Mengais Rezeki dengan Menantang Bahaya di Kawah Ijen
Fenomena api biru kabarnya hanya bisa dilihat di dua tempat, yakni di Eslandia dan Kawah Ijen. Di luar aktivitas wisatawan, ada para petambang belerang yang siap menempuh bahaya demi sesuap nasi.
Fenomena api biru kabarnya hanya bisa dilihat di dua tempat, yakni di Eslandia dan Kawah Ijen. Api biru memang menjadi daya tarik utama pendakian ke Gunung Ijen. Akhir pekan lalu, menjelang dini hari, si api biru yang ditunggu-tunggu banyak orang pun akhirnya terlihat.
Saat itu, semua orang yang ada di sekitar kawah sibuk memotret si api biru. Beberapa orang bahkan berdiri sangat dekat dengan api biru itu dan membuat wisatawan di belakangnya protes karena tidak kebagian ruang untuk menikmati fenomena alam tersebut.
Di tengah keramaian wisatawan, terdapat para petambang yang tetap asyik memecahkan belerang yang sudah mengeras dengan linggis. Mereka seolah tidak menghiraukan kehadiran para wisatawan.
Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Asap belerang bertiup ke arah para wisatawan. Kerumunan yang mendatangi api biru pun cepat-cepat membubarkan diri. Asap membuat perih mata dan membuat dada sesak. Beberapa wisatawan yang panik terjatuh saat berlarian karena tanah di sekitar tambang belerang konturnya naik turun, tidak rata.
Para petambang belerang juga berjalan agak menjauh. Namun, hanya beberapa saat, mereka sudah kembali lagi untuk beraktivitas. Sementara para pengunjung masih terbatuk-batuk dengan mata pedih.
Tidak seperti wisatawan yang mengenakan masker karet untuk menghindari perih di mata, para petambang hanya mengandalkan handuk basah lusuh yang mereka gigit agar tidak terjatuh ketika asap tebal datang. Seorang petambang terlihat mengambil masker kain milik wisatawan yang terjatuh dan mengenakannya.
Baca juga: Ijen Kehilangan Rp 2 Miliar
Tidak jauh dari situ, seorang wisatawan berbagi bekal biskuit dengan beberapa para petambang. Ketika asap menipis, para petambang melanjutkan kegiatannya sambil tidak menghiraukan wisatawan yang terkadang tidak sengaja menghalangi jalan mereka.
Api biru merupakan gas belerang yang keluar dari celah bebatuan pada suhu sekitar 600 derajat celsius, lalu bertemu dengan udara. Sementara belerang diperoleh dari proses sublimasi gas belerang.
Uap belerang yang keluar dari dalam gunung ditangkap oleh pipa-pipa besi. Lama kelamaan, belerang cair akan terkumpul di dalam pipa. Dalam waktu dua hari dua malam, dalam satu pipa akan terkumpul sekitar 150 kilogram belerang. Saat ini ada sekitar 90-an pipa yang dapat menghasilkan belerang.
Para petambang menuang cairan belerang panas yang dihasilkan ke tanah. Dalam 2 menit, belerang akan mengeras. Suara linggis segera beradu dengan belerang keras, terkadang diselingi batuk karena asap. Setelah terpisah dari tanah, belerang dikumpulkan ke dalam keranjang.
Baca juga: Pendakian Ijen Dibuka Kembali, Wisatawan Antusias
Seorang petambang dapat membawa hingga 110 kilogram untuk sekali angkut dari dasar hingga ke bibir kawah. Untuk satu kilogram belerang yang diangkut hingga ke pos pengepul di Paltuding, mereka dibayar rata-rata Rp 1.250. Upah ini tidak menentu, tergantung harga belerang saat itu. Dalam satu hari, para petambang bisa tiga hingga empat kali bolak-balik dari dasar ke bibir kawah.
Jarak dari dasar ke bibir kawah hanya 850 meter, tetapi jalurnya berbatu-batu dan curam dengan kemiringan hingga 80 derajat. Para petambang berjalan perlahan-lahan, menapakkan kakinya di batu-batu, dan membawa belerang naik. Kegiatan ini dilakukan selama bertahun-tahun.
Gesekan kayu pikulan dengan bahu, membuat kulit bahu dan punggung mereka menebal. Derik-derik kayu pikulan selaras dengan langkah mereka. Ketika para petambang berpapasan dengan wisatawan, wisatawan akan menepi, memberikan jalan kepada para petambang dan berteriak, ”Miner…” sehingga wisatawan yang berada di belakangnya pun bersiap menepi untuk memberikan jalan.
