Kisah Para Gajah
Way Kambas bukan sekadar sekolah sepak bola gajah. Di area yang masuk kawasan taman nasional itu, gajah dan manusia saling belajar untuk hidup bersama. Kisah suka duka pun mengalir sepanjang persahabatan keduanya.
Yeti (5) membelitkan belalainya dengan manja kepada Hendri Saputra yang duduk lesehan di depannya. Hendri membalasnya dengan mengelus si hidung panjang. Siang yang panas pun seketika terasa adem demi melihat cinta kasih di antara keduanya. Yeti bagaikan anak-anak yang ingin bermanja-manja dengan orangtuanya. Barangkali karena saat itu dia sedang sakit sehingga membuatnya ingin semakin dimanja.
Yeti baru saja selesai diinfus dengan cairan NaCl dan ringer laktat karena badannya lemas. Dalam waktu dua jam saja, dua kantong infus berisi masing-masing 500 cc cairan telah habis diisap tubuhnya. Maklum, Yeti bukan sembarang anak-anak, ia anak gajah yang berat tubuhnya bisa mencapai ratusan kilogram. Lemas karena kecapekan, diare, dan cacingan adalah penyakit yang kerap menghampiri gajah.
Yeti ditemukan beberapa tahun lalu dalam kondisi sendirian dan hampir mati di kanal di tepi hutan. Usianya saat itu diperkirakan 22 bulan. Ia ditinggalkan ibu dan kelompoknya karena sakit. Seekor gajah yang sakit atau luka dan dianggap tidak mungkin melanjutkan perjalanan biasanya akan ditinggalkan kelompoknya. Jika dirasa masih bisa sembuh, rombongannya akan menunggu.
Begitulah asal mula Yeti kehilangan induknya. Ia kemudian dirawat pawang atau mahout. Tidak heran jika kemudian Yeti terlihat begitu manja dengan sang pawang yang sudah mendampinginya bertahun-tahun. Setelah tubuhnya mulai kuat, ditemani Hendri, Yeti meninggalkan Rumah Sakit Gajah Rubini Atmawidjaya di kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung, dan kembali mencari makan.
Kartini
Yeti pernah diikutkan ke seekor induk gajah, Kartijah (30), gajah pertama yang ditangkap dan dijinakkan di Way Kambas. Kartijah dianggap maskot Way Kambas. Waktu penangkapannya yang bertepatan dengan Hari Kartini membuatnya dinamai Kartininya Gajah, disingkat Kartijah.
”Kartijah ini keibuan. Yeti dan beberapa anak gajah lain yang kehilangan induk pernah diikutkan ke Kartijah. Ia membolehkan mereka ngempeng, menyusu, tetapi aslinya tidak keluar air susu karena Kartijah tidak sedang masa menyusui,” ungkap Suharno (45), pawang Kartijah.
Suharno sudah 12 tahun menjadi mahout Kartijah. Gajah yang diperkirakan sedang hamil 8 bulan ini laksana sahabat bagi Suharno. Bahkan, sambil berkelakar, menurut Suharno, Kartijah bagaikan istri pertamanya.
Betapa tidak, setiap hari ia memandikan Kartijah pagi dan sore. Tugas ini dikerjakan setiap hari dengan sesekali libur yang waktunya diatur bergiliran dengan pawang lain. ”Untung istri enggak pernah cemburu,” ujarnya sambil tertawa.
Setelah mandi pagi, Kartijah akan pergi mencari makan di sekitar TNWK. Menjelang sore, Suharno akan berjalan kaki mencari jejak Kartijah. Jangkauan gajah saat mencari makan bisa mencapai 2-3 kilometer.
Dua jam kemudian, biasanya gajah sudah bisa dihalau kembali ke kandang yang berupa area luas dengan bak air minum dan tiang untuk menambatkan
rantai kaki gajah. Gajah di sini termasuk subspesies Elephas maximus sumatranus atau gajah sumatera.
Kampanye
Kami berada di Way Kambas bersama rombongan WWF Indonesia yang meresmikan bantuan 16 bak air minum bagi anak gajah. Bak ini berukuran 3 meter x 1 meter sehingga nyaman digunakan anak gajah. Selama ini belum ada bak air minum khusus anak gajah.
