Royke Lumowa: Nepal-China Bagai Bumi dan Langit
perbedaan suasana di China dan Nepal semakin mencolok. Rumah-rumah penduduk dan gedung perkantoran umumnya sangat sederhana. Infrastruktur jalan pun rusak dimana-mana.
Mengayuh sepeda selama sebulan penuh di China sungguh luar biasa. Meski hanya mengarungi sebagian kecil wilayahnya, tetapi saya mendapatkan banyak pengalaman.
China memang sangat indah. Infrastruktur begitu bagus hingga di wilayah pegunungan dengan ketinggian di atas 5.000 meter di atas permukaan laut sehingga memungkinan orang dapat mengunjungi kawasan yang tersulit sekalipun.
Saya dan kru meninggalkan negeri itu pada hari Rabu (20/9/2023) siang melalui pintu perbatasan Gyirong (China)-Rasuwagadhi (Nepal). Hari Rabu itu, saya berangkat dari Tasidom, kota terakhir China dimana kami sempat bermalam.
Jarak dari Tasidom menuju Gyirong sejauh 280 kilometer. Dari pemerintah China, kami hanya mendapatkan visa selama sebulan, berlaku sejak 20 Agustus 2023. Artinya, paling lambat, Rabu (20/9/2023), kami harus sudah meninggalkan “negeri tirai bambu” ini.
Dengan jarak yang masih jauh dari Tasidom, saya memutuskan tidak gowes menuju Gyirong. Karena dalam jarak sejauh itu, kami masih harus melewati beberapa bukit dan sebuah gunung yang memiliki ketinggian sekitar 5.100 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Setelah itu, perjalanan menurun dengan cukup banyak kelokan hingga di Gyirong pada ketinggian 2.000an mdpl.
Baca juga: Royke Lumowa Kayuh Sepeda hingga Ketinggian 5.013 Meter
Saya memilih naik mobil pengiring agar tiba di perbatasan pada tengah hari. Benar saja, sekitar pukul 12.00 waktu setempat kami sudah tiba di Gyirong. Kami mendatangi pos perbatasan, tetapi masih tertutup sebab para petugas sedang makan siang.
Kami memanfaatkan kesempatan itu juga dengan makan siang. Aktivitas kembali normal mulai pukul 13.00. Kami pun melapor diri pada bagian imigrasi, lalu berlanjut ke bea dan cukai untuk urusan surat-surat mobil. Agen perjalanan Navo membantu proses ini sehingga lancar.
Masuk Nepal
Setelah semua urusan tuntas, kami melewati area pemeriksaan, kemudian meminta izin kepada petugas untuk menepi ke salah satu lokasi masih dalam wilayah border Gyirong. Di situ, kami melakukan ritual, yakni menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mendengarkan lagu kebangsaan China melalui youtube.
Selesai melakukan ritual, kami memasuki wilayah Nepal dengan terlebih dahulu melewati sebuah jembatan dengan panjang sekitar 100 meter. Saat berada di jembatan itu, mulai tampak perbedaan yang mencolok antara China dan Nepal.
Dari bangunan saja, sudah nyata. Pos perbatasan Gyirong berupa gedung yang besar dan megah. Jalan pun beraspal mulus hingga di pintu perbatasan negara. Sebaliknya pos perbatasan Rasuwagadhi (Nepal) memiliki bangunan yang sederhana dengan kondisi jalan yang rusak.
Memasuki wilayah Nepal, kami terlebih dahulu melewati pos polisi. Petugas polisi memeriksa segala dokumumen perjalanan. Prosesnya berjalan lancar. Apalagi sebelum itu, saya sempat berkomunikasi dengan pimpinan polisi setempat. Kebetulan atasannya di Nepal bersahabat dengan seorang teman saya di TNI AL.
Setelah itu, kami menuju ke bagian imigrasi untuk cap paspor. Lalu berlanjut ke bea dan cukai melaporkan dokumen perjalanan mobil pengiring. Di bagian bea dan cukai ini ada kejadian yang unik. Ternyata cap tertinggal di rumah salah satu petugas. Akhirnya petugas itu kembali ke rumahnya untuk mengambil cap. Rumah petugas tersebut tidak jauh dari pos perbatasan sehingga kami menunggu tidak terlalu lama.
Selesai urusan dokumen perjalanan mobil, kami menuju kantor imigrasi setempat untuk mengurus visa. Kebetulan Nepal memberlakukan visa on arrival (VOA). Artinya, visa dapat diurus di pos perbatasan atau lokasi kedatangan.
