Tantangan Bersepeda sambil Menghadapi Suhu Udara di Bawah Nol
Saya tidak hendak melawan alam, tetapi mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan seraya berharap mampu mengayuh sepeda.
Berada di Eropa timur pada musim dingin sungguh sangat menantang. Tantangan terberat adalah menghadapi suhu udara yang teramat dingin hingga di bawah nol derajat celsius. Kondisi inilah yang saya alami dalam perjalanan bersepeda di Polandia dan negara lain di Eropa Timur.
Pemandangan yang dominan adalah salju tebal. Nyaris tak ada tempat di luar rumah dan gedung yang terbebas dari salju. Ketebalannya pun minimal 1 meter.
Pada Jumat, 5 Januari 2024, saya melanjutkan perjalanan dari Warsawa menuju Ostroteka, masih di wilayah Polandia. Suhu udara pagi harinya masih sangat dingin, yakni sekitar minus 6 derajat celsius. Salju semakin banyak.
Akan tetapi, saya memutuskan tetap bersepeda. Saya tidak hendak melawan alam, tetapi mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan seraya berharap mampu mengayuh sepeda hingga jarak yang jauh.
Saya pun mulai mengenakan sejumlah perlengkapan menghadapi wilayah salju yang baru terbeli sehari sebelumnya di Warsawa. Perlengkapan itu antara lain jaket tebal, helm, dan kacamata yang biasa terpakai saat bermain salju.
Sulit istirahat
Tepat pukul 08.19, saya memulai gowes. Sepanjang perjalanan, di kiri dan kanan satu-satunya pemandangan yang menonjol adalah salju tebal. Bahkan, mobil dan kendaraan lain yang terparkir di tempat terbuka hanya dalam beberapa menit sudah terselimuti salju.
Bahkan, air yang mengalir dalam parit juga mulai mengecil, sebab beberapa bagian mulai membeku. Di jalan, kendaraan pembersih salju meningkatkan aktivitasnya.
Kendati demikian, hujan salju terus turun sehingga pembersihan hanya berlangsung sesaat. Tidak lama berselang, badan jalan kembali tertutup salju.
Memang bukan pertama kali saya melihat salju. Sebelum melakukan perjalanan jauh ini, saya sudah beberapa kali mengunjungi Eropa. Akan tetapi, kali ini saya menyaksikan dari dekat, dari waktu ke waktu.
Maraknya salju juga membuat banyak restoran di sepanjang jalan tidak beroperasi. Apalagi, jalur perjalanan ini umumnya melewati wilayah perdesaan sehingga tak banyak pula rumah makan.
Kondisi tersebut membuat jadwal makan siang pun terganggu. Biasanya saya makan siang di kilometer 50, tetapi terpaksa bergeser ke jarak yang lebih jauh lagi. Kami baru menemukan restoran di wilayah Puttusk, sekitar kilometer 65 dari tempat start di Warsawa.
Selepas makan siang, saya melanjutkan lagi gowes di tengah guyuran salju. Memang cukup berat tantangannya, tetapi saya terus mencoba menyesuaikan dengan keadaan alam.
Tidak banyak tanjakan ataupun turunan. Kontur jalan umumnya landai. Perlahan tapi pasti, saya terus melaju hingga di kilometer 100,47, persisnya di kota Dyszobaba. Elevation gain atau total ketinggian rute selama perjalanan mencapai 428 meter.
Di kota ini, saya memutuskan mengakhiri gowes pada hari itu. Selanjutnya, saya loading menuju kota Ostroteka sejauh 36 kilometer. Malam tersebut, saya menginap di kota ini. Kondisi kota pun sama, yakni berselimut salju.
Cycling to Save the Earth Royke Lumowa
Alat pemanas
Menariknya lagi, dalam perjalanan ini saya melihat begitu banyak nama tempat atau desa yang berakhir dengan ”nowo” dan ”wa”. Misalnya, Legionowo, Baranowo, Perzanowo, Sawerynowo, Warsawa, Limanowa, Laskowa, dan Wieniawa.
Sore itu, saat memasuki penginapan langsung tampak alat pemanas ruangan. Alat ini memang sangat vital selama musim dingin. Sejak di Tibet, China, berlanjut ke Iran, Turki, dan wilayah Eropa lainnya, saya sudah melihat alat pemanas ruangan menjadi bagian terpenting yang tersedia di setiap kamar tamu.
