"Dapatkan tiket ke Tokyo mulai dari Rp 5,3 juta, ke Osaka Rp 5,5 juta, ke Sapporo Kyoto Rp 5,7 juta. Pengembalian tunai hingga Rp 1,5 juta. Dapatkan koper gratis". Rasanya semakin sering kita mendapatkan pesan singkat mengenai tiket-tiket promosi ke Jepang. Memang dalam beberapa tahun terakhir ini Jepang gencar mempromosikan pariwisatanya.
Sepanjang tahun 2017, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Jepang naik 19,3 persen dan mencapai rekor 28,69 juta orang. Pertumbuhan industri pariwisata bisa dibilang merupakan salah satu pencapaian dari Perdana Menteri Shinzo Abe yang dikenal dengan Abenomic-nya. Pemerintah menargetkan dapat menggaet 40 juta wisatawan ketika diselenggarakan Olimpiade 2020 mendatang dan target ambisius sebanyak 60 juta orang pada tahun 2030.
Sejak tahun 2012, Jepang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung industri pariwisawa seperti memberlakukan bebas visa untuk warganegara China dan beberapa negara ASEAN. Untuk warga Indonesia, jika memiliki paspor elektronik, proses melapor untuk pergi ke Jepang selesai dalam waktu 5 menit, tidak perlu membayar biaya visa yang sekitar Rp 500.000 per orang.
Pemerintah juga membuka lebih banyak penerbangan. Implementasi open sky yang meningkatkan penerbangan di Bandara Haneda dan Narita Tokyo naik dari 500.000 menjadi 700.000 penerbangan pada tahun 2013. Perizinan untuk membangun hotel juga dijadikan lebih mudah. Pendukung lain adalah depreasi yen terhadap dollar AS sebesar 30 persen antara tahun 2012 dan 2015.
Menurut data dari Organisasi Wisata Nasional Jepang (JNTO) ada 6,3 juta wisatawan mancanegara ke Jepang pada tahun 2011 dan melonjak 449 persen menjadi 28,69 juta pada tahun 2017. Wisatawan asing yang paling banyak berkunjung adalah warga Korea Selatan. Sejak 2011 hingga 2017, ada kenaikan kunjungan wisatawan Korea Selatan sebanyak 431 persen menjadi 7,14 juta. Urutan kedua adalah wisatawan dari China. Dari hanya 1,04 juta pengunjung pada 2011, naik 705 persen menjadi 7,35 juta pada 2017. Wisatawan dari kawasan Asia Timur ini porsinya sekitar 80 persen dari jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Jepang.
Belanja
Hasil lainnya, membuat perekonomian pun menjadi lebih positif. Belanja wisatawan di Jepang semakin meningkat. Sejak 2012, uang yang dibelanjakan para turis itu hampir setara dengan 20 persen pertumbuhan belanja kosumen di Jepang, tanpa menghitung jumlah yang dibelanjakan untuk membayar penginapan. Walaupun jumlah absolutnya baru sekitar 2 persen dari seluruh konsumsi.
Uang yang dibelanjakan para turis itu hampir setara dengan 20 persen pertumbuhan belanja kosumen di Jepang.
Industri pariwisata juga terbukti mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Jepang.
Menurut data dari Dewan Perjalanan dan Wisata Dunia, sumbangan industri pariwisata terhadap produk domestik bruto Jepang pada tahun 2016 sebesar 7,4 persen dan akan terus bertambah menjadi 8,2 persen pada 2027. Rata-rata sumbangan industri itu pada PDB secara global sebesar 10 persen.
Kajian dari McKinsey tentang pariwisata Jepang menemukan, arus wisatawan ini paling banyak dinikmati oleh tiga prefektur yaitu Tokyo, Osaka dan Kyoto. Ketiga prefektur itu mendominasi 28 persen PDB Jepang. Sebanyak 48 persen wisatawan berkunjung dan tinggal di ketiga kawasan itu.
Wisatawan Indonesia
Data lain yang menarik, jumlah wisatawan dari Indonesia dan Rusia juga meningkat. Pada tahun 2015, wisatawan dari Indonesia berjumlah 205.083, menjadi 271.014 (2016) dan meningkat lagi menjadi 352.300 (2017).
Kelas menengah yang terus bertambah dan angkatan kerja yang mendominasi struktur penduduk Indonesia menjadikan Indonesia pasar yang menarik. Tidak hanya JNTO yang rajin menggelar travel fair, tetapi inisiatif juga datang dari pemerintah kota yang belum terlalu dikenal oleh wisatawan asing di luar dari ketiga prefektur tujuan utama wisatawan yaitu Tokyo, Osaka dan Kyoto.
Pemkot Himeji dan kawasan Harima misalnya, sangat berusaha untuk mengembangkan wisata halal. Kuliner Jepang memang menggiurkan, sayangnya ada kendala bagi wistawan Muslim karena panganan yang disajikan belum tentu diolah secara halal.
Ketika mengundang beberapa wartawan Indonesia ke Himeji, para pegawai pemkot Himeji banyak sekali mengajak diskusi tentang makanan halal. Di seantero Jepang baru ada tiga tempat yang mengantungi sertifikasi daging sapi halal. Tetapi hal itu tidak menyurutkan upaya mereka untuk menyediakan makanan halal bagi para wisatawan.
Selain menyiapkan menu halal, beberapa tempat publik seperti rumah makan juga sudah mempersiapkan tempat untuk shalat. Mereka mendekati pasar Indonesia karena menganggap Muslim Indonesia memiliki toleransi tinggi dan berpotensi besar.
Beberapa tempat publik seperti rumah makan juga sudah mempersiapkan tempat untuk shalat.
Mereka ingin sekali belajar bagaimana caranya menjamu wisatawan Muslim dengan baik dan benar. Pemkot berharap dengan berbagai informasi dan kerja sama dengan usahawan setempat, semakin banyak restoran di Himeji yang dapat menyediakan makanan halal sehingga siap menerima wisatawan dari Indonesia yang memerlukan makanan halal.
Dalam menjangkau wisatawan muda Indonesia yang sangat melek digital, pemkot Himeji tampaknya belum mengoptimalkan penggunaan media sosial. Padahal, tidak sedikit wisatawan Indonesia yang pergi ke suatu tempat karena melihat unggahan gambar atau cerita di sosial media.
Pemkot juga mulai mendorong agar menu dan petunjuk tentang pariwisata ditampilkan dalam bahasa Inggris, selain Bahasa Jepang. Bahkan ada beberapa brosur wisata yang disajikan dalam Bahasa Indonesia. Apakah upaya pemkot Himeji itu cukup menarik wisatawan untuk datang ke kotanya, akan terlihat pada data-data statistik pada tahun berikutnya.