Ritme Hidup Melambat di Isahaya
Ketenangan kota Isahaya mungkin mengagetkan bagi pelaku ”hustle life”. Tapi tenang, tak butuh waktu lama untuk terbiasa.
Kota Isahaya indah dengan pegunungan di sisi utara, laut di sisi timur, serta teluk di sisi barat dan selatan. Udaranya bersih. Warganya menyenangkan. Walau demikian, bersantai di rumah sambil menggulung diri di kotatsu saya nobatkan sebagai atraksi paling ciamik se-Isahaya.
Isahaya ada di tengah Prefektur Nagasaki, Jepang, dan bisa ditempuh dengan berkendara sekitar 30 menit dari kota Nagasaki. Isahaya tak bisa disebut kota besar dengan jumlah penduduk sekitar 130.000 jiwa. Namun, suasana kotanya jauh dari hiruk-pikuk khas kota besar.
Baca juga: Senja Merona di Barcelona
Ritme kehidupan seakan berjalan lambat di sana. Mobil yang mengebut nyaris tak ada, apalagi bunyi klakson yang menuntut orang untuk segera tancap gas. Orang-orang di sana seperti tak terburu-buru, tetapi tepat waktu menunaikan tugas.
Mudah sekali melihat langit biru karena jarang ada bangunan tinggi. Ada, sih, bangunan tinggi seperti gedung parkir dan hotel, tetapi kota ini masih jauh dari sebutan hutan beton. Kebanyakan bangunan dibuat dalam skala wajar. Lega rasanya melihat kota yang lapang tanpa intimidasi bangunan tinggi. Ibaratnya seperti bisa bernapas.
Berkendara dengan mobil di Isahaya pun cukup menyenangkan. Kita akan sampai di dataran tinggi jika berkendara 15-20 menit dari pusat kota menuju area pinggir kota. Pemandangan Laut Ariake akan tersaji dari kaca mobil yang melaju di lahan berkontur.
Jika tak ingin naik mobil, silakan berjalan kaki di Isahaya. Selalu tersedia jalur pejalan kaki di sana, sama seperti daerah-daerah lain di Negeri Matahari Terbit. Tak banyak orang yang melintas di Distrik Yamakawa, Isahaya, pada Sabtu (27/1/2024) pagi. Menurut warga lokal, suasana Isahaya memang lebih hidup di hari kerja dibandingkan akhir pekan.
Baca juga: Suatu Hari di Berlin
Namun, Isahaya yang tenang memiliki daya tarik tersendiri. Tak ada polusi suara dan udara dari kendaraan. Langitnya biru cerah dan sinar mataharinya menghangatkan tubuh di tengah musim dingin. Ini kesempatan bagus untuk menghirup udara segar dalam-dalam sambil melambatkan ritme hidup.
Kaki Anda tanpa sadar akan melangkah jauh. Entah perasaan saya saja atau bukan, rasanya banyak tempat yang bisa dicapai dengan jalan kaki. SMP, SD, dan TK berjarak hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari kawasan permukiman. Sepanjang jalan pun terdapat klinik gigi, toko daging, salon rambut, hingga taman.
”Homestay”
Acara jalan-jalan pagi itu dipandu Aika (14), siswi SMP di Isahaya sekaligus kapten tim basket putri di sekolahnya. Kami pulang setelah Aika ditelepon ibunya untuk segera kembali. Jika tidak, jadwal untuk jalan-jalan ke Taman Omura, makan ramen, dan mengantar Aika ke kegiatan klub basket bisa molor.
Orangtua Aika, Toshiki Higashiuchi (45) dan Yukari Higashiuchi (43), membuka rumahnya untuk saya selama tiga hari dua malam. Selain saya, ada dua teman lain yang ditampung pasangan guru tersebut, yakni wartawan CNN TV Indonesia dan TVRI Bali.
