Drama ”Batavia” di Abrolhos
Gradasi warna laut yang mengelilingi Kepulauan Houtman Abrolhos di Australia Barat tampak begitu indah dari ketinggian. Di balik keindahan gugusan pulau itu tersimpan jejak tragedi kapal Batavia yang sedianya berlabuh di kota Batavia—kini menjadi Jakarta—tetapi karam saat menghantam karang pada awal abad ke-17.
Sam, pilot pesawat Geraldton Air Charter, mengingatkan penumpang untuk duduk di deretan bangku sisi kanan pesawat jika ingin melihat lokasi tenggelamnya kapal Batavia sebelum lepas landas dari Pulau East Wallabi untuk kembali ke kota Geraldton di Australia Barat. Pertengahan April lalu, cuaca cerah di atas gugusan Pulau Abrolhos membuat pesawat sewaan berkapasitas delapan penumpang itu tak terlalu berguncang.
”Nanti saya kasih tahu kalau kita sudah terbang di atas lokasi Batavia. Lihat saja ke arah sayap pesawat,” kata Sam.
Kapal Batavia milik Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) bertolak dari Amsterdam akhir tahun 1628 menuju Batavia via belahan bumi bagian selatan, mengitari Benua Afrika, lalu ke sisi selatan Pulau Jawa. Dalam pelayaran perdana sekaligus terakhirnya itu, Batavia mengangkut 137 batu susun seberat 37 ton yang dirancang sebagai pintu gerbang Benteng Batavia serta 250.000 koin perak yang saat ini setara dengan 19 juta dollar AS atau sekitar Rp 200 miliar (Mike Dash, Batavia’s Graveyard, 2001).
Selepas tengah malam, 4 Juni 1629, Batavia yang mengangkut 340 prajurit VOC, perwira VOC, keluarganya, serta awak kapal itu menabrak karang di Abrolhos, menyebabkan kapal tak pernah mencapai kota Batavia. Misteri dan tragedi terjadi setelah para penyintas mendarat di pulau-pulau kecil tak jauh dari lokasi karamnya Batavia. Pulau itu jadi saksi bisu plot pengkhianatan dan pembantaian.
Sebelum Sam menunjukkan lokasi tenggelamnya Batavia, pesawat melintas di atas Beacon Island serta Long Island yang juga ada andil dalam tragedi kapal Batavia. Melalui peranti headset pesawat, Sam mengarahkan penumpang untuk melihat Beacon Island, terutama ke arah benda hitam berbentuk persegi panjang di pulau itu. Di sanalah lokasi ekskavasi tulang penyintas karamnya kapal Batavia yang jadi korban pembantaian ”pemberontak”.
Pulau East Wallabi
Penerbangan saat itu merupakan bagian dari tur setengah hari Geraldton Air Charter di Kepulauan Houtman Abrolhos. Saya beserta sejumlah influencer media sosial diundang Tourism Western Australia, 10-17 April, untuk menyambangi lokasi wisata di Australia Barat, seperti Perth, Fremantle, Kalbarri, Jurien Bay, serta Geraldton. Perjalanan setengah hari di Abrolhos menjadi bagian dari program yang disiapkan Tourism Western Australia.
Abrolhos yang berjarak sekitar 70 kilometer dari kota Geraldton merupakan gugusan 122 pulau kecil dan besar yang 22 pulau di antaranya dimanfaatkan untuk industri lobster serta budidaya kerang mutiara.
Kata Abrolhos konon berasal dari bahasa Portugis yang berarti lebih kurang ”pasang mata baik-baik”. Dalam tur lebih kurang empat jam itu, dari pesawat, pengunjung diajak menikmati pemandangan tiga kelompok pulau di Kepulauan Abrolhos, yakni Pelsaert, Easter, dan Wallabi.
Sepanjang perjalanan, pilot menjelaskan nama pulau yang dilintasi sekaligus aktivitas apa saja yang berlangsung di sana.
Setelah menempuh perjalanan udara sekitar satu jam dari Geraldton, kota yang terletak sekitar 420 kilometer dari Perth, pesawat mendarat di landasan tanah di Pulau East Wallabi. Sam kemudian mengajak penumpang berjalan lebih kurang 1 kilometer ke arah tepi pantai. Di sana ada semacam gazebo kecil dari kayu untuk tempat berteduh. Penganan ringan serta kopi dan teh disajikan di meja kayu kecil di tengah gazebo.