Djuned, salah seorang petambang, mengatakan, yang membuatnya kuat membawa pikulan belerang seberat itu adalah keluarga. ”Keluargalah yang membuat kuat,” katanya. Dia juga menjadi penarik troli penumpang.
Pekerjaan menambang belerang sangat berbahaya. Kawah Ijen terkadang mengeluarkan gas berbahaya. Tidak hanya paparan gas belerang yang berada di atas ambang batas normal, mereka juga menghadapi risiko jatuh dan terkena panas belerang. Namun, adanya kasus petambang yang tewas karena kecelakaan kerja, tidak menyurutkan langkah mereka.
Dari bibir kawah, belerang dibawa turun lagi untuk disetorkan kepada pengepul di parkiran mobil, pintu masuk Ijen di Paltuding. Jarak dari kawah hingga ke parkiran sekitar 3 kilometer. Jarak itu ditempuh dalam waktu 2 jam berjalan kaki oleh wisatawan. Bagi petambang, tentu lebih cepat lagi.
Jalur dari bibir kawah ke parkiran jauh lebih mudah dibandingkan jalur dari dasar ke bibir kawah yang sangat curam. Hanya ada beberapa ruas yang curam. Jalur pun sudah tersedia dengan kondisi jalan tanah dan berpasir. Jalur itu selalu ramai, baik saat perjalanan naik maupun turun.
Baca juga: Wisata Ijen Kehilangan Potensi Pendapatan Miliaran Rupiah
Di Paltuding, ada pos pengepul belerang yang selalu sibuk dari siang hingga sore hari. Belerang yang telah ditimbang, dicatat, lalu langsung dibayar oleh petugas.
Bisa jadi, pembayaran tunai langsung ini yang menjadi salah satu daya tarik bagi para pekerja tambang. Belerang itu kemudian akan dikirim ke pabrik-pabrik, antara lain untuk digunakan sebagai pemutih gula pasir, kosmetik, dan obat-obatan.
Menarik penumpang
Sejak empat tahun lalu, belerang dari bibir kawah dibawa turun dengan troli. Sebelumnya, petambang harus memikul belerang itu di pundak hingga ke Paltuding.
”Ada seorang dermawan dari Bali, memberi troli kecil sekitar 100 buah,” ujar Amat, salah seorang penarik troli penumpang. Setelah itu, ada pula sumbangan dari PMI, tetapi masih harus ditebus dengan harga murah.
Seperti warga Ijen lainnya, dia pernah juga mencoba mengadu nasib di tambang. ”Saya hanya tahan satu hari, lalu tidak pernah lagi ke situ,” ujar Amat.
Saat ini, Amat lebih memilih menarik penumpang. Troli pada awalnya hanya digunakan untuk mengangkut belerang. Namun, beberapa wisatawan yang kelelahan, meminta tolong para petambang agar dapat naik troli.
Lambat laun, troli pengangkut belerang dimodifikasi menjadi pengangkut wisatawan. Di pintu masuk, puluhan penarik troli berjajar menawarkan jasanya.
Troli yang tadinya hanya untuk mengangkut belerang, diperbesar dengan memberinya jok dan sandaran. Ongkos naik troli ke puncak dan turun Ijen sebesar Rp 800.000. Untuk wisatawan asing dikenai Rp 1,2 juta.
Untuk penumpang dengan berat badan ”normal” diperlukan dua orang untuk menangani troli. Satu menarik di depan dengan tali dan sarung, satu orang lagi mendorong dari belakang.
Untuk wisatawan berbadan besar dibutuhkan 3-4 orang, tentu dengan bayaran berbeda. ”Kami seperti jualan di pasar, kadang ada yang naik, kadang tidak ada,” kata Amat lagi.
Sekitar pukul 08.00, para wisatawan sudah turun dari Ijen. Berakhirlah pekerjaan para tukang ojek troli untuk mengantarkan penumpang. Giliran warung makan di seputar parkiran yang mendapatkan rezeki. Para wisatawan yang kelaparan dapat menyantap sarapan dan menyeruput teh hangat di warung-warung yang ada.
Selain memberikan alam yang indah, Ijen juga menjadi tempat mengais rezeki bagi banyak orang, walaupun harus ditempuh dengan ”menantang” bahaya dan risiko kesehatan. Peka dan bersahabat dengan alam dapat menjadi jalan tengahnya.