Alat ini berupa lempengan berwarna putih yang tertempel pada dinding kamar. Ada pula di hotel tertentu, alat pemanas menyatu dengan bodi penyejuk udara (air conditioner).
Keesokan harinya, yakni Sabtu, 6 Januari 2024, saya bersepeda lagi dari Ostroteka menuju Poryte. Tantangan terasa semakin berat sebab pagi itu suhu udara bertambah dingin, mencapai minus 10 derajat celsius.
Saya memulai gowes pada pukul 08.35. Selama perjalanan tidak tampak lagi lahan atau benda di luar ruangan yang terbebas dari salju. Penyebarannya merata. Bahkan, yang di ruang terbuka, seperti halaman rumah, ketebalan salju lebih kurang 1 meter.
Semua bahu jalan pun tertutup salju. Aktivitas mobil pembersih salju semakin tinggi. Tetapi, mengingat suhu di bawah nol derajat celsius, volume salju terus meningkat. Hal ini membuat jalur jalan menyempit dan ruang lalu lalang kendaraan mengecil.
Ironisnya, air minum dalam botol yang tersimpan pada rangka sepeda juga membeku sangat keras. Maka, saya menitipkan botol air ke mobil seraya berharap air dapat mencair.
Sementara saya harus terus bergerak dengan mengayuh sepeda agar tubuh tetap hangat. Apalagi, saat itu saya juga menghindari untuk membuka penutup mulut dan hidung.
Jika haus, saya harus bergerak cepat membuka penutup mulut untuk meminum air. Dalam waktu singkat, urusan tuntas agar saya kembali bisa menutup mulut supaya dingin yang menyerang tubuh dalam sekejap hilang.
Kru dalam mobil juga berjuang menghadapi salju yang membungkus bodi mobil. Mereka sibuk membersihkan salju yang mulai mengeras pada kaca depan mobil.
Maklum saja, ini mobil khusus daerah tropis sehingga tidak memiliki alat pemanas. Sebelumnya, kami sempat membeli alat pemanas portabel, tetapi tidak mampu mengusir dingin sebab kapasitasnya terbatas. Sementara jika membeli alat pemanas berkapasitas besar, daya dukung listrik pada mobil terbatas.
Satu-satunya yang ada adalah cairan pembersih kaca. Setiap saat kru menyemprotkan cairan itu pada kaca bagian dalam seraya mengelapnya. Itu dilakukan terus-menerus sehingga dapat menolong perjalanan mobil menjadi lebih lancar.
Memasuki kilometer 52,17 persisnya di kota Poryte, saya merasa sudah kelelahan menghadapi salju dan suhu yang begitu dingin. Saya memutuskan loading menuju ke kota Augustow sejauh 100 kilometer. Total ketinggian rute yang saya tempuh hanya 222 meter. Artinya, sangat landai.
Danau membeku
Pada 7 Januari 2024, saya memilih beristirahat di kota Augustow. Saya sengaja tidak bersepeda karena bertepatan dengan perayaan Natal umat Kristen Ortodoks. Warga di Eropa Timur mayoritas penganut agama tersebut. Suasananya semarak, jauh lebih meriah dibandingkan perayaan Natal pada 25 Desember.
Minggu pagi itu, saya juga menyempatkan diri sembahyang di salah satu gereja Katolik yang letaknya tidak jauh dari penginapan. Saya berjalan kaki menuju gereja dan melewati banyak area yang tertutup salju.
Sehabis dari gereja, saya mengajak kru berjalan-jalan mengelilingi kota Augustow. Kota ini sudah tertutup salju. Setiap ruang terbuka berselimut salju sangat tebal.
Bahkan, Danau Netta yang berada di kota ini pun membeku dan mengeras sekaligus menyisakan hamparan salju tebal. Netta merupakan danau kecil yang terhubung dengan Danau Necko dan Danau Sajno. Saya sempat mencoba melompat di atas salju di danau itu, ternyata tidak jebol. Salju tersebut telah membeku dan mengeras.
