Gerbang Eropa
Vladivostok, Rusia, tak pelak lagi adalah sebuah kota Eropa walau lokasinya berada di ”balik” Korea dan jaraknya ibarat hanya ”sepelemparan batu” dari Jepang. Keberadaannya menjadi penanda sebuah kebesaran.
Dari hampir semua aspek, kota ini tak ada bedanya dengan kota-kota besar di Eropa lainnya. Mulai dari penghuninya yang didominasi ras kulit putih, arsitektur bangunan-bangunannya, cita rasa kulinernya, sampai suhu udaranya.
Awal September 2018, saat musim panas belum sepenuhnya berlalu, suhu udara bisa tiba-tiba drop hingga 11-13 derajat celsius di malam dan pagi hari, dengan embusan angin menusuk tulang.
Vladivostok seolah hadir untuk mengingatkan orang betapa luas wilayah negara yang bernama Rusia. Jika Anda berada di mana pun di Asia, kemudian berjalan lurus ke arah utara, bisa dipastikan Anda akan tiba di wilayah Rusia pada suatu hari. Itu yang saya alami saat mengikuti pelayaran KRI Bima Suci dari Yeosu, Korea Selatan, 4 September 2018.
Selama enam hari lima malam, kapal bergerak dengan tenaga angin mengarah lurus ke arah utara dan timur laut menyusuri satu sisi Laut Jepang. Hari berganti hari, udara pun terasa makin dingin saat kapal menyentuh garis lintang yang kian tinggi.
Hingga pada suatu pagi, Minggu (9/9/2018), begitu keluar dari kehangatan kabin ke geladak kapal, terlihat daratan luas membentang di depan haluan. Sebuah jembatan gantung raksasa melintang menghubungkan dua gugus daratan di kejauhan. Inilah gerbang Rusia di sudut Samudra Pasifik!
Jembatan tersebut adalah Jembatan Russky, yang merupakan jembatan bentang kabel (cable-stayed bridge) terpanjang di dunia. Jembatan yang menghubungkan Semenanjung Muravyov-Amursky dengan Pulau Russky itu dibangun menyeberangi Selat Bosphorus Timur sebagai bagian persiapan KTT APEC 2012.
Memasuki sebuah kota di luar negeri dengan menggunakan kapal seperti ini membawa sebuah sensasi tersendiri mengingat sudah tak banyak orang yang bepergian antarnegara menggunakan kapal laut. Kita bisa mengenang bagaimana orang-orang zaman dulu bepergian ke negeri-negeri yang jauh.
Seperti di Vladivostok ini, misalnya, saat hendak memasuki Selat Bosphorus Timur, seluruh kapal akan disambut dengan sebuah pulau mungil berbukit dengan bangunan putih bergaya Eropa di pucuknya.
Itulah Pulau Skryplova, tempat mercusuar tertua di Vladivostok berada. Mercusuar yang terletak di bangunan di puncak bukit itu dibangun tahun 1865 atau hanya lima tahun sejak ekspedisi militer pertama Kekaisaran Rusia tiba di desa di tepi Teluk Tanduk Emas dan mendirikan pos militer yang menjadi cikal bakal kota Vladivostok.
Saat kapal makin dekat dengan dermaga, sosok kota ini makin jelas. Bangunan-bangunan berarsitektur khas Eropa tersebar di kontur tanah yang berbukit-bukit. Di sebelah kanan kapal kembali terlihat sebuah jembatan gantung yang megah, Jembatan Zolotoy.
Turun dari kapal, saatnya untuk menjelajah langsung kota ini. Atmosfer serba Eropa yang sangat kental dari jauh tiba-tiba sedikit memudar saat tiba di pinggir jalan-jalan utama Vladivostok. Pasalnya, jalanan di kota itu dipenuhi mobil-mobil buatan Jepang seperti lazimnya kota di sudut-sudut Asia, bahkan seperti di kota-kota di Indonesia.
Uniknya, walau aturan lalu lintas setempat mengadopsi sistem Eropa, yakni mobil berjalan di ruas jalan sebelah kanan (untuk mobil bersetir kiri), banyak mobil yang lalu lalang di Vladivostok memiliki setir di sebelah kanan.
”Karena banyak mobil dibeli dari Jepang,” kata Sergey Bakhto, seorang warga Vladivostok yang lancar berbahasa Indonesia. Lewat pasar gelapkah? ”Bukan, lewat jalur resmi, tetapi memang mobil bekas pakai,” kata Sergey yang hadir di pesta koktail di geladak Bima Suci, Selasa (11/9) malam.
