Vientiane
Keberadaan bangunan bersejarah serta kuil Buddha di Vientiane, Laos, memberikan sentuhan eksotis dan roh bagi kota. Destinasi wisata tersebut mudah ditemukan di kota Vientiane. Tak hanya itu, daerah tepi Sungai Mekong juga menjadi daya tarik tersendiri yang menjadi ruang publik bagi masyarakat dan wisatawan.
Suasana di Bandar Udara Internasional Wattay, terasa sepi saat kami tiba di Vientiane, ibu kota Laos, Kamis (3/5/2018) pagi. Aktivitas di bandara tersebut memang tidak begitu sibuk setiap harinya.
Saat matahari belum begitu menyengat, kami pun meninggalkan bandara dan menyusuri jalan-jalan utama di kota Vientiane. Suasana di jalan-jalan utama yang kami lalui tidak terdengar suara klakson kendaraan. Hanya ada suara deru kendaraan. Itu pun tidak begitu terdengar bising. Tidak ada kemacetan seperti di Jakarta karena jumlah penduduk Laos hanya sekitar 6,8 juta jiwa.
Daya tarik kota tersebut mulai muncul saat melihat bangunan bersejarah dan kuil Buddha di sejumlah lokasi. Hal itu menjadi magnet bagi wisatawan. Apa jadinya jika bangunan-bangunan eksotis itu tidak ada. Tak hanya itu, daerah tepi Sungai Mekong juga kerap menjadi tujuan wisatawan untuk melihat matahari terbenam dan pasar malam.
Pukul 09.16
Kedai Dung
Setelah menyusuri sejumlah jalan utama di Vientiane, kami singgah di sebuah kedai bernama Dung yang terletak di daerah yang disebut Ban Sibounheuang untuk sarapan. Kedai itu menjual menu yang disebut fe, yakni sejenis bakso yang dicampur daging dan mi. Semuanya dari bahan baku daging sapi. Menu yang segar dan pas untuk sarapan.
Asap mengepul dari dalam mangkok yang berisi kuah kaldu yang disiramkan ke campuran bakso dan daging sapi serta mi. Di atasnya ditabur dedaunan yang memberikan sensasi harum pada makanan tersebut.
Fe disajikan bersama dengan berbagai lalapan dan cabai serta saus khusus yang terbuat dari kacang. Tak ketinggalan pula ada roti goreng yang bisa dimakan bersama-sama dengan fe. Lalapan tak pernah ketinggalan dalam setiap sajian makanan di Laos.
Pukul 16.59
Pha That Luang
Setelah mencicipi kulinernya pada pagi hari, pada sore hari saatnya mengunjungi kuil Buddha yang disebut Pha That Luang yang masih terletak di pusat kota Vientiane. Pha That Luang merupakan stupa besar. Pha That Luang berbentuk seperti piramida. Pha artinya patung Buddha, That artinya stupa dan Luang artinya besar. Di sekelilingnya terdapat puluhan stupa. Seluruh bagian stupa di Pha That Luang berwarna keemasan. Pha That Luang beberapa kali mengalami renovasi.
Pha That Luang diperkirakan dibangun pada abad ke-3 dengan tinggi sekitar 44 meter. Tempat wisata tersebut disebut sebagai tempat wisata paling penting dan simbol nasional. Setiap November ada acara Festival Pha That Luang yang merupakan acara keagamaan di Laos.
Pada saat festival tersebut biksu dari seluruh Laos berkumpul di Pha That Luang. Bahkan dari luar negeri, seperti dari Thailand, Kamboja, dan Myanmar berkumpul di Pha That Luang untuk melaksanakan upacara keagamaan.
Di Pha That Luang juga bisa melihat sejumlah patung. Salah satunya yang besar adalah patung Buddha yang sedang tidur. Pada sisi tersebut menjadi salah satu lokasi yang digemari wisatawan untuk berfoto.
Pukul 17.56
Sungai Mekong
Setelah puas berkeliling di Pha That Luang, kami melanjutkan perjalanan menyusuri kawasan tepi Sungai Mekong. Dari Pha That Luang untuk menuju ke tepi Sungai Mekong dan destinasi wisata lainnya terdapat kendaraan umum yang disebut tuk tuk. Tuk tuk merupakan kendaraan roda tiga (seperti bajai) yang bisa mengangkut lima hingga enam penumpang. Meskipun harus merogoh kocek sekitar 30.000 kip atau sekitar Rp 50.000.
Di tepi Sungai Mekong setiap sore ramai dikunjungi wisatawan maupun warga setempat. Ada yang sekadar duduk menikmati matahari terbenam sembari makan jajanan yang dijual di sekitarnya. Tak sedikit pula pengunjung yang menjadikan area tersebut sebagai tempat berolahraga.
Di sekitarnya terdapat banyak kedai-kedai menjual makanan serta kios-kios yang menjual berbagai macam pakaian, terutama kain tradisional Laos. Pada malam hari, terdapat pasar malam yang menjual pakaian dan perlengkapan barang elektronik serta aneka kuliner. Namun, jika hujan, pasar malam tidak akan buka.
Di sekitarnya juga pada malam hari semakin banyak orang yang berjualan makanan, misalnya, sate daging dan juga salad pepaya. Salad pepaya campuran antara irisan pepaya dengan timun, dan berbagai macam sayuran, tomat serta cabai. Para penjualnya selain melayani dalam mata uang Laos, yakni kip juga ada yang bisa melayani dalam mata uang Thailand, baht. Pada pukul 22.00 pasar malam itu sudah mulai sepi.
Pukul 13.46
Patuxay
Siang itu panas cukup menyengat. Namun, keinginan untuk mengenal kota Vientiane mengalahkan rasa panas tersebut. Kami pun mulai menyusuri jalan utama di dekat penginapan. Saat menyusuri jalan, terlihat ada sebuah gapura besar yang mengundang rasa ingin tahu. Kami pun berjalan ke arah gapura besar itu. Gapura besar itu bernama Patuxay.
Patuxay destinasi wisata lainnya yang menarik untuk dikunjungi. Letaknya masih di pusat kota Vientiane. Patu artinya pintu, Xay artinya kemenangan, sehingga sebagai lambang pintu gerbang kemenangan. Patuxay berbentuk gapura, menyerupai Arc de Triomphe de l\'Étoile atau gapura kemenangan di Perancis. Pada beberapa bagiannya terdapat berbagai relief.
Patuxay sebagai simbol perjuangan Laos bebas dari penjajahan. Untuk masuk ke Patuxay cukup membayar 3.000 kip atau sekitar Rp 5.000 per orang. Bangunan yang dibangun sekitar 1962 itu terdiri dari tujuh lantai.
Pada setiap lantainya terdapat tempat penjualan aneka ragam suvenir antara lain baju, gantungan kunci, kain tradisional Laos dan berbagai kerajinan. Di setiap lantai terdapat banyak pilihan suvenir.
Jika berada di puncaknya, kita bisa melihat Vientiane dari ketinggian. Taman Patuxay yang berada di samping bangunan juga terlihat lebih indah jika dilihat dari ketinggian. Tampak kolam dan berbagai tumbuhan di sekitarnya. Pada malam hari Patuxay terlihat lebih indah dengan pancaran cahaya lampu di sekitarnya.