Jejak Ikan Indonesia di AS
Para penjual ikan setengah berteriak mengajak pengunjung pasar agar membeli dagangan mereka. Strategi pemasaran ala penjual ikan di Indonesia, yang di Maluku dikenal dengan istilah ”jibu-jibu”, itu sama persis yang dilakoni penjual ikan di tepi Sungai Potomac, Washington DC, Amerika Serikat, Rabu (29/8/2018).
Pasar ikan itu dibuat mengelilingi dermaga dengan keliling tidak lebih dari 40 meter membentuk huruf U. Inilah pasar ikan tertua di Washington yang mulai beroperasi pada tahun 1805.
Pada awalnya pola pemasaran dilakukan secara bebas oleh siapa saja. Namun, kini pasar itu dikendalikan dua perusahaan makanan laut, yakni Jessie Taylor Seafood dan Captain Whites Seafood.
Beberapa hasil laut yang ditawarkan, seperti kakap merah, kerapu, salmon, udang, lobster, dan kepiting, itu semuanya ditangkap dari Samudra Atlantik.
Muara Sungai Potomac terhubung dengan Samudra Atlantik sehingga memudahkan kapal pengangkut membawa ikan ke pasar itu.
Selain hasil laut segar, mereka juga menjual hasil laut siap saji. Ada udang goreng polos dan daging kakap merah. Makanan laut siap saji tampak paling banyak dikerumuni pembeli.
Beberapa dari mereka mengaku harganya jauh lebih murah dibandingkan harga di restoran yang berjejer hanya puluhan meter dari pasar itu.
Beruntung Kompas bertemu dengan seorang karyawan Jessie Taylor Seafood asal Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, bernama Nur Hasyimin (50).
Perjumpaan dengan Nur secara kebetulan. Saat mendengar rombongan Kompas berbicara dalam bahasa Indonesia, Nur yang perawakannya mirip warga Thailand itu langsung menyambar. Nur sudah bekerja di perusahaan itu selama 12 tahun.
Dari Nur didapat informasi, hasil laut siap saji berupa ikan kakap merah dan udang sebagian berasal dari Indonesia. Ikan kakap merah itu dibeli dari importir di AS. Dalam satu minggu, mereka mendapat sekitar 10 kilogram daging ikan kakap merah dan 5 kilogram udang yang ditangkap nelayan Indonesia. Lebih dari 75 persen makanan laut AS diimpor salah satunya berasal dari Indonesia.
Harga kakap merah di tempat itu berkali-kali lipat mahalnya dibandingkan di Indonesia. Setiap potongan daging kakap seberat 0,25 ons atau 25 gram yang dilapisi roti dijual dengan harga hampir Rp 150.000.
Di pasar Maluku, misalnya, dengan uang sebesar itu, bisa didapatkan daging ikan kakap merah seberat 2 kilogram, bahkan lebih. Ini berarti jumlahnya sama dengan sekitar 80 potong daging kakap yang dijual di tempat itu.
Jika di balik, ikan kakap merah yang dibeli di Indonesia senilai Rp 150.000 lalu dibawa ke AS nilainya jauh lebih tinggi. Daging itu dipotong kecil-kecil menjadi 80 potong kemudian dilapisi roti kemudian dijual seharga hampir 10 dollar AS per potong. Hasil yang didapat sekitar 800 dollar AS atau sekitar Rp 11,6 juta dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS Rp 14.500.
Selain kakap merah, tuna dari Indonesia juga mengisi pasar makan laut di Amerika Serikat. Eric K Kingma dari Dewan Pengelolaan Perikanan AS Wilayah Pasifik Barat mengagumi kualitas tuna dari Flores, NTT.
”Tuna yang ditangkap nelayan dari Flores sangat segar dan dagingnya merah darah,” ujarnya. Ia mengatakan, sebagian besar tuna di AS diimpor dari Indonesia, yakni mencapai 38 persen.
Adapun daging tuna goreng di restoran di Honolulu, Hawaii, AS, dengan berat kurang dari 1 ons dijual dengan harga hampir 10 dollar AS atau sekitar Rp 145.000. Jika dibandingkan dengan Maluku, uang Rp 145.000 bisa dipakai untuk membeli 1 ekor tuna seberat 3 kilogram.
Tampak begitu jauh perbedaan nilai ikan yang dijual nelayan di Indonesia dan pedagang di pasar AS. Keuntungan terbesar malah diraup industri pengolahan ikan jauh dari apa yang didapatkan nelayan yang menangkap ikan itu.
Makanya, jangan heran apabila perusahaan pengolahan berkembang pesat dengan aset berlipat-lipat sementara nelayan penangkap ikan sulit maju. Rantai pasok yang panjang serta kurangnya saluran pasar menjadi penyebabnya.
Bangun industri
Memang selama ini banyak hasil tangkapan nelayan lokal di Indonesia dijual ke kapal penampung ikan untuk diekspor. Namun, kapal penampung pun tak sering menyinggahi wilayah terpencil yang kaya akan hasil laut. Pada bulan-bulan tertentu, hasil tangkapan melimpah tetapi tak ada pembeli. Sebagian hasil itu dimakan dan sisanya untuk makanan ternak, bahkan ada yang dikubur.
Membangun industri perikanan di daerah adalah solusinya. Di Maluku, misalnya, saat ini tak ada industri pengolahan ikan. Padahal, daerah itu memiliki potensi perikanan 3 juta ton per tahun atau 30 persen dari potensi nasional. Pemerintah perlu mendorong kehadiran industri perikanan di sana.
Beberapa pejabat AS, yang ditemui di kantor Kementerian Luar Negeri AS di Washington, Selasa (28/8/2018), melihat Indonesia sebagai salah satu mitra strategis AS. Salah satu potensi terbesar adalah sektor kelautan dan perikanan.
Potensi itu bisa menjadi peluang investasi. Kehadiran Kompas ke AS untuk mengikuti International Visitor Leadership Program bertema ”Maritime Crime” yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri AS.
Baik Eric K Kingma maupun beberapa pejabat dan akademisi yang ditemui mengatakan pernah mendengar tentang praktik perbudakan di Benjina yang dilakukan salah satu perusahaan ikan yang sebagian modalnya dimiliki asing. Hal itu ikut mencoreng komoditas perikanan di Indonesia. Di AS sempat ada wacana untuk melarang impor hasil laut dari Indonesia.
Nur Asiyah, Kepala Seksi Analisis dan Tindak Lanjut Direktorat Penanganan Pelanggaran, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, meyakinkan mereka Indonesia memiliki komitmen tinggi memberantas segala kejahatan di sektor perikanan dan kelautan. Upaya ini secara masif dilakukan sejak era Presiden Joko Widodo.
Seperti contoh, pemerintah menutup usaha perikanan yang melakukan perbudakan tersebut dan memenjarakan pihak-pihak yang terlibat kejahatan perikanan. Selain itu, ratusan kapal asing yang terbukti masuk wilayah Indonesia secara ilegal sudah ditenggelamkan.