Proses pengurusan visa tidak lama. Petugas menanyakan berapa lama di Nepal? Kami mengatakan hanya dua minggu. Tidak lama kemudian, kami membayar biayanya, dan imigrasi pun menerbitkan visa yang berlaku selama dua minggu. Sekitar pukul 14.00, urusan kami di pos perbatasan Rasuwagadhi pun tuntas.
Baca juga: Royke ”Goes to Paris”, Sepeda sebagai Aksi Nyata Bermobilitas
Jalan rusak dan berdebu
Begitu keluar dari kawasan perbatasan, perbedaan suasana di China dan Nepal semakin mencolok. Rumah-rumah penduduk dan gedung perkantoran umumnya sangat sederhana. Infrastruktur jalan pun rusak dimana-mana.
Dari perbatasan Rasuwagadhi, kami menuju ke Kathmandu, ibukota Nepal. Jaraknya 130 kilometer, tetapi kerusakan jalan terjadi di banyak titik. Belum lagi badan jalan pun cukup sempit dan suhu udara yang cukup panas sehingga debu tanah beterbangan.
Saya memutuskan tidak mengayuh sepeda. Tetapi, kondisi jalan seperti ini membuat laju kecepatan mobil pun sangat terbatas. Di jalur ini, kami masih melewati tebing-tebing tinggi dan jurang yang dalam.
Sepanjang perjalanan terdapat begitu banyak pos pemeriksaan yang melibatkan polisi dan tentara setempat. Mirip seperti di China, khususnya di wilayah Tibet juga terdapat cukup banyak pos pemeriksaan.
Saya sempat menanyakan mengapa ada begitu banyak pos pemeriksaan. Alasan mereka, karena jalur tersebut dekat dengan batas negara. Bahkan, di beberapa pos tertentu, petugas menanyakan apakah ada penumpang perempuan di dalam mobil? Kalau ada pertanyaan seperti itu, maka diduga terdapat kasus-kasus penyelundupan manusia.
Selama perjalanan, kami kesulitan mendapatkan warung. Beruntung ada satu warung yang buka. Pengelolanya seorang pria berumur, yang memasak sendiri sekaligus melayani tamu.
Esok harinya, Kamis (21/9/2023) pukul 02.00 dinihari, setelah menempuh 10 jam perjalanan, kami tiba di Kota Kathmandu. Begitu tiba di Hotel Aryatara, petugasnya masih berjaga sehingga tetap melayani kami. Hotel ini cukup sederhana, tapi bersih. Harganya setara kurang lebih Rp 400.000 per malam.
Kota Kathmandu mirip wilayah Bogor yang berada di pegunungan. Berada pada ketinggian sekitar 2.000 mdpl, kota ini cukup besar, tetapi infrastrukturnya kurang begitu bagus.
Jalan dalam kota pun rusak dimana-mana. Kesadaran masyarakat untuk tertib berlalu lintas pun cukup rendah. Di banyak titik kota, terdapat tumpukan-tumpukan sampah.
Kawasan hotel kami berada, yakni Tamel, kabarnya paling disukai wisatawan asing. Ada cukup banyak hotel yang beroperasi di kawasan ini.
Hari Minggu (24/9/2023), saya menyempatkan diri mengikuti ibadah pada Gereja Katolik di Kathmandu. Kebetulan saat itu saya sedang istirahat gowes. Rasanya bahagia luar biasa, sebab selama perjalanan dari Jakarta, belum sempat beribadah di gereja.
Yang unik dari gereja ini adalah, tanpa ada bangku. Semua umat duduk bersila di lantai yang dilapisi karpet.
Masalah visa
Begitu berada di Kathmandu, kami mendapatkan kabar yang tidak menyenangkan. Visa elektronik yang kami dapatkan di Jakarta ternyata hanya berlaku untuk masuk ke India melalui udara. Tidak bisa melalui jalan darat.
Jadi, kebijakan pemerintah India memberikan e-visa merupakan sebuah kelonggaran yang bagus, tetapi ternyata ada pengecualian. Penggunaan e-visa bukan untuk memasuki wilayah negara tersebut melalui perbatasan darat. Alamak! Bagaimana dengan mobil? Ini tentu menjadi masalah serius untuk kami karena membawa mobil.
Saya mendatangi kantor Kedutaan India di Nepal. Saya menjelaskan bahwa kami sedang bersepeda dari Jakarta hingga Paris dengan menyertakan satu mobil pengiring. Saya mencoba bernegosiasi agar mendapatkan izin masuk melalui darat dengan e-visa yang ada.
