Melancong ke Jantung Asia
Angin bercampur gerimis menyambut saat kaki menjejak kota di jantung Asia ini, akhir September lalu. Tebalnya mantel yang membungkus tubuh urung mengusir dingin yang menggigit, membuat gemetar.
Angin bercampur gerimis menyambut saat kaki menjejak kota di jantung Asia ini, akhir September lalu. Tebalnya mantel yang membungkus tubuh urung mengusir dingin yang menggigit, membuat gemetar. Musim dingin belum tiba, tetapi suhu yang terpantau dari aplikasi di ponsel saat itu menunjukkan 3 derajat celsius.
”Ayo cepat masuk mobil! Nanti masuk angin,” seloroh seorang Staf Sosial dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kazakhstan, Agung Saputra, saat melihat saya bersama rekan jurnalis dari Jakarta dan Malaysia menggigil di depan mobil yang menanti di depan lobi Bandar Udara Internasional Nur-Sultan Nazarbayev, salah satu pintu masuk ke Kazakhstan.
Ya, Kazakhstan. Negara yang belum umum menjadi destinasi pelancong. Namun, perhelatan tahunan para anggota parlemen se-Eurasia membawa saya ke sana. Menapaki kota futuristik yang semula bernama Astana. Kini, kota yang merupakan wujud dari keberhasilan pemindahan ibu kota dari Almaty ini telah berganti nama menjadi Nur-Sultan.
Kesempatan menjelajah kota yang mengalami percampuran antara budaya Mongol dan Slavia dimulai keesokan harinya. Berbekal pengalaman saat tiba, baju berlapis-lapis ditutup mantel pun menjadi pilihan pada hari itu sebagai penghalau dingin.
Jam menunjukkan pukul 10.00 waktu setempat, ada perbedaan satu jam lebih cepat dibandingkan waktu Jakarta. Mobil menjemput kami, rombongan wartawan dari beberapa negara, termasuk Kompas yang mendapat undangan dari Kedutaan Besar Kazakhstan di Indonesia.
Kantuk sisa penerbangan hampir 12 jam mendadak buyar. Silih berganti bangunan di sisi kanan dan kiri jalanan utama menyentak ingatan pada gambaran kota masa depan yang sempat muncul dalam film Tomorrowland yang dibintangi George Clooney. Perlahan aura Soviet yang dingin terkikis.
Gedung dengan desain arsitektur kontemporer berbahan baja dan kaca, hingga gedung pencakar langit yang ramping, bermunculan di tiap lahan luas berpadu dengan hijau rerumputan dan pepohonan. Meskipun sebagian bangunan yang terlihat tetap mempertahankan gaya arsitektur klasik khas Eropa abad pertengahan, suasana kota masa depan tetap terasa.
”Pembangunan masih berjalan, tetapi tidak besar-besaran. Hanya untuk melengkapi yang ada saat ini, seperti transportasi publik yang lebih canggih,” jelas Magzhan, anggota staf dari Kementerian Luar Negeri Kazakhstan yang bertindak sebagai pemandu kami pada hari itu.
Sebagai ibu kota yang telah berusia 22 tahun, Nur-Sultan jauh dari keriuhan dan persoalan kemacetan yang khas dialami ibu kota lain. Ruang terbuka hijau juga terhampar, sedangkan pemukiman warga didominasi hunian vertikal. Jika dibandingkan, Jakarta memiliki luas 661,5 kilometer persegi dengan populasi lebih dari 10 juta penduduk. Sementara Nur-Sultan mempunyai luas 810,2 km persegi, tetapi populasi yang ditampung hanya sekitar 1 juta penduduk.
Jika dicermati lebih lanjut, susunan sebagian bangunan di kota ini pun simetris dalam satu garis lurus. Hal ini disadari saat tiba di Nurzhol Boulevard. Taman yang dihiasi berbagai macam bunga warna-warni dan kolam air mancur bernyanyi ini menjadi lokasi berdirinya Baiterek Tower.
Lurus ke sisi kanannya, Istana Presiden atau Ak Orda berdiri kokoh disusul Palace of Peace and Reconciliation. Beberapa kilometer ke kiri, pusat perbelanjaan Khan Satyr terlihat. Di sisi lain, ada berbagai kantor pemerintahan dan pusat kesenian.
”Memang dibuat seperti itu. Konsep dan desain kota ini kalau dilihat dari atas berbentuk burung samruk. Burung yang menjadi lambang Kazakhstan,” ungkap Magzhan.
