Gorontalo
Bagi yang belum pernah berkunjung atau mengenal Gorontalo, daerah ini barangkali hanya bermakna deretan huruf g, o, r, o, n, t, a, l, dan o. Namun, sekali mengunjunginya, Anda mungkin akan terkejut menjumpai lapis-lapis pesona di dalamnya, mulai dari wisata, budaya, hingga kuliner.
Gorontalo yang terletak di sebelah barat Provinsi Sulawesi Utara ini menjadi provinsi mandiri setelah proses pemekaran tahun 2000. Wilayah ini sejak ratusan tahun lalu masuk dalam jalur perdagangan internasional di Nusantara. Bagian selatan Gorontalo menghadap Teluk Tomini, sedangkan wilayah utaranya menghadap Laut Sulawesi yang menghubungkan langsung dengan negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Tidak heran, meski dulu tidak dikenal sebagai daerah utama penghasil rempah, Gorontalo tetap penting karena menjadi salah satu titik persinggahan dalam jalur perdagangan rempah.
Itu sebabnya, Jaringan Masyarakat Negeri Rempah bersama Omar Niode Foundation memasukkan Gorontalo sebagai daerah yang harus dikunjungi dalam program Jelajah Negeri Rempah. Sebagai pelabuhan penting dalam jalur rempah, Gorontalo mewarisi jejak kejayaan rempah melalui warisan kulinernya. Ada banyak menu masakan yang menggunakan aneka rempah, dari ringan hingga berat. Salah satu contoh, menu tabu moitomo atau kua bugis yang menggunakan 33 macam rempah. Sebelum mencicipi kuliner Gorontalo, mari susuri dulu dari mana segala kelezatan itu berasal.
Pukul 07.00
Lupakan menu sarapan di hotel. Waktunya mencicipi kuliner lokal. Nasi kuning kerap disantap orang Gorontalo untuk sarapan. Ada banyak penjual nasi kuning terkenal di sana. Salah satunya nasi kuning RM Sabar Menanti yang sering disebut nasi kuning hola di Jalan Sutoyo. Sambil menyantap nasi kuning yang harum dan lezat, kita bisa menikmati arsitektur rumah tua berusia 126 tahun yang menjadi lokasi rumah makan ini. Rumah makannya sendiri sudah dirintis sejak 60 tahun lalu.
Pukul 08.00-14.00
Dulamayo
Tujuan berikutnya adalah Dulamayo Selatan, desa di Kecamatan Telaga Puncak, Kabupaten Gorontalo. Desa ini menjadi contoh perkebunan rakyat untuk berbagai komoditas rempah, seperti cengkeh, vanili, pala, kemiri, lada, dan adas. Di Dulamayo Selatan juga banyak ditemukan pohon aren dan pohon pisang. Gula merah, pisang, dan jantung pisang banyak digunakan untuk bahan makanan lokal.
Dari Kota Gorontalo menuju Desa Dulamayo Selatan dibutuhkan waktu satu jam dengan kendaraan roda empat melewati jalan yang mulus hingga berbatu-batu. Rutenya berliku mengikuti lekuk pegunungan menuju daerah di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut. Oleh karena perkebunan rakyat, keberadaan pohon-pohon rempah tersebar di lahan-lahan kebun saling bercampur dengan pepohonan lain. Di salah satu titik tertinggi di desa ini terdapat menara yang bisa dimanfaatkan untuk melihat pemandangan Kota Gorontalo dari jauh. Punggung-punggung pegunungan di kejauhan tampak membentuk siluet bak lukisan.
Kemiri menjadi andalan utama warga untuk cepat mendapatkan uang karena berbuah sepanjang tahun. Sementara komoditas lain panen setiap enam bulan, setahun, bahkan dua tahun sekali tergantung dari keberpihakan cuaca. Sayangnya, harga kemiri sangat rendah. Satu kilogram kemiri yang telah dijemur, tetapi belum pecah kulit, di tingkat petani hanya dihargai Rp 5.000. Di pasar tradisional, harga kemiri mencapai Rp 28.000 per kilogram.
Biji-biji kemiri yang telah kering lantas dipecahkan dengan cara manual atau dengan mesin. Upah pecah kemiri secara manual yang biasanya dikerjakan oleh ibu-ibu rumah tangga Rp 2.000 per kilogram. Pemandangan para ibu sedang memecah biji kemiri di depan rumah bisa dijumpai di sudut-sudut desa. ”Harga mesin pecah kemiri sangat mahal, Rp 36 juta per unit. Tidak terjangkau oleh petani,” kata Kepala Desa Dulamayo Selatan Helmin Bilondatu.
