Gipsi Laut Pemberani
Anak-anak Bajo punya cara tak biasa untuk menghabiskan waktu bermain. Mereka berombongan mendayung perahu sambil bersenda gurau kemudian berloncatan ke tengah laut. Tak ada rasa takut karena darah laut sudah lama mengalir dalam nadi mereka.…
Siang hari di Dermaga Rampa Baru, para perempuan sibuk memilah ikan, sementara para lelaki tiduran atau mengobrol sana-sini dengan sesama lelaki. Perahu-perahu bermesin kecil berjajar di tengah sungai seperti sedang menunggu perintah dari para majikan.
Sore akan menjadi hari yang sibuk. Para nelayan suku Bajo di Kampung Rampa Baru, Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan, siap menjelajah pulau-pulau Nusantara. Tujuannya tunggal, memanen berkah laut, jika perlu sampai bermil-mil jauhnya.
”Biasanya sampai Sulawesi atau Maluku,” kata Amad (35) yang berkulit legam. Siang itu ia sedang menyulam ulang jaring-jaringnya yang robek.
Jika para nelayan berangkat senja hari, keesokan paginya mereka baru kembali ke Rampa Baru dengan membawa hasil tangkapan. Sepanjang malam, mereka bekerja mengendalikan angin, membaca tanda-tanda langit, dan membentang jaring untuk kemudian memanen ikan. Semua pekerjaan itu hampir selalu dikerjakan seorang diri walaupun mereka berangkat dari Rampa Baru secara beriringan.
Samsudin (45) pada siang di pertengahan November 2018 itu sibuk menambal kapal. Ia tak ingat pasti sejak kapan ia berani melaut seorang diri.
”Lihat saja anak-anak itu,” katanya menunjuk sekelompok anak yang sejak tadi sibuk bercanda dengan laut. Usia mereka tak lebih dari 10-12 tahun, tetapi sudah lihai mengendalikan sampan, berenang, dan menyelam ke perut laut. Tak jarang di antara mereka berloncatan setinggi-tingginya untuk kemudian mencebur ke laut.
Tak ada yang tahu pasti sejak kapan orang-orang suku Bajo menetap di Rampa Baru. Kampung di atas air ini termasuk permukiman terpadat di Kota Baru. Seluruh rumah dihubungkan dengan jembatan kayu yang berujung pada sebuah dermaga atau sungai. ”Setiap permukiman suku Bajo umum disebut sebagai rampa,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kota Baru Khairian Anshari.
Di Kota Baru sendiri terdapat beberapa komunitas suku Bajo yang tersebar sepanjang garis pantai. Umumnya, kata Khairian, komunitas-komunitas ini sudah nyaris berbaur dengan suku lain yang ada di Kota Baru, seperti Banjar, Bugis, Mandar, dan Jawa. Pembaruan ini, katanya, menandai bahwa kultur masyarakat Kota Baru sangat beragam. ”Berasal dari pembaruan suku-suku itu,” katanya.
Suku laut
Sudah lama suku Bajo dikenal sebagai gipsi laut karena hidupnya nomaden. Komunitas mereka tersebar di pulau-pulau di Nusantara, bahkan sampai ke Filipina, Malaysia, dan Thailand. Banyak peneliti menduga, pada suatu masa, suku Bajo memiliki asal muasal seperti suku laut lain. Namun, hal yang misteri hingga kini, belum bisa diungkap secara pasti di mana asal-usul mereka. ”Yang jelas mereka sudah ada di Kota Baru dan pulau lain sejak dulu,” kata Khairian.
Kehidupan unik suku Bajo di Kampung Rampa Baru, yang tak jauh dari pusat pemerintahan Kota Baru, bisa menjadi tujuan kunjungan yang eksotik.
Apalagi tak jauh dari sana terdapat Pelabuhan Panjang, tempat kapal-kapal kayu tradisional membawa rakyat menuju pulau lain atau merapat ke daratan Pulau Kalimantan. Kota Baru sendiri berada di Pulau Laut, pulau yang berlokasi di tenggara Pulau Kalimantan.
Tentu saja, kata Khairian, banyak pengunjung selalu ingat Kota Baru ketika mendengar Gunung Bamega yang membentang di tengah-tengah pulau. Bamega menjadi ikon Kota Baru dengan lagu ”Paris Barantai” ciptaan Anang Ardiansyah. Selain mengungkap kerinduan sepasang kekasih, lagu berbahasa Banjar itu juga seolah membentangkan lanskap Kota Baru dari gunung sampai laut. ”Potensi gunung dan laut akan kami maksimalkan dalam pengembangan pariwisata di sini,” kata Khairian.
Pada lereng Gunung Bamega terdapat wanawisata Hutan Meranti. Dulu, kata Bang Udin (40), salah seorang penjaga Hutan Meranti Kota Baru, hutan di Desa Sebelimbingan ini memiliki luas lebih dari 300 hektar. ”Namun, kini hanya tersisa sekitar 8,3 hektar, itu pun hasil penanaman tahun 1976,” katanya.
Hutan basah tropis
Hutan Meranti hanya berjarak 11 kilometer dari pusat kota. Pemerintah Kabupaten Kota Baru sedang sibuk mengembalikan habitat hutan basah tropis ini seperti sedia kala sembari mengembangkan dunia perpelancongan.
Di sebelah utara Gunung Bamega ada laut indah bernama Pantai Gedambaan yang berlokasi di Desa Sarang Tiung. Selain sudah dibangun penginapan-penginapan sederhana, pantai ini juga sering kali digunakan sebagai lokasi berkemah oleh para siswa sekolah. Pada pertengahan November 2018, puluhan siswa sedang berkemah mengikuti helatan Aruh Sastra XV Kalimantan Selatan. ”Mereka semua diberi workshop menulis,” kata Helwatin Najwa, Ketua Panitia Aruh Sastra XV Kalimantan Selatan.
Sesungguhnya Kota Baru menjadi daerah tropis yang beruntung. Banyak yang mengatakan, laut dan gunung bertemu di Kota Baru. Ungkapan ini tidak sekadar membentangkan lanskap kota, tetapi juga menceritakan tentang kesuburan, keberlimpahan potensi alam, yang sudah pasti jika diolah akan membawa kemakmuran.
Kemakmuran itu sudah mulai tampak pada kemeriahan tepian Taman Siring Laut, yang berada tepat di seberang pusat pemerintahan Kota Baru. Saban malam, lampu-lampu di sini gemerlap dengan asap yang mengepulkan aroma ikan bakar. Ikan-ikan yang ditangkap para gipsi dari suku Bajo, kini ”berenang” di atas piring-piring orang Banjar, Makassar, dan Jawa untuk kemudian bersarang dalam gairah menyantap yang meledak-ledak dari para pencinta makanan.