Akan tetapi, hasilnya nihil. Kedutaan India tetap meminta kami masuk melalui jalur udara sesuai yang tertera dalam visa. Kami akhirnya mengikuti ketentuan tersebut.
Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana nasib mobil pengiring? Siapa yang bisa membantu membawa mobil ini menuju perbatasan Nepal-India?
Mula-mula, saya mengontak seorang purnawirawan polisi di Nepal yang merupakan sahabatnya teman saya di TNI AL. Yang bersangkutan mengatakan, ada larangan sopir orang bukan Nepal yang membawa mobil negara lain melintasi perbatasan India.
Informasi ini membuat kami kewalahan dan bingung. Akan tetapi, saya pun tidak mau kehilangan akal. Saya kemudian meminta bantuan pihak Hotel Aryatara, tempat kami menginap. Mereka mendapatkan sopir bernama Sumar, asli Nepal tinggal di Kathmandu. Sumar bersedia mengantar mobil.
Untuk menyakini bahwa Sumar bisa dipercaya, selama beberapa hari di Kathmandu, kami mengajaknya jalan bersama. Dari kebersamaan tersebut, kami menilai, dia jujur, dapat diandalkan dan layak dipercaya.
Urusan berikutnya adalah, menyiapkan dokumen yang perlu menjadi bekal Sumar saat melapor diri di pos perbatasan Bergunij (Nepal)-Raxaul (India)? Saya kemudian membuat surat kuasa kepada Sumar. Tetapi, setelah berkonsultasi dengan pihak konsulat Indonesia ternyata surat kuasa tersebut tidak kuat secara hukum. Surat itu hanya melibatkan orang per orang. Harus ada instansi yang melegitimasi surat kuasa tersebut.
Saya semakin bingung. Apalagi di Nepal belum ada kedutaan besar Indonesia. Yang ada hanya perpanjangan tangan dari KBRI di Dhaka, Bangladesh. Saya kemudian mengontak KBRI di India, yakni Patriot Adinarto. Saya menjelaskan persoalan yang terjadi.
Pak Patriot pun memahaminya. Kemudian dia menyarankan saya mengirimkan surat kuasa untuk Sumar ke KBRI India. Dia akan membantu mengesahkan surat tersebut. Surat itu menjadi modal bagi Sumar membawa mobil melewati border Nepal-India.
Setelah itu, kami mulai mencari penerbangan menuju India. Kota tujuan kami adalah yang letaknya tidak jauh dari perbatasan India di Raxaul. Akhirnya, kami mendapatkan kota Lucknow yang setiap hari ada penerbangan dari New Delhi, ibukota India.
Kesibukan menyelesaikan persoalan ini membuat saya tidak sempat mengayuh sepeda di Nepal. Sungguh mengecewakan, tetapi saya harus menerima kenyataan dengan lapang dada agar perjalanan ini tetap lancar, dan setiap persoalan yang datang mampu teratasi dengan baik.
Masuk India
Hari Rabu (27/9/2023), kami terbang dari Kathmandu menuju New Delhi. Setelah transit selama beberapa jam lalu terbang ke Lucknow. Kami tiba di kota ini pukul 22.00 sehingga memilih menginap. Besok harinya, kami menyewa mobil menuju perbatasan Raxaul.
Ternyata jarak Lucknow hingga Raxaul sejauh 500 kilometer. Kami memilih melewati jalan tol. Tetapi rupanya jalan tol di India sama seperti jalan arteri di Indonesia. Semua jenis kendaraan, termasuk becak pun bisa melintas. Malah penuh berdebu pula.
Dalam perjalanan menuju Raxaul, saya mendapatkan laporan dari Sumar bahwa dirinya tidak mengalami hambatan saat melintasi pos perbatasan. Sekitar pukul 14.00, Suman sudah di pos perbatasan India. Urusan dengan bea dan cukai, tidak mengalami kendala. Saat melintas, Sumar menggunakan kartu khusus untuk orang Nepal yang ingin masuk India.
Kami baru tiba di Raxaul pukul 16.30. Jarak pos batas Bergunij (Nepal) dan Raxaul (India) hanya puluhan meter saja. Kami kemudian ke bagian imigrasi Raxaul untuk menyampaikan bahwa saya selaku pemilik mobil sudah masuk India pada sehari sebelumnya. Saya datang di pos perbatasan itu untuk menjemput mobil.
Petugas Imigrasi kemudian mengantarkan saya ke bagian Bea dan Cukai untuk mengurus dokumen perjalanan. Petugas Bea dan Cukai memeriksa dokumen cukup detail dan rinci, bahkan kami perlu menandatangani sejumlah dokumen lagi. Prosesnya cukup lancar, dan baru selesai pada pukul 20.00.
