Meski hanya perjalanan berwisata menggunakan sepeda, tetapi informasi soal rencana peserta Jelajah Lima Danau menyinggahi Muara Labuh, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, terdengar juga oleh masyarakat di kawasan Seribu Rumah Gadang, Jorong Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu. Mereka meminta pesepeda istirahat sejenak di kawasan itu sekaligus makan bersama dalam rumah gadang.
Tawaran itu dianggap menarik. Selain bisa menjadi salah satu daya tarik bagi peserta Jelajah Lima Danau (J5D). Makan bersama itu menunjukkan keterbukaan sikap masyarakat Minangkabau terhadap pendatang atau tamu. Lebih dari itu sebagai bukti adanya pertalian yang kuat antarsesama umat manusia. Panitia pun tidak berpikir lebih lama dan langsung mengamini permintaan warga kawasan Seribu Rumah Gadang.
Maka, Jumat (13/4/2018) sekitar pukul 11.00, satu demi satu pesepeda Jelajah Lima Danau pun tiba setelah bersepeda sejauh 63 kilometer sejak pukul 08.00 dari tepi Danau Diatas di Alahan Panjang. Kedatangan kami langsung disambut para pemuda setempat. Mereka mengarahkan kami ke sebuah tempat kosong untuk memarkirkan sepeda. Sejumlah anak muda ditugaskan untuk menjaga sekitar 55 sepeda tersebut.
Setelah itu, beberapa pemuda mengajak kami menuju ke sebuah rumah gadang yang telah berusia tua yang berada dalam kawasan Seribu Rumah Gadang. Lokasi itu adalah rumah gadang Davitri Dt Bando Sati (Chaniago). Rumah yang ditempati sembilan generasi itu hanya berjarak 50 meter dari tempat parkir sepeda.
”Rumah-rumah dalam kawasan seribu rumah gadang ini umumnya sudah berusia tua, tetapi masih terpelihara dengan baik oleh para ahli waris. Itu sebabnya, beberapa tahun terakhir dijadikan daerah tujuan wisata. Wisatawan bisa menginap dalam rumah gadang dalam kawasan ini,” kata Hengki, pemuda setempat.
Duduk bersila
Setelah tiba di rumah gadang itu, kami dipersilakan masuk dengan menaiki tangga-tangga yang terpasang di depan rumah pada rumah panggung itu, lalu menuju ke ruang depan yang luas. Di sana sudah dibentangkan tikar-tikar yang dianyam dari daun pandan hutan.
Mengingat jumlah kami cukup banyak, tuan rumah membagi duduk dalam empat kelompok besar dan kecil. Kami duduk bersila di atas tikar anyaman ibu-ibu setempat yang dibentangkan memanjang di dalam rumah panggung itu.
Tak lama kemudian, sejumlah perempuan pun menyajikan makanan khas Minangkabau. Ada rendang, balado telur, ayam pop, cabeh hijau dengan nasi putih asli Solok. Makanan pada siang itu sungguh lezat. Hampir semua kami menambah porsi makan. ”Makanannya enak banget. Rasanya beda dengan yang biasa kita makan pada rumah makan padang di Jakarta. Saya nambah lho,” tutur Eric Sugiarto asal Bandung, Jawa Barat.
Rumah gadang di kawasan Seribu Rumah Gadang ini disebut-sebut termasuk salah satu yang tertua di Sumatera Barat. Ada yang dibangun pada tahun 1700-an dan selama ini beberapa kali dilakukan pemugaran, tetapi tidak mengubah bentuk aslinya. Mengingat begitu tuanya bangunan itu, maka kawasan ini pun telah dijadikan sebagai cagar budaya.
Sebetulnya di kawasan tersebut hanya ada 136 rumah gadang. Namun, kalau ditambah dengan di kawasan lain dalam wilayah Jorong Koto Baru, totalnya bisa mencapai 1.000 unit. Rumah gadang di Muara Labuh umumnya memiliki empat hingga enam gonjong, yakni bentuk runcing yang menghiasi atap rumah gadang.
”Kami merasa terhormat dan bangga sekali bisa makan bersama di dalam rumah gadang. Ini di luar ekspektasi kami saat merencanakan perjalanan bersepeda di Bukit Barisan ini. Sungguh suatu pengalaman yang menyenangkan,” ujar Janto Alwi, pesepeda asal Kelapa Gading, Jakarta.
Suasana seperti ini yang paling disukai saat berjelajah sepeda. Selama perjalanan, pesepeda bisa melihat lebih dekat kondisi sosial budaya, tradisi, dan kehidupan masyarakat. Meski harus tiba di finis sesuai jadwal yang direncanakan, mereka tidak dibatasi waktu tempuh.
”Kalau menggunakan mobil atau sepeda motor, kita hanya fokus pada tempat tujuan. Apa yang ada di kiri dan kanan jalan nyaris tidak serius diperhatikan. Namun, kalau bersepeda, semuanya bisa dilihat dari dekat. Itu sebabnya, saya lebih menyukai touring sepeda seperti ini,” kata Erwin Soepai, pesepeda asal Surabaya yang juga pilot Sriwijaya Air.
Tantangan terberat yang dihadapi pengelola wisata Seribu Rumah Gadang adalah posisi lokasi yang persis di tepi jalan raya utama lintas Sumatera. Akses jalan yang beraspal mulus ini di satu sisi memudahkan wisatawan untuk mengunjungi lokasi. Namun, di sisi lain, kawasan itu hanya jadi tempat persinggahan sehingga waktu kunjungan pun lebih pendek. Peluang wisatawan untuk inap pun sangat kecil.
Setelah wisatawan mengunjungi rumah-rumah yang ada, mereka beristirahat sejenak lalu melanjutkan perjalanan ke lokasi lain, seperti di Kayu Aro atau Alahan Panjang. Itu sebabnya, warga dan pemerintah setempat perlu berinovasi dengan obyek wisata yang lain atau aktivitas lain yang bisa menahan wisatawan berada lebih lama di kawasan wisata ini.
Misalnya, dibangun arena untuk membuat songket atau menganyam tikar atau membuat kue khas Minangkabau. Setiap wisatawan yang datang diajak untuk belajar membuat songket atau mengayam tikar atau barang lainnya.
”Tanpa ada aktivitas lain selain mengunjungi rumah gadang dan berswafoto, maka waktu kunjungan wisatawan di kawasan Seribu Rumah Gadang ini bakal singkat. Kalau waktu kunjungan pendek, uang yang masuk bagi warga sedikit. Kita berharap warga dan pemerintah daerah harus segera menemukan cara baru untuk menahan wisatawan berada lebih lama,” ujar Zamzam, pelaku usaha dan pesepeda asal Jakarta. (Bersambung)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.