Seusai menyeruput minuman hangat, peserta tur yang sudah meminjam atau membawa peralatan snorkeling mulai nyebur ke laut yang lumayan dingin saat musim gugur. Peserta tur yang tak mau berbasah-basah di pantai kemudian memilih berjemur di atas pasir pantai atau menjelajahi pulau didampingi pemandu. Dalam penjelajahan itu, pengunjung diajak mengenali vegetasi dan hewan endemik, salah satunya walabi, hewan Macropod berukuran kecil yang mirip kanguru. Walabi malu-malu saat didekati pengunjung. Hewan itu memilih bersembunyi di semak-semak yang mengering.
East Wallabi terbilang tandus. Jika udara sedang kering sekali, walabi yang biasanya mengonsumsi dedaunan terpaksa meminum air laut lantaran kandungan air di daun tak lagi memadai bagi hewan itu. Pada 389 tahun silam, di Pulau East Wallabi inilah Wiebbe Hayes, prajurit VOC yang menjadi penyintas karamnya Batavia, ditinggalkan bersama sekitar 20 prajurit lain untuk dibiarkan mati kehausan dan kelaparan oleh Jeronimus Cornelisz yang ingin menguasai harta di kapal Batavia.
Jeronimus menjadi pejabat paling senior VOC di pulau itu setelah Fransisco Pelsaert, komandan perjalanan, dan nakhoda Ariaen Jacobsz beserta 46 awak kapal meninggalkan penyintas di Pulau Beacon demi mencari air menggunakan perahu. Namun, mereka akhirnya malah tiba di Batavia. Jeronimus memecah konsentrasi populasi penyintas itu ke pulau-pulau di sekitar Beacon, seperti Long Island dan East Wallabi, agar mudah dikendalikan. Setelah konsentrasi penyintas terpecah, Jeronimus dan anak buahnya mulai membunuh orang-orang yang dianggap lemah atau bisa menghalangi rencananya untuk merebut kapal bantuan.
Tak sesuai harapan Jeronimus, kelompok Hayes tidak mati kehausan karena bisa menyeberang ke Pulau West Wallabi, lalu menemukan sumur air. Beberapa orang yang selamat dari pembantaian Jeronimus bergabung dengan Hayes, lalu menceritakan apa yang terjadi. Robert Bevacqua dalam Archaeological Survey of Sites Related to Batavia Shipwreck (1974) menuturkan, dari 268 penyintas yang ditinggalkan Pelsaert, 40 orang tewas tenggelam, 20 orang tewas karena sakit, dan 125 orang tewas dibantai gerombolan Jeronimus.
Batavia Park
Di Pulau West Wallabi, Hayes membangun benteng pertahanan dari tumpukan batu karang. Berkali-kali Jeronimus gagal menghabisi penyintas di West Wallabi. Saat kapal penyelamat yang dipimpin Pelsaert tiba, Hayes memperingatkan mereka atas rencana Jeronimus merebut kapal. Akhirnya, Jeronimus beserta beberapa pemimpin kelompok itu dieksekusi. Hayes kemudian dianggap sebagai pahlawan.
Sayang, Pulau West Wallabi tidak menjadi bagian dari tur setengah hari saat itu sehingga pengunjung tak bisa melihat seperti apa sisa bentengHayes. Namun, di pusat kota Geraldton ada sebuah taman bernama Batavia Park yang menampilkan patung Hayes disertai sebuah plakat berisi kisah kepahlawanan Hayes. Di samping patung Hayes juga dibuat replika benteng karang buatan para penyintas itu disertai keterangan bahwa tumpukan batu karang tersebut merupakan struktur tertua buatan orang Eropa di Benua Australia.
Batavia Park, taman yang didedikasikan Pemerintah Kota Geraldton untuk mengenang korban pembantaian Jeronimus, bisa menjadi tempat untuk rehat sekaligus menyimak lintasan sejarah maritim di sekitar Australia Barat. Di tengah taman juga ada replika Astrolobe Maritim, instrumen astronomi untuk membantu navigasi di masa lalu. Di tepi taman dibuat semacam lintasan masa disertai keterangan tahun serta plakat-plakat berbentuk belah ketupat berisi keterangan kapal yang karam di perairan Australia Barat.
Di Geraldton, kota pesisir pantai yang penduduknya hanya sekitar 40.000 jiwa itu, Batavia memang menjadi kata yang sangat akrab dengan penduduk setempat. Beberapa toko menggunakan nama Batavia. ”Di Geraldton memang ada banyak nama Batavia karena (cerita Batavia) itu sangat terkenal di situ,” kata Cameron, seorang pilot dari Geraldton Air Charter.
Geraldton, Abrolhos, dan Batavia menyajikan kontras: alam yang indah serta kisah tragis masa lalu yang bisa jadi pengingat bahwa keserakahan selalu membuka jalan bagi kekejaman….