Raxaul kota kecil meski cukup padat penduduk. Infrastruktur jalan pun banyak yang rusak dan berdebu. Malam itu kami menikmati makanan di kaki lima yang jumlahnya cukup banyak.
Kami kemudian mencari penginapan di kota itu melalui google. Ternyata hanya ada tiga hotel. Setelah kami datangi, tiga hotel itu tidak memiliki tempat parkir mobil.
Kami lalu pindah ke Bettiah, kota terdekat, untuk mendapatkan penginapan dan tempat parkir mobil. Malam itu, kami menginap di kota tersebut.
Hari Kamis (28/9/2023), saya kembali bersepeda. Dimulai dari penginapan di Bettiah menuju ke Lucknow. Saya memulai gowes sekitar jam 09.00. Selama hari itu terus bersepeda, sempat berhenti sejenak untuk istirahat, kemudian melanjutkan kembali hingga hari Jumat (29/92/2023).
Sepeda masuk tol
Pagi harinya, sekitar pukul 05.00 dan siang pukul 13.00, saya sempat merasakan kantuk luar biasa. Sekitar pukul 14.00, saya memutuskan mengakhiri gowes dengan total jarak 345,67 kilometer. Selanjutnya, saya menuju Lucknow dengan menaiki mobil.
Hari Sabtu (30/9/2023) pukul 8 pagi, saya lanjut bersepeda menuju New Delhi dengan total jarak 261,15 km.
Sebagian besar rute yang saya lewati adalah jalan tol, express way. Yang menarik adalah, sepeda dan motor pun boleh menggunakan jalan tol ini. Lebih menarik lagi, sepeda gratis, tidak dipungut bayaran.
Malam itu menjelang pukul 23.58, garmin menunjukkan jarak yang sudah saya tempuh dalam mengayuh sepeda selama bulan September 2023 sejauh 1.928 kilometer. Angka ini sangat keramat. Tahun berlangsungnya Sumpah Pemuda. Itu sebabnya pencapaian gowes selama September 2023 ini saya dedikasikan untuk memperingati hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2023.
Semula ingin menginap malam itu di Kota Agra yang tidak jauh dari tempat finis. Tujuannya besok harinya mengunjungi Taj Mahal. Setelah mencari sejumlah penginapan, ternyata semuanya terisi tamu. Saat itu menjelang libur nasional sehingga banyak wisatawan menyerbu Agra.
Pilihan terbaik dalam melanjutkan perjalanan adalah, naik mobil menuju ke New Delhi. Perjalanan lumayan jauh sehingga kami tiba pada 1 Oktober 2023 pukul 06.00. Setelah beristirahat sehari penuh, keesokan harinya saya mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Dehli bertemu dengan Duta Besar Ina Hagniningtyas Krisnamurthi.
Ibu Duta Besar dan stafnya menerima kami dengan penuh kekeluargaan. Kami menceritakan perjalanan bersepeda yang telah hampir tiga bulan. Kami juga mendalami berbagai informasi tentang Pakistan yang akan menjadi negara tujuan berikutnya.
Apalagi, kami juga ada sedikit informasi yang keliru tentang cara masuk ke Pakistan. Saat masih di Jakarta, kami mendapat kabar bahwa Pakistan telah memberlakukan visa on arrival (VOA). Ternyata salah. Pakistan menerapkan e-visa. Kami berharap e-visa tersebut dapat berfungsi saat melalui jalur darat, dan bukan hanya udara.
Kami sudah menjalin komunikasi dengan pihak KBRI di Pakistan. Mereka juga telah menyampaikan permintaan kami kepada Kedubes Pakistan di Jakarta. Sejauh ini urusan itu berjalan lancar.
Jumat sore, kami mendapatkan kabar bahwa visa elektronik Pakistan sudah keluar. Visa ini dapat digunakan untuk masuk negeri itu melalui segala penjuru. Artinya kami bisa memasuki Pakistan melalui darat dari India. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa akhirnya visa ini sesuai harapan kami.
Sabtu (7/10/2023) dinihari tadi, saya telah bersepeda dari Ludhiana menuju Amristar sejauh 181 kilometer. Nanti malam, kami akan menginap semalam di kota tersebut. Lalu pada Minggu pagi melanjutkan gowes sejauh 30 kilometer menuju perbatasan Attari (India)-Wagah (Pakistan).
Mohon doanya sehingga perjalanan kami tetap lancar.