Hingga pertengahan abad ke-20, setiap delapan menit selalu ada kapal uap pengangkut kargo dan penumpang melintasi Sungai Detroit, salah satu jalur pelayaran di Negara Bagian Michigan, Amerika Serikat. Dari pusat industri mobil terbesar di dunia itu, mobil diangkut ke luar AS melalui jalur yang bermuara di Samudra Atlantik itu untuk dikirim ke seluruh dunia. Pamor kawasan itu kini menyisakan kenangan dan deretan pekerjaan rumah, seperti kerusakan lingkungan yang menanti dituntaskan.
Jejak kejayaan itu dituturkan Fred Steiner di anjungan kapal uap William Clay Ford yang kini dijadikan koleksi di Dossin Great Lake Museum pada Jumat (7/9/2018) petang. Steiner merupakan salah satu pemandu di museum berisi cerita kejayaan pelayaran sungai dan danau di Michigan yang berdiri di tepian Sungai Detroit itu. Sungai selebar kurang dari 1 mil (sekitar 1,6 kilometer) itu memisahkan AS dan Kanada.
Kapal William Clay Ford selama puluhan tahun menjajal perairan itu untuk mengangkut mobil yang diproduksi di sejumlah kawasan di Michigan. Berbeda dengan kapal lain, kapal itu dianggap bersejarah.
Kapal itu sengaja dijadikan museum dengan alasan menjadi satu-satunya kapal yang nekat mencari kapal Edmund Fitzgerald yang tenggelam bersama 29 awak pada 10 November 1975. Angin berkecepatan hingga 100 knot atau 180 kilometer per jam menyebabkan gelombang tinggi hingga 5 meter.
Di tengah cuaca buruk itu, kapal Edmund Fitzgerald dilaporkan hilang kontak. Mendengar kabar itu, kapal William Clay Ford bergerak ke sana, tetapi tidak menemukan apa-apa. Ternyata setelah dihantam angin, kapal Edmund Fitzgerald yang dinakhodai Ernest M McSorley itu tenggelam hanya dalam waktu 4 detik.
”Ini seperti kilat, beda dengan kapal Titanic yang tenggelam sekitar 2 jam,” ujar Fred. Kecelakaan kapal Edmund Fitzgerald merupakan kecelakaan terbesar di perairan Michigan yang tercatat dalam sejarah.
Gambar kapal Edmund Fitzgerald, kapal William Clay Ford, dan beberapa kapal lain terpajang di museum itu. Kapal-kapal itu berfungsi mengangkut mobil yang diproduksi perusahaan yang berdiri di tepian Sungai Detroit serta beberapa sungai kecil dan danau-danau di Michigan yang saling terkait.
Mobil-mobil itu diangkut keluar hingga ke muara sungai yang terhubung dengan Samudra Atlantik untuk selanjutnya dibawa ke sejumlah negara di dunia. Seiring waktu, tumbuhnya industri mobil di wilayah lain membuat Michigan tidak memegang kendali sebagai lumbung produsen mobil.
Alternatif pengiriman mobil melalui jalur darat membuat pilihan mengangkut lewat kapal yang kecepatan maksimalnya kurang dari 15 knot atau 27 kilometer per jam itu kurang diminati. Menjelang tahun 1990-an, jalur perairan di Michigan mulai meredup.
Pemulihan lingkungan
Industri otomotif yang tumbuh di pesisir perairan Michigan, baik tepi danau maupun sungai, menyebabkan pencemaran logam berat dan sampah plastik di perairan itu cukup tinggi. Pencemaran itu disampaikan hampir semua ahli dan pemangku kepentingan, mulai dari peneliti, pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat, yang ditemui di Michigan selama hampir lima hari oleh peserta International Visitor Leadership Program bertema ”Maritime Crime” dari Indonesia. Program itu diselenggarakan Kementerian Luar Negeri AS.
Padahal, perairan itu sekaligus sebagai sumber penghidupan.
Selain transportasi, perairan itu menjadi sumber air bersih serta keperluan perikanan, pertanian, dan pariwisata. Lebih dari 10 juta orang menggantungkan hidupnya di sana. Mereka menyadari penuh hal itu. Sejumlah upaya sudah dan akan terus dilakukan untuk memulihkan lingkungan.
Susan White dari Detroit River International Wildlife Refuge menuturkan, pembersihan perairan itu mulai gencar dilakukan setelah disahkannya undang-undang yang mengatur tentang air dan udara bersih di AS pada 1972.
Khusus di Sungai Detroit yang panjangnya 48 mil (sekitar 89 kilometer) telah diangkat 145 juta ton sampah dan 70 persen sedimen yang mengandung merkuri.
Menurut Susan, untuk program pengangkatan sedimen bermerkuri itu, Pemerintah AS menggelontorkan dana 154 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,3 triliun. ”Berdasarkan hasil pemeriksaan, kualitas air sudah jauh lebih baik.
Memang masih ada, tetapi tidak berat,” katanya saat diajak ke salah satu lokasi kerja mereka yang dulu dijadikan pangkalan rudal dengan sasaran bidik ke Kuba pada era Perang Dingin.
Terbayang berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk mengangkat sedimen di ratusan sungai di Indonesia yang tercemar akibat pengolahan emas menggunakan merkuri. Di Indonesia, praktik semacam itu hingga kini belum bisa dihentikan.
Salah satu contohnya adalah tambang emas liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku. Masalah tambang liar di Indonesia ibarat mengurai benang kusut. Banyak kepentingan pribadi dan kelompok di sana, termasuk oknum pejabat negara dan aparat keamanan.
Seperti di Gunung Botak, limbah merkuri mencemari sungai yang airnya dipakai untuk mengairi sawah di Buru. Buru merupakan salah satu sentra penghasil beras di Maluku. Endapan lumpur mengandung merkuri itu juga terbawa hingga ke Teluk Kayeli, hamparan hutan bakau yang menjadi tempat bertelurnya ikan.
Sejumlah titik itu, berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Pattimura, telah tercemar merkuri. Dinyatakan bahwa merkuri telah masuk ke dalam jaringan rantai makanan.
Jika tak mampu mengatasinya, bukan tidak mungkin, tragedi Minamata di Jepang, yakni mutasi genetika akibat paparan merkuri, akan terulang di sejumlah wilayah tercemar merkuri di Indonesia.
Pemerintah AS dan Pemerintah Negara Bagian Michigan sudah berhasil mencegah hal itu tentu dengan bayaran tidak sedikit. Mereka sadar, dampak merkuri berlangsung lintas generasi.
Profesor Catherine Riseng dari Michigan Sea Program mengatakan, belum ada temuan warga yang terpapar merkuri atau terjadi mutasi genetika akibat merkuri di Michigan.
Michigan Sea Program merupakan lembaga yang fokus pada pendampingan bagi masyarakat pesisir sungai dan danau di Michigan.