Maafkan Kami Sungai…
Manusia berutang banyak pada sungai. Ketika perayaan Loy Krathong tiba, manusia membayarnya dengan permohonan maaf, bunga aneka warna, puja-puja, dan dupa.
Sore di kawasan Candi (Wat) Chaiwattanaram, Ayutthaya, Thailand, (22/10/2018). Ketenangan yang tersisa dari masa lalu bercampur dengan hiruk pikuk industri pariwisata. Turis dari sejumlah bangsa mengalir di sela-sela pagoda-pagoda raksasa. Mereka mengabadikan diri dengan latar pagoda-pagoda dari susunan batubata merah yang menghitam sebagian disapu usia.
Di sudut lain, sejumlah orang menangkupkan kedua telapak tangan di dada dan berdoa dengan khusyuk. Mereka tidak terusik sama sekali dengan kehadiran para turis dengan aneka polahnya. Suasana ini terasa tak jauh berbeda dengan di Bali, di mana turis yang datang untuk mengagumi budaya lokal berbaur bersama orang-orang yang sedang berdoa di pura-pura.
Di bagian depan candi, beberapa orang menyusun bunga-bunga aneka warna dalam satu basket kecil, membubuhinya dengan lilin, wangi-wangian, dan dupa. Rangkaian bunga yang disebut krathong itu lantas dibawa ke tepi Sungai Chao Phraya yang mengalir di samping candi.
Dengan iringan doa, krathong itu dilarung sebagai sajen dan dibiarkan menyatu dengan aliran sungai. Semakin sore, orang-orang yang datang untuk melarung krathong semakin banyak. Dan, itu baru permulaan. Ketika matahari telah benar-benar menghilang ditelan malam, orang-orang terus mengalir ke tepian sungai, membawa sajen bunga untuk dilarung di malam yang istimewa.
Malam itu adalah malam perayaan Loy Krathong, sebuah festival tua di Thailand yang berlangsung sekali setahun setiap purnama ke-12 menurut penghitungan kalender lokal. Berdasarkan kalender Masehi, Loy Krathong biasanya jatuh di bulan November. Tahun 2018 ini, Loy Krathong bertepatan dengan tanggal 22 November.
Pada malam istimewa itu, masyarakat Thailand berduyun-duyun ke sumber-sumber air, seperti sungai, danau, dan kanal-kanal, untuk berbagai alasan. Sebagian datang untuk mengucapkan terima kasih kepada Dewi Air yang telah memberi kesejahteraan kepada manusia. Pada saat yang sama, mereka meminta maaf karena telah mengotori dan mengeksploitasi sumber-sumber air begitu rupa.
Ada pula yang datang untuk membersihkan diri dari rasa marah, dendam, dan sifat buruk lain. Secara simbolik mereka melarung sifat-sifat buruk itu dengan krathong berwujud bunga-bunga yang dibubuhi dupa, lilin yang menyala, dan kadang potongan rambut atau kuku. Di antara lantuan doa, biasanya mereka juga berharap peruntungan dan kesejahteraan di masa-masa mendatang.
”Lihatlah sajen yang mengambang di sana. Semakin lama lilinnya menyala, semakin baik. Jika lilin itu terus menyala sampai krathong-nya tidak terlihat lagi, itu berarti tahun depan peruntungan kamu bagus,” ujar Chavarong, wartawan di Bangkok, sambil menunjuk krathong atau sajen-sajen dengan lilin menyala yang mengambang di permainkan arus Sungai Chao Phraya.
Festival cahaya
Dalam buklet-buklet pariwisata Thailand, Loy Krathong juga disebut sebagai festival cahaya. Hari itu, kami menikmati malam bermandikan cahaya di sepanjang Sungai Chao Phraya. Karena itu, sebelum malam menggelinding menuju pagi, kami beringsut dari Wat Chaiwattanaram ke Wat Prasri Sanpetch, candi Hindu-Buddha di kompleks situs reruntuhan Istana Kerajaan Siam yang diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia.
Sepelemparan batu dari candi itu terdapat dermaga kecil tempat sebuah kapal kayu dengan panjang sekitar 15 meter menunggu kami. Beberapa laki-laki di perahu itu menyambut kami dengan ucapan ”sawasdee krab!” sambil menangkupkan kedua telapak tangan di dada. Keramahan khas Thailand.
