Jaletreng River Park, Bersembunyi Sejenak dari Kebisingan
Setelah digempur rutinitas pekerjaan, ada baiknya kalangan pekerja menengah atas di Jakarta yang sehari-hari berkantor di ketinggian gedung pencakar langit menyisihkan waktu di akhir pekan untuk kembali menjejak bumi.
Larut dengan suara gemericik air sungai dan berteduh di bawah rimbun pepohonan. Bersembunyi sejenak dari peliknya kebisingan.
Jika kawasan Puncak di Bogor, Jawa Barat, dirasa terlalu jauh dan rawan macet, obyek wisata baru Jaletreng River Park di Tangerang Selatan bisa jadi alternatif pilihan berwisata alam. Lokasinya terletak 39 kilometer ke arah barat daya Jakarta.
Obyek wisata ini terintegrasi dengan Taman Hutan Kota 2 Bumi Serpong Damai (BSD). Warga Ibu Kota bisa menggunakan kereta rangkaian listrik (KRL) untuk bepergian ke sana. Waktu perjalanan yang dihabiskan lebih kurang 30 menit dari Jakarta menggunakan KRL.
Turun di Stasiun Rawa Buntu, Anda bisa memesan ojek daring. Letak Jaletreng River Park tak terlampau jauh dari stasiun. Dengan ongkos ojek daring Rp 7.000, Anda sudah bisa menikmati sensasi alam liar yang tak kalah dengan kawasan Puncak. Di sini pengunjung tak dikenakan biaya masuk.
Begitu masuk ke Jaletreng River Park, hamparan danau buatan bakal menyambut pengunjung yang tiba dari pintu selatan. Air di danau sebagian mengalir keluar ke arah utara melalui sungai buatan. Di dalam danau hidup sejumlah ikan mujair. Beberapa pengunjung tampak duduk di tepi danau sembari memancing. Sebagiannya lagi berada di tengah danau untuk menjala ikan.
Menurut pengurus Paguyuban Jaletreng River Park, Gugun Nurdin (40), danau serta sungai buatan itu berfungsi sebagai penampung air hujan serta irigasi. Ia menambahkan, sebelum Jaletreng River Park dikembangkan, kawasan tersebut merupakan sawah dengan hamparan ilalang yang luas.
Tepat di sebelah danau berdiri sebuah Gedung Gelanggang Budaya Amphiteatre yang berdampingan dengan Rumah Blandongan khas Tangerang Selatan. Fasilitas bermain yang tersedia juga cukup lengkap. Ada taman bermain anak-anak, persewaan kuda poni, serta jalur pejalan kaki yang mengikuti aliran sungai.
Ketika mengikuti jalur pejalan kaki, Anda akan menemukan sebuah taman yang terletak di tepi sungai. Di taman tersebut terdapat banyak tempat duduk untuk bersantai. Pada bagian tengah taman, dibangun sebuah jalur refleksi kaki. Jalur tersebut ditanami bebatuan kecil yang menonjol. Kaki Anda serasa dipijat selama berjalan di atas jalur itu.
Menikmati ketenangan
Setelah puas menikmati taman pinggir sungai, sebaiknya Anda segera melangkahkan kaki ke kawasan bagian utara karena di sana ada rute lain yang akan membimbing Anda menuju tempat yang tenang, jauh dari kebisingan.
Suara gemericik air dari sungai menemani pengunjung selama menyusuri jalan setapak di tengah rimbun pepohonan. Suasana terasa sejuk dan teduh karena sinar matahari terhalang dedaunan sehingga tak begitu menyengat kulit, teduh. Suara serangga tonggeret bersahutan memecah keheningan.
Di sudut hutan, beberapa pengunjung bersama keluarganya menggelar tikar, mereka menyantap bekal makanan yang dibawa dari rumah. Pengunjung lainnya menghabiskan waktu dengan berolahraga di jalur yang telah disediakan. Atau jika tak ingin letih mengitari Jaletreng River Park, pengunjung bisa menyewa kuda poni atau delman untuk berjalan-jalan.
Mayoritas pengunjung datang bersama anak-anak dan keluarga mereka. Yogi (31) adalah salah satu pengunjung Jaletreng River Park, Minggu (20/5/2018). Karyawan swasta di Jakarta itu datang bersama istri dan anak perempuannya. Menurut Yogi, ia memilih mengunjungi Jaletreng River Park lantaran membutuhkan pelarian dari rutinitas pekerjaan sehari-hari.