Termasuk dalam rombongan WWF ini adalah aktor Chicco Jerikho yang bermain-main dengan gajah Erin dan gajah Sugeng. Erin membesut perhatian karena belalainya putus terkena jerat pemburu. Chicco saat itu sedang berkampanye konservasi gajah. Ia mengikuti London Marathon demi menggalang dana untuk pembelian pakan tambahan bagi gajah dan tanaman pagar habitat gajah di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.
Pusat Latihan Gajah (PLG) seluas 2.000 hektar yang masuk kawasan TNWK berdiri pada 1985 sebagai ”jalan tengah” penanganan konflik antara gajah dan manusia. Saat itu banyak kasus gajah masuk lahan masyarakat. Karena gesekan ini, tidak jarang gajah menjadi korban kemarahan masyarakat sehingga mengancam jumlahnya yang secara alamiah juga terus menyusut.
”Gajah-gajah ini kemudian dilatih, di antaranya bermain sepak bola dan atraksi tunggang agar tidak kembali ke lahan masyarakat,” kata Koordinator PLG Elisabeth Devi.
Saat ini, diperkirakan terdapat 247 gajah liar di kawasan TNWK dengan 66 gajah di antaranya berada di PLG. TNWK yang mencakup wilayah lebih dari 125.000 hektar ini juga menyimpan kekayaan satwa langka lainnya, seperti badak, tapir, harimau, dan beruang madu.
Gajah-gajah di sini juga dilatih untuk menghalau gajah liar yang hendak masuk ke lahan masyarakat. Mereka ditempatkan di perbatasan lahan. Hartato dari pengolahan data TNWK mengungkapkan, ada 37 desa yang berbatasan langsung dengan TNWK karena tidak adanya zona penyangga.
Sebanyak 22 desa di antaranya rawan konflik karena berpotensi didatangi gajah. Apalagi, masyarakat lebih suka menanam palawija yang lebih cepat mendatangkan uang ketimbang tanaman keras. Pada musim panen, masyarakat dibiasakan ronda untuk mengantisipasi kedatangan gajah. Mereka kemudian diminta melapor jika melihat gajah liar yang akan keluar dari kawasan TNWK.
Konflik dengan masyarakat, perburuan gading, kondisi alam, dan penyakit adalah ancaman untuk gajah yang jumlahnya terus menyusut. Project Leader WWF Sumatera Selatan Job Charles mengatakan, jika tahun 2007 diperkirakan masih terdapat 2.400-2.700 gajah di Sumatera, kini jumlahnya diperkirakan menurun hingga 80 persen. ”Gajah butuh pergerakan 20 kilometer persegi untuk cari makan. Idealnya 600 hektar selama hidupnya,” kata Job.
Regenerasi alam
Konservasi hutan menjadi perkebunan seperti sawit membuat ruang gerak gajah untuk mencari makan semakin sempit. Tidak heran jika gajah suatu saat mencapai lahan masyarakat. Gajah berperan dalam regenerasi alam. Sambil bergerak makan, ia menyebar biji-bijian.
Hewan yang bisa hidup hingga usia 40-an tahun ini sebenarnya nokturnal yang baru aktif di atas pukul 17.00. Hanya di PLG saja hidupnya menyesuaikan dengan ritme pawangnya. Gajah yang senang berkelompok ini sebagian besar waktunya dihabiskan untuk makan dan minum.
Way Kambas adalah tempat yang pas untuk mempelajari hewan besar nan lucu ini di habitat aslinya. Namun, pengunjung harus rajin-rajin bertanya kepada sang pawang untuk menggali kehidupan gajah karena informasi tertulis tidak ditemukan. Sayangnya lagi, fasilitas bagi pengunjung masih di bawah standar, seperti toilet dan tempat makan.
Tak terasa senja mulai turun. Langit jingga yang berubah ungu mengiringi aktivitas gajah yang masih saja makan. Kali ini di kandang. Kerlip lampu truk-truk yang mengantar pakan tambahan mulai tak tampak, meninggalkan gajah-gajah yang kini sepenuhnya diselimuti kegelapan.