Masuknya agama Kristen, membawa perubahan besar di Tais, Papua Niugini. Perubahan ini, dicatat Agustinus Wibowo saat menyusuri daerah itu dalam serial "Indonesia dari Seberang Batas."
Oleh
Agustinus Wibowo
·3 menit baca
Dalam kenangan Singai Suku (60), kepala desa Tais, perubahan iman di desanya dimulai pada tahun 1969. Saat itu, seorang misionaris Australia datang ke desa kecil di pedalaman Western Province, Papua Niugini ini.
Grahame Martin sang misionaris adalah seorang lelaki kurus veteran Perang Dunia II. Sejak tahun 1950-an dia sudah menjelajah ke pelosok pedalaman paling terpencil di PNG untuk menyebarkan agama. Semua penduduk desa Tais saat itu gemetaran ketika pertama kali bertatap muka dengannya. Penduduk mengira orang kulit putih ini adalah roh leluhur mereka, atau setidaknya, makhluk utusan leluhur. Kepercayaan itu membuat mereka sangat takut, sekaligus hormat dan patuh kepadanya.
Tapi orang putih itu ternyata sama sekali tidak peduli soal leluhur. Dia justru berkata, “Kalau kalian masih mengikuti cara hidup leluhur, kalian semua akan dimasak dalam neraka.”
Dia memerintahkan para penduduk untuk membuka cerita sakral mereka. Cerita peninggalan leluhur itu semula hanya boleh dituturkan dalam upacara suci, dan harus dijaga kerahasiaannya. Tapi pada hari itu, cerita itu harus diperdengarkan begitu saja bagi semua orang yang berkumpul di lapangan: laki-laki, perempuan, hingga anak-anak.
Keterbukaan membunuh kesakralan. Setelah mendengar cerita, Martin berkomentar, “Cerita ini buruk. Sangat-sangat buruk. Mulai sekarang, kalian lupakan cerita leluhur itu.”
Setelah itu, Martin meminta semua orang di desa mengeluarkan segala jimat dan peralatan sihir yang mereka simpan. Semua barang rahasia dan keramat itu harus dijemur di lapangan, untuk dipertontonkan bagi semua orang. Dalam kenangan Singai, pada saat itu juga hujan lebat turun, dan kilat terus menyambar-nyambar hingga keesokan paginya.
Singai beserta semua orang Tais lainnya takjub, langsung percaya bahwa misionaris kulit putih itu memang jauh lebih berkuasa daripada leluhur mereka sendiri. Mereka lalu menjadi Kristen.
PNG adalah salah satu negara dengan komposisi penganut Kristen tertinggi di dunia. Lebih dari 96 persen penduduknya Kristen, dan mayoritasnya adalah Protestan.
Kondisi ini membawa perubahan besar. Gereja melarang sejumlah tradisi suku, terutama ritual sihir, perang suku, dan pengayauan. Denominasi gereja yang melarang itu, salah satunya Evangelical Church of Papua New Guinea (ECPNG), yang dominan di pesisir selatan Western Province, termasuk di Tais.
Keiko Menggo adalah pendeta ECPNG yang sudah empat tahun di Tais. Dia berasal dari desa lain di pedalaman, dan berbicara bahasa yang berbeda dari penduduk Tais. Dia tinggal di rumah panggung sederhana di ujung desa, dibangun warga desa khusus untuk kediaman pendeta. Tidak jauh di samping rumahnya adalah bangunan gereja, bangunan terbesar di desa ini, yang terbuat dari kayu dan kulit pohon serta ditudungi atap seng.
Duduk bersila di rumahnya, saya bertanya mengapa proses perubahan agama di PNG bisa berlangsung begitu cepat. “Kami dulu tidak pakai baju, para misionaris kulit putih itu menunjukkan kepada kami apa itu baju. Mereka juga memberitahu kami, ini pisau, ini mesin. Mereka mengajarkan segala hal pada kami. Bagaimana mungkin kami tidak mematuhi perkataan mereka?”
“Jadi kedatangan orang kulit putih membawa kebaikan?” tanya saya.
Pendeta mengangguk yakin.
Lelaki paruh baya yang kurus dan tampak ringkih itu juga berperan sebagai polisi moral yang menghentikan segala aktivitas warga yang dianggap “tidak patut.” Itu termasuk menari, menyanyikan lagu selain kidung gereja, memakai pakaian adat, menenggak alkohol, dan mengunyah pinang.
“Tapi, tidak semua tarian adalah untuk memuja roh,\' ucap saya.
“Ketika mereka menari, mereka juga minum alkohol, lalu mabuk dan berkelahi. Selain itu, mereka menghias diri atau telanjang, sehingga laki-laki tertarik pada perempuan, dan sebaliknya, lalu mereka bercinta tidak karuan. Itu tidak baik. Kalau cinta ditolak, mereka juga menggunakan sihir hitam untuk membunuh satu sama lain,” jawabnya
“Jadi, semua tradisi itu tidak baik?” tanya saya lagi.