Jejak Soviet
Menyusuri jalanan di pusat Vladivostok, masih terasa bagaimana kota ini dulu pernah menjadi bagian dari negara komunis terbesar di dunia. Gedung-gedungnya banyak yang berarsitektur kaku mengotak, seperti lazimnya terlihat di negara-negara eks Blok Timur.
”Lihat, Anda pasti kenal patung itu, kan?” ucap Anton, pegawai agen kapal yang siang itu menemani saya mengurus keimigrasian, saat melewati sebuah taman di pusat kota. Di sana terlihat patung seorang pria berewok dengan setelan jas panjang tengah menunjuk ke satu arah dengan dagu terangkat.
Tanpa memahami aksara Cyrillic yang tertera di dasar patung itu, siapa pun yang pernah mempelajari sejarah dunia akan tahu itu patung Vladimir Lenin, pemimpin Revolusi Oktober 1917 yang mengawali 74 tahun sejarah Uni Soviet. Ini adalah salah satu patung Lenin yang masih bertahan di saat banyak patungnya dihancurkan seiring dengan runtuhnya Uni Soviet dan komunisme di Eropa pada 1991.
Tepat di sebelah taman itu ada sebuah supermarket, dan di dalamnya kita akan menemui wajah seorang Vladimir lain yang juga sangat populer. Dialah Vladimir Putin, Presiden Rusia saat ini, yang wajahnya diabadikan dalam berbagai bentuk suvenir, mulai dari sablonan kaus, patung kecil, sampai kerajinan boneka Matryoshka berwajah Putin.
Sosok Putin memang sangat populer. Seorang bocah sekolah yang berkunjung ke KRI Bima Suci sempat bertanya dengan bahasa Inggris patah-patah, ”Apakah Anda tahu Vladimir Putin?” Saat dijawab, ya, Putin sangat populer di Indonesia, wajah anak itu langsung merekah gembira sambil mengajak tos dengan tangan kecilnya.
Ujung jalur
Selesai mengganti kartu SIM di ponsel dengan nomor lokal, kami pun berjalan kembali ke arah kapal. Kini perhatian tersita bangunan bergaya klasik yang terletak di seberang taman dengan patung Lenin tadi. Itulah Stasiun Kereta Api Vladivostok.
Stasiun yang dibangun di akhir abad ke-19 itu terletak berimpitan dengan Pelabuhan Vladivostok, sebuah konsep transit oriented development yang sudah diterapkan di banyak kota Eropa sejak dulu. Namun, bukan itu yang membuat stasiun KA ini menarik.
Stasiun Vladivostok adalah stasiun istimewa karena dia adalah stasiun paling ujung dari jalur rel KA terpanjang di dunia: Jalur KA Trans-Siberia. Jalur KA ini berawal dari ibu kota Rusia di Moskwa dan membentang lebih dari 9.000 kilometer hingga ke pantai Timur Jauh negeri itu di Vladivostok.
Di lantai salah satu peron stasiun itu terdapat sebuah tugu kecil dengan angka 9288, yang menunjukkan jarak stasiun itu dengan Stasiun Yaroslavsky di Moskwa, yakni 9.288 kilometer! Jalur KA ini terentang mengangkangi delapan zona waktu. Jadi, kalau Anda ingin naik kereta api sampai jetlag, cobalah naik KA di jalur ini dari ujung ke ujung.
”Saya belum pernah mencoba, tetapi orangtua saya dulu pernah naik kereta api ini sampai Moskwa. Sampai di sana satu minggu lebih,” tutur Anton. Info terbaru menyebutkan, perjalanan KA dari Vladivostok hingga Moskwa saat ini bisa diselesaikan dalam waktu delapan hari seiring dengan bertambahnya kecepatan KA yang melayani jalur itu.
Selain menawarkan imajinasi sebuah petualangan berkereta api, Stasiun Vladivostok juga berarsitektur sangat cantik, berbeda dengan gedung-gedung kotak kaku ala era komunis. Maklum saja, bangunan ini dibangun di era tsar Rusia, yakni Tsar Alexander III (memerintah 1881-1894) dan diteruskan anaknya, Tsar Nicholas II (1894-1917) atau tsar terakhir Rusia.