Bagi Yogi, daya tarik utama Jaletreng River Park yang terintegrasi dengan Taman Hutan Kota 2 BSD terletak pada ketenangan yang ada di sana. Ia dan keluarganya mengaku kerap mengunjungi Jaletreng River Park untuk berolahraga atau sekadar menikmati suasana alam.
”Setelah seminggu ruwet bekerja, datang ke sini bisa membuat pikiran jadi segar lagi. Suasanya masih asri dan kebetulan tak jauh dari rumah saya,” kata Yogi.
Hal tak jauh berbeda diungkapkan Martha (32). Ia datang bersama istrinya, Elly (28), dan anak perempuan mereka. Karyawan pabrik di Tangerang ini terpikat dengan ketenangan Jeletreng River Park. Biasanya ia dan keluarganya berkunjung pada akhir pekan di pagi hari, saat udara masih terasa segar dan sinar matahari belum terlalu menyengat.
Martha mengatakan, sesungguhnya ia lebih memilih berwisata ke kawasan Puncak. Namun, keterbatasan waktu dan jarak yang relatif jauh membuat ia mengalihkan pilihan ke Jaletreng River Park dan Taman Hutan Kota 2 BSD yang berlokasi lebih dekat dari kediamannya.
”Memang mencari ketenangan. Sehari-hari sudah pusing soal kerjaan,” ujar Martha.
Area baru
Kepala Dinas Pariwisata Kota Tangerang Selatan Judianto mengatakan, Jaletreng River Park memiliki luas sekitar 6 hektar. Obyek wisata ini baru diluncurkan sebagian pada awal 2018. Peluncuran penuhnya masih belum dilakukan karena ada sejumlah area baru yang akan dibangun dan dikembangkan.
Area-area tersebut di antaranya gelanggang budaya dan tempat duduk berundak di taman pinggir sungai. Kawasan di seberang sungai atau areal barat Jaletreng River Park ditambahkan lagi ruang terbuka hijau, arena permainan, dan taman baca.
”Masih mau kami kejar tahun ini. Target kami 2019 sudah bisa diluncurkan penuh,” kata Judianto.
Untuk sementara, pihak Pemerintah Kota Tangerang Selatan masih akan mengelola sendiri Jaletreng River Park. Judianto mengatakan, pihaknya masih melihat, memilah, dan memilih opsi pengelolaan ke depannya. Tidak menutup kemungkinan pengelolaan Jaletreng River Park bakal dikerjasamakan dengan pihak ketiga yang profesional dalam mengelola destinasi wisata.
Opsi lainnya akan dibentuk unit pengelola teknis tersendiri untuk mengelola Jaletreng River Park. Ke depan, selain wisata rekreasi, olahraga, dan alam, Judianto berencana untuk memadukan unsur seni dan budaya ke dalam konsep wisata di sana.
”Karena di sini kan ada Rumah Blandongan dan Gelanggang Budaya Amphiteatre,” ujarnya.
Pengamat tata kota, Nirwono Joga dan Yori Antar, dalam bukunya, Komedi Lenong: Satire Ruang Terbuka Hijau (2007), mengatakan, pembangunan kota mesti memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup untuk mencegah timbulnya berbagai bencana alam dan non-alam yang datang silih berganti. Bencana yang dimaksud mulai dari banjir, kehilangan sumber daya air, hingga polusi udara.
Nirwono mengatakan, 1 hektar ruang terbuka hijau yang dipenuhi pohon besar mencukupi banyak kebutuhan kehidupan kota. Ruang ini menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk kebutuhan bernapas 1.500 orang per hari, menyerap 2,5 ton karbon dioksida per tahun, menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun, dan mentransfer air 4.000 liter per hari. Selain itu, pepohonan juga menurunkan suhu 5-8 derajat celsius, meredam kebisingan 25-80 persen, serta mengurangi kekuatan angin 75-80 persen (Kompas, 5 Januari 2018).
Masyarakat di kawasan perkotaan, kata Nirwono, membutuhkan lebih banyak ruang terbuka publik yang bisa digunakan untuk interaksi sosial. Di tengah impitan masalah dan tekanan hidup perkotaan, warga kota butuh oase untuk melepaskan penat dan melakukan interaksi sosial.
Secara jangka panjang, katanya, keberadaan taman dan ruang terbuka hijau juga bisa menekan tingginya tingkat kriminalitas di suatu perkotaan. Untuk itu, pemerintah daerah didorong menambah lebih banyak lagi ruang-ruang terbuka hijau. Dengan demikian, upaya mewujudkan sebuah kota yang tenang dan jauh dari huru-hara persoalan barangkali bukanlah sebuah gagasan utopis.