Tur singkat
Masjid Hazrat Sultan menjadi pemberhentian pertama. Bangunan yang didominasi warna putih ini berdiri megah di antara taman dan pepohonan hijau yang berada di sekelilingnya. Empat Menara yang terpancang kokoh di empat sisi mengitari kubah utama dan delapan kubah kecil di depannya mengingatkan menara pada Masjidil Haram di Mekkah.
Saat hendak masuk ke dalam masjid, gaya arsitektur Persia dengan mosaik toska dan putih terlihat pada detail langit-langit gerbang utama. Di bawahnya terdapat empat pintu bersepuh warna emas. Saat kunjungan itu, hanya satu pintu yang dibuka dan dapat diakses pengunjung ataupun jemaah yang akan beribadah.
Di dalam masjid terbesar kedua se-Asia Tengah ini gaya arsitektur Persia berpadu dengan ornamen khas lokal Kazakh berwarna kuning dan biru menghiasi dinding, langit-langit kubah, hingga karpet yang menghampar. Mengingat udara dingin di luar, hawa di dalam masjid terasa hangat dan sejuk sehingga sebagian memilih berlama-lama di dalam masjid sebelum Magzhan mengajak kami berpindah tempat.
Tujuan selanjutnya tidak jauh dari masjid, yakni Palace of Peace and Reconciliation.Gedung berbentuk piramida kaca yang sekilas mirip Musée du Louvre di Paris tersebut menyimpan pesan mendalam tentang perdamaian. Bangunan yang terletak berdekatan dengan Sungai Ishim yang membeku pada musim dingin ini menjadi lokasi kongres pemimpin dunia dan agama tradisional yang digelar tiap tiga tahun sekali.
Sayangnya, kami tak dapat masuk ke dalam gedung itu. Kami hanya diberi waktu sekitar 15 menit untuk berfoto di lokasi tersebut dan mengabadikan sejumlah situs yang juga berdekatan dengan gedung tersebut sembari mendengar penjelasan singkat.
Di dekat situ antara lain ada Monumen Kazakh Eli yang merupakan simbol kemerdekaan yang diperoleh Kazakhstan setelah memisahkan diri dari Soviet pada 1991. Kemudian dua bangunan kental kesan futuristik, yakni Palace of Independence dan Kazakhstan National University of Arts yang bernuansa biru.
Tak sampai 15 menit, kami sudah tidak sanggup menahan hawa dingin yang menusuk di tengah cuaca cerah. Kazakhstan memang dikenal dengan cuaca ekstrem. Dingin yang amat menggigit itu disebabkan oleh angin yang berembus dari Siberia. Saking ekstremnya, suhu saat musim dingin dapat mencapai -30 derajat celsius. Sementara suhu musim panas jarang mencapai 25 derajat celsius.
Untuk menghangatkan tubuh, Magzhan mengajak kami ke sebuah restoran, Saksaul, yang letaknya tidak jauh dari Nurzhol Boulevard. Restoran ini menawarkan makanan khas Kazakhstan, yaitu Besbarmak atau daging kuda yang dipotong tipis dan direbus, kemudian disiram dengan saus putih dan disantap bersama sebuah roti. Namun, orang yang mempunyai gangguan pencernaan disarankan tidak memakan santapan ini terlalu banyak.
Menu lain pun disediakan, seperti Beef Manty, yaitu pangsit basah berisi daging sapi dengan saus. Ada juga daging domba yang dipanggang atau dijadikan isian kebab.
Daging memang menjadi sajian utama di Kazakhstan sebagai penawar dingin. Selain itu Tashkent Tea, yakni seduhan teh hitam yang juga layak menjadi pilihan.
Sebelum menutup tur singkat pada hari itu, kami pun singgah dan masuk ke Baiterek Tower. Menara setinggi 105 meter tersebut melambangkan pohon kehidupan dengan telur burung samruk di tengahnya.
Untuk menuju puncak Baiterek demi menikmati pemandangan Nur-Sultan, kami harus naik lift dan melalui tangga kecil. Tidak hanya dapat memandangi kota Nur-Sultan secara keseluruhan, pengunjung juga ditantang mengucapkan keinginan dan harapan sambil meletakkan tangan di sebuah cetakan tangan Presiden Nur-Sultan Nazarbayev yang terbuat dari emas.
Berbicara harapan, rasanya ingin kembali lagi menyambangi si jantung Asia ini di lain waktu. Semoga saja.