Tanpa menunggu lama, kami segera berlayar. Kapal bergerak menyusuri Sungai Chao Phraya, sungai utama di Thailand yang menghubungkan ibu kota lama Thailand, Ayutthaya, menuju ibu kota baru, Bangkok. Jarak kedua kota itu sekitar 80 kilometer. Hanya sepenggal dari panjang Sungai Chao Phraya yang berkisar 300 kilometer dari hulu hingga hilirnya di Teluk Thailand di bagian selatan ”Negeri Gajah” itu.
Perjalanan malam saat Loy Krathong amat menyenangkan. Air sungai tampak keperakan memantulkan sinar bulan yang bugil bulat. Arus sungai bergerak deras, mempermainkan ribuan krathong yang bersinar seperti kumpulan kunang-kunang. Beberapa segera ditelan ombak yang dipicu lalu lalang kapal-kapal besar.
Apakah peruntungan orang yang melarungkan krathong itu berakhir sampai di situ? Hanya Tuhan yang tahu.
Di beberapa titik di sisi sungai, berkelompok-kelompok orang berdiri di tepi sungai untuk melarung krathong. Sebagian membawa obor yang apinya berkelap-kelip dipermainkan angin. Sebagian lagi menyalakan berpuluh-puluh petasan luncur yang segera membelah langit dan meninggalkan jejak bunga api meski sekejap. Suaranya memekakkan telinga, tetapi kami justru tertawa bahagia.
Saat itulah, kapal berhenti di tengah sungai. Para kru kapal mengeluarkan belasan krathong dan menyalakan lilinnya. Lantas, mereka mengajak kami untuk melarung krathong dan meminta maaf kepada Chao Phraya. Satu per satu krathong cantik dengan bunga-bunga berwarna kuning, ungu, dan putih dilarung dari buritan kapal dengan iringan doa dan harapan. Dalam beberapa menit, krathong-krathong itu berubah menjadi titik-titik kuning di tengah kegelapan malam.
Pancaran energi
Wajah cantik Thailand saat itu benar-benar terlihat. Di kiri-kanan sungai, candi-candi atau kuil-kuil tampak bercahaya. Bangunan-bangunan dari masa lalu itu terlihat anggun dan memancarkan energi yang menyenangkan.
Namun, pemandangan itu berganti setelah perjalanan menelan waktu sekitar tiga jam dan mendekati Kota Bangkok. Bangunan yang kami temui semakin beragam. Selain candi, ada kompleks istana raja, rumah sakit, universitas, dan teater yang tumbuh di sepanjang sisi sungai. Jembatan-jembatan raksasa dengan bentangan kabel-kabel panjang membentang di atas sungai.
Memasuki jantung kota Bangkok, sisi kiri-kanan sungai didominasi hotel-hotel tinggi, mal, dan pasar malam. Cahaya obor, petasan, dan lilin di dalam krathong tenggelam oleh cahaya lampu-lampu kota.
Ketenangan yang dibawa dari Ayutthaya kini luruh dalam gemuruh kapal-kapal pesiar untuk turis, tongkang pengangkut beras, dan musik disko atau rock yang dimainkan di bar-bar di sisi sungai. Namun, di antara keriuhan itu, kami masih menjumpai sekelompok orang yang melarung krathong.
Pelayaran kami dari Ayutthaya berakhir di sebuah dermaga di depan pusat perbelanjaan megah. Dari situ, kami menyusuri malam di kota Bangkok dengan bus mini. Malam telah larut, tetapi Loy Krathong belum juga usai.
Di beberapa kuil atau candi yang memiliki telaga, orang-orang tampak berdesakan sekadar menyalakan lilin dan dupa serta meletakkan krathong.
Esok paginya, kami datang kembali ke Chao Phraya yang membelah kota Bangkok. Air sungai tampak kecoklatan. Selain eceng gondok yang tercerai berai dan sisa krathong tadi malam, hampir tidak ada sampah yang mengambang di permukaan Chao Phraya.
Kami tiba-tiba teringat pada sungai-sungai dan kanal-kanal di Jakarta. Sungai-sungai dan kanal-kanal itu kotor serta dipenuhi sampah dan limbah yang dibuang manusia. Dan kami mungkin tak pernah berkata, ”Maafkan kami sungai….”