Kami bertiga adalah peserta program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth (Jenesys) 2024. Jenesys tahun ini berlangsung pada 23-30 Januari 2024. Salah satu kegiatannya adalah homestay di rumah warga lokal. Keluarga Higashiuchi sudah berkali-kali menerima peserta program pertukaran, antara lain dari Finlandia dan Amerika Serikat.
Kami bertiga ditempatkan di kamar tradisional yang ada di lantai dasar rumah itu. Ada shoji atau pintu geser yang terbuat dari kayu dan kertas. Ada pula tatami, tikar tradisional Jepang, yang rawan rusak jika kena air atau gesekan berlebih. Itu sebabnya, kami disarankan mengenakan kaus kaki.
Di atas tatami telah berjejer tiga futon, kasur yang digelar di lantai. Futon punya alas yang tebal sehingga punggung tak akan sakit serta ada selimut tebal yang mencegah tubuh menggigil saat tidur. Semuanya dipersiapkan dengan sangat baik oleh keluarga Higashiuchi.
Keluarga baru
Saya mengira homestay bakal jadi medium untuk melihat secara dekat kehidupan rumah tangga Jepang. Rupanya saya salah. Kami malah dirangkul menjadi bagian dari keluarga ini. Pasangan Higashiuchi bahkan setuju dipanggil otōsan (bapak) dan okāsan (ibu) walau kami bertiga lebih cocok jadi adik mereka.
Di malam terakhir, keluarga Higashiuchi mengajak kami membuat takoyaki, makanan berbentuk bola yang terbuat dari tepung, potongan gurita, dan sayuran (jika ingin). ”Saya akan mencontohkan cara membuatnya. Nanti kalian yang mencobanya, ya,” kata otōsan melalui aplikasi penerjemah bahasa.
Membuat takoyaki adalah aktivitas keluarga. Kami biasanya membuat takoyaki bersama sekitar sebulan sekali.
Ia memberi sedikit minyak di cetakan bulat yang telah dipanaskan, lalu menuang adonan takoyaki. Adonan diputar dengan tusuk sate saat mulai matang dan mengering, lalu ditambahkan lagi dengan adonan basah. Proses memutar takoyaki dilakukan terus-menerus hingga adonan berbentuk bola dan matang
”Membuat takoyaki adalah aktivitas keluarga. Kami biasanya membuat takoyaki bersama sekitar sebulan sekali,” tuturotōsan yang lantas membubuhkan mayones, saus takoyaki, peterseli, dan katsuobushi di atas takoyaki matang.
Okāsan melengkapi menu makan malam dengan onigiri (nasi kepal), tonkatsu (babi goreng tepung), dan tumis daging babi dan jahe. Malam itu adalah pesta!
Pujian berkali-kali dilontarkan untuk okāsan atas masakannya yang lezat. Rupanya ia memang hobi memasak, bahkan ikut kursus memasak beberapa kali. Ia juga guru paruh waktu yang mengajarkan siswa untuk memasak di mata pelajaran home economics.
Malam itu adalah pesta!
Pelajaran itu semula terdengar seperti muatan lokal pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK). Home economics antara lain mengajarkan tentang nutrisi, menu bergizi seimbang, pencatatan pengeluaran dan pemasukan rumah tangga, tahap kehamilan pada perempuan, hingga menu makanan pendamping ASI (MPASI). Sederhananya, pelajaran ini menyiapkan siswa untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat dan mandiri di masa depan.
Makan malam selesai. Semua orang lantas bergeser dari meja makan ke kotatsu, meja penghangat berkaki pendek yang dilapisi kain tebal. Kami melipat kaki, memasukannya ke dalam kotatsu, dan kehangatan menjalar ke tubuh kami yang tengah ngobrol ngalor-ngidul.
Isahaya dingin sekali saat malam. Namun, kehangatan kotatsu membuat kami betah terjaga hingga larut. Dengan baterai sosial yang nyaris habis, saya bertanya-tanya apa ada kotatsu di Jakarta?