Saya sempat membayangkan bagaimana kalau saat melompat di hamparan salju itu ternyata masih ada bagian yang berongga. Pasti saya masuk ke dalam danau yang dingin. Wah, bakal merepotkan banyak orang.
Masyarakat setempat lebih memilih bertahan di rumah untuk menghangatkan tubuh. Di setiap rumah selalu tersedia tungku atau perapian. Selain merayakan Natal, mereka juga menghindari salju yang menebal. Itu sebabnya, jalan raya begitu lengang. Nyaris tidak ada kendaraan yang lalu lalang.
Siang itu kami menggunakan mobil menuju kota Kaunas, sejauh 160 kilometer. Kota ini sudah masuk wilayah negara Lithuania. Perjalanan kami saat itu sempat melewati perbatasan Polandia dan Lithuania.
Pada Senin, 8 Januari 2024, saya kembali bersepeda. Kali ini dari kota Kaunas menuju Stankunai. Kondisi cuaca yang saya hadapi semakin berat. Suhu udara bertambah dingin, yakni mencapai minus 24 derajat celsius. Bahkan, pada Google Map terpantau minus 26 derajat celsius.
Saya sadar betul tantangan hari itu sangat berat. Suhu minus 24-26 derajat celsius bukan biasa-biasa saja, melainkan luar biasa. Rute ini menjadi yang terberat sejak pertama kali bersepeda dari Jakarta. Suhu udara yang saya hadapi tidak separah ini.
Saya memulai perjalanan pada pukul 10.00 dengan suhu udara minus 18 derajat celsius. Seperti biasa, salju menumpuk di mana-mana. Saya berusaha menguatkan diri untuk terus mengayuh di tengah hujan salju.
Jalur yang saya lewati ini juga umumnya wilayah perdesaan. Di wilayah itu nyaris tidak tersedia restoran dan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum. Persoalan ini menambah berat tantangan, sebab saya kesulitan mendapatkan tempat untuk beristirahat sejenak sekaligus menghangatkan tubuh.
Rumah penduduk pun jarang kelihatan. Lebih dominan adalah hamparan ladang yang telah tertutup salju tebal.
Suhu ekstrem
Pada saat yang sama suhu udara bertambah dingin. Data yang muncul pada Strava, suhu terus bergerak dari minus 18 derajat celsius menjadi minus 20 derajat celsius, lalu menjadi minus 24 derajat celsius.
Saya berusaha terus mengayuh agar tubuh mampu menghadapi dingin. Namun, di sisi lain, suhu dingin ini pun mulai menyerang ujung jari tangan dan kaki sehingga mulai terasa kebas. Kondisi ini mengganggu konsentrasi.
Sebenarnya untuk mengurangi kebas pada tangan dan kaki, saya dapat menambah genjotan sehingga aliran darah mampu menjangkau ujung tubuh, termasuk jari tangan dan kaki.
Akan tetapi, halitu tidak mungkin saya lakukan sebab hidung dan mulut tertutup rapat. Jika tangan dan kaki terlalu lama kebas, hal itu dapat menyebabkan frostbiteyang dapat mengganggu aliran darah, sebab tanpa asupan oksigen.
Akhirnya saya memutuskan berhenti gowes. Hari itu saya hanya mampu menempuh jarak 25,8 kilometer. Persisnya di kota Stankunai. Suhu udara di lokasi ini minus 26 derajat celsius.
Setelah itu langsung loading menuju kota Kurpalaukis sejauh 150 kilometer. Selama perjalanan, kami terus berjuang membersihkan kaca mobil yang tertutup tempelan es. Setiap dua menit kami harus menyemprotkan cairan anti-es dari dalam. Jika terlambat, maka akan sulit membersihkan es yang menempel.
Di sana, kami bercerita dengan warga setempat, terutama pengelola penginapan. Dari mereka, kami mengetahui ternyata cuaca pada 8 Januari tergolong ekstrem. Cuaca yang sama menimpa negara tetangga seperti di Latvia dan Estonia.
Tahun-tahun sebelumnya, suhu udara hanya berkisar minus 5 derajat celsius hingga minus 10 derajat celsius. Baru tahun ini mencapai minus 26 derajat celsius. Mungkinkah kenyataan ini adalah bagian dari dampak perubahan iklim?