lukisan tersebut tampil dengan karakter yang unik.
Adapun perupa Edo Pop menggambarkan wajah Tino dengan latar belakang tulisan ”Baguuusss” dan seekor gajah. Dalam lukisan itu, Tino juga digambarkan tengah tersenyum. Menyimak lukisan ini, kita seolah-olah tengah melihat Tino yang sedang memeriksa gambar gajah buatan seorang anak, lalu tanpa ragu-ragu berkomentar, ”Baguuusss.”
Namun, banyak pula perupa yang menghadirkan karya yang tidak langsung berkait dengan sang guru gambar. Heri Dono, contohnya, menghadirkan lukisan ”Superhero di Dalam Toples” buatan tahun 2011. Lukisan tersebut menggambarkan dua figur dengan kostum atau penampilan ala superhero, tetapi salah satu sosok itu ternyata terkurung dalam stoples kaca.
Perupa Ugo Untoro juga menampilkan karya yang barangkali tak ada sangkut-pautnya dengan Tino. Menggunakan papan karambol sebagai medium untuk menggambar, karya Ugo dalam pameran tersebut melukiskan seorang pendekar yang tengah berhadapan dengan musuh-musuhnya. Memakai topi lebar, sang pendekar berdiri tegap sambil menatap barisan musuh yang berjajar di depannya.
Sementara itu, Sri Mulyani menampilkan dua buah lukisan. Satu lukisan menggambarkan rangkaian bunga-bunga segar, sementara satu lukisan lainnya menggambarkan figur seorang penari. Laretna T Adhisakti menampilkan lukisan berjudul ”Pusaka Alam di Mustokoweni” yang menyajikan pemandangan sebuah teras bangunan megah yang dinaungi pepohonan rindang nan menghijau.
Meski menampilkan karya dengan tema dan teknik yang berbeda-beda, para partisipan agaknya disatukan oleh satu hal yang sama, yakni kekaguman pada Tino. Dalam testimoni di katalog pameran, Heri Dono mengaku kerap menonton acara Gemar Menggambar pada dekade 1980-an. ”Acara menggambar bersama Pak Tino Sidin di TVRI sangat membekas bagi generasi seniman atau mahasiswa-mahasiswa seni pada masa tersebut,” katanya. (Haris Firdaus)