Di desa ini juga bisa dijumpai proses pembuatan gula merah dan gula semut dari nira. Seorang petani yang ditemui tampak tengah memasak air nira atau aren untuk dijadikan gula merah. Lama memasak delapan jam sebelum mengental. Setelah itu cairan air nira masak dituang ke dalam cetakan berbentuk mangkuk dari batok kelapa. Orang setempat menyebut gula ini pahangga. Rasanya manis dan legit. Di pasar, pahangga dijual dengan cara ditangkupkan dan dibungkus daun woka atau daun nira muda, lalu digantung. Setelah melihat-lihat kondisi pohon rempah dan para petani yang menghidupinya, rombongan pun pulang membawa buah tangan produk setempat berupa kemiri, gula aren, dan gula semut, serta kue bagea dan kopi pinugo, kopi robusta kebanggaan Gorontalo.
Pukul 15.00Benteng
Otanaha
Dari Dulamayo, tujuan diarahkan kembali ke kota untuk mengunjungi kompleks Benteng Otanaha yang dibangun tahun 1522. Perjalanan dari pusat Kota Gorontalo lebih kurang 20 menit. Saat matahari terbit atau terbenam menjadi waktu paling pas untuk mengunjungi benteng ini. Lokasi benteng berada di puncak bukit Dembe I yang menawarkan pemandangan Danau Limboto yang permukaannya sebagian besar ditutupi eceng gondok. Danau Limboto pernah didarati Presiden Soekarno dengan pesawat amfibi saat kunjungannya ke Gorontalo tahun 1950 dan 1956. Untuk mengenangnya, dibangun Museum Pendaratan Pesawat Amfibi Soekarno.
Untuk menuju benteng, pengunjung harus menaiki 348 anak tangga dengan empat persinggahan selama perjalanan atau langsung menuju puncak melalui jalan beraspal yang bisa dilintasi motor atau mobil. Kompleks ini terdiri dari tiga bangunan berbentuk lingkaran yang terbuat dari susunan batu. Orang setempat memercayai batu-batu di benteng ini disusun dengan perekat putih telur burung maleo, jenis burung endemik di Sulawesi. Ada berbagai versi tentang asal-usul benteng. Salah satunya menyebutkan, benteng dibangun oleh Raja Iluta saat kedatangan Portugis yang meminta perlindungan karena kejaran bajak laut dan cuaca buruk. Namun, di tengah jalan, pihak kerajaan menyadari telah diperalat dan akhirnya mengusir Portugis. Puluhan tahun kemudian, benteng ditemukan oleh Naha, salah satu putra raja yang sejak remaja merantau. Itu sebabnya, benteng disebut Otanaha yang artinya benteng (ota) yang ditemukan Naha.
Pukul 20.00
Kompleks Murni
Mengunjungi suatu daerah tidak lengkap tanpa menyelami gaya hidup orang setempat. Mari cicipi nongkrong-nongkrong ala orang Gorontalo sambil menyeruput sarabba, minuman dari rebusan jahe merah yang diberi gula aren. Jika mau, bisa menambahnya dengan susu atau telur. Sebagai teman adalah stik pisang goroho yang rasanya mirip kentang karena kandungan gulanya yang rendah. Bisa disantap dengan paduan sambal terasi atau kecap. Ada pula kacang baminyak, yakni kacang tanah yang disangrai dengan pasir. Jika sebelumnya kacang dijemur sebelum disangrai, disebut kacang tore. Kompleks Murni menjadi tujuan kaum muda dan keluarga untuk duduk-duduk santai menikmati udara dan suasana malam Gorontalo. Ada banyak warung kopi di sini dengan lokasi tempat duduk di tepi jalan atau di dalam gang.
Pukul 08.00
Pasar Sentral
Pasar adalah tempat untuk mengintip kekayaan hasil bumi dan keragaman kuliner suatu daerah. Di Pasar Sentral Gorontalo tentu saja ditemui aneka rempah yang banyak digunakan dalam khazanah makanan setempat. Kopi pinugo dengan berbagai variannya juga terdapat di sana, seperti kopi murni, kopi rempah, dan kopi kedelai.
Sayuran khas yang kerap disantap, seperti jantung pisang, daun pakis, bunga pepaya, dan jagung, ditemukan berlimpah. Aneka kudapan atau makanan ringan juga ditemukan, seperti cucur dan sukun bersalut gula merah.
Pukul 09.00
Keliling Kota
Tidak lengkap berkunjung tanpa membawa oleh-oleh khas setempat. Pia dan kue karawo adalah oleh-oleh andalan Gorontalo. Ada bermacam-macam toko pia, yang terkenal di antaranya Pia Saronde dan Pia Olivia. Bentuk, tekstur, dan rasanya mirip pia terkenal di Pulau Dewata.
Kue karawo atau kue kerawang terinspirasi dari kain kerawang, kain khas Gorontalo dengan sulaman tangannya yang indah. Kue karawo adalah kue kering yang dihias motif bunga warna-warni dengan gula icing. Proses menghias kue karawo butuh ketelatenan dan jiwa seni, seperti melukis. Melihatnya menjadi wisata tersendiri.
Kebersamaan di Gorontalo harus diakhiri dengan tur keliling kota di atas kendaraan dengan melihat gedung-gedung, rumah dan kampung-kampung tua, seperti Kampung China, Kampung Arab, dan Kampung Jawa.