Saat Saya Menyaksikan Laut Membeku di Latvia
Memasuki Kilometer 82, saya dikagetkan dengan pemandangan alam di sebelah kiri jalan yang begitu menakjubkan.
Tiada waktu tanpa salju. Jangankan tanah, pohon, dan bangunan, danau dan laut pun membeku akibat musim dingin. Itulah fakta yang saya alami dalam perjalanan bersepeda di wilayah Eropa selama musim dingin ini. Kondisi tersebut memaksa saya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan alam, tetapi juga menjadi pengalaman yang luar biasa.
Saat bersepeda dari Kurpalaukis (Lituania) menuju Riga (Latvia) pada 9 Januari 2024, saya menghadapi suhu minus 8 derajat celsius. Warga setempat menilai suhu seperti ini tergolong normal, sebab sehari sebelumnya suhu udara mencapai minus 26 derajat celsius. Namun, bagi saya yang berasal dari wilayah tropis, suhu di bawah nol derajat celsius termasuk sangat dingin. Apalagi, di mana-mana salju masih menutupi semua area dan barang yang berada di ruang terbuka.
Saya memulai perjalanan pada pukul 09.45. Bersepeda pada hari itu, saya melengkapi diri dengan outfit of the day (OOTD): semuanya serba tebal. Helm khusus musim dingin, penutup kepala, bandana (kupluk) wajah, hidung,dan mulut, serta kacamata antisalju.
Pakaian pun beberapa lapis. Paling dalam adalah baselayer, lalu jersei musim dingin, jaket sepeda musim dingin dengan lapisan jaket windbreaker lengan panjang, celana padding musim dingin. Sepatu pun khusus musim dingin, juga kaus kaki serta sarung tangan tebal.
Baca juga: Tantangan Bersepeda sambil Menghadapi Suhu Udara di Bawah Nol
Berburu alat pemanas
Setelah mengayuh sepeda selama beberapa kilometer, suhu udara mulai membaik, saya memutuskan mengurangi lapisan pakaian dan mengganti dengan jaket yang agak tipis. Tujuannya agar kayuhan lebih nyaman.
Tak lama kemudian, saya sudah berada di perbatasan Lituania dan Latvia. Masih seperti border-border sebelumnya di wilayah Uni Eropa, hanya ada pos perbatasan, tetapi tanpa petugas imigrasi serta bea dan cukai.
Memasuki wilayah Latvia, kami pun melakukan ritual perbatasan di salah satu lokasi. Mendengarkan lagu kebangsaan Lituania dan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. Di situ, salju tebal menutupi semua tempat.
Di Latvia, tidak ada jalur khusus sepeda. Akan tetapi, saya dapat mengayuh sepeda dengan nyaman dengan memanfaatkan jalur kanan yang mirip bahu jalan. Jalan arteri yang saya lalui sepi dari lalu lalang kendaraan.
Sekitar pukul 12.21, saya gowes sudah mencapai 42 kilometer, tepatnya di kota Lecava. Di jalur yang saya lewati itu, ada restoran bernama Krogs Sembreno. Saya pun memutuskan untuk makan siang. Pilihan ini terpaksa dilakukan sebab restoran baru ada lagi di Kilometer 80.
Sebetulnya pada suhu dingin seperti ini, menyinggahi restoran memiliki tiga manfaat: mengatasi lapar, istirahat, dan menghangatkan tubuh. Mengapa? Karena di setiap restoran, toko, ataupun stasiun pengisian bahan bakar umum selalu menyediakan alat pemanas. Kalau istirahat di bawah pohon seperti kebiasaan kita di Indonesia, maka bakalan membeku.
Alat pemanas sudah menjadi kebutuhan pokok di Eropa. Jangankan saya yang orang khatulistiwa, masyarakat Eropa pun selalu berebutan mencari alat pemanas saat masuk ke restoran dan ruangan tertutup lainnya.
Menghadapi suhu dingin seperti ini, saya harus terus bergerak mengayuh sepeda. Jika istirahat tiga menit saja, badan terasa dingin. Tak lama kemudian terserang suhu dingin yang menyengat. Maka, berburu alat pemanas adalah pilihan pertama bagi setiap orang yang masuk restoran atau toko dan lainnya.
Restoran yang kami singgahi siang itu tidak besar. Lebih tepatnya warung kecil sebab hanya tersedia 10-15 kursi. Akan tetapi, tempatnya bersih dan menyenangkan. Makanannya lezat. Sup yang panas terasa enak banget di saat suhu dingin. Menikmati sup bersama roti terasa sangat maknyus. Pelayan pun ramah dan menarik.
Mungkin telah termanjakan dengan suasana kehangatan selama di dalam restoran, maka saat mau melanjutkan bersepeda rasanya berat sekali. Saya membutuhkan waktu beberapa menit untuk menguatkan tekad mengayuh kembali.
Saya mampu melawan kenyamanan tersebut. Perlahan-lahan terus melaju. Setelah bersepeda sejauh beberapa kilometer, barulah mendapatkan lagi kehangatan tubuh seperti sebelum makan. Semangat kembali membara.
Perjalanan tetap lancar. Suasana di tepi kiri dan kanan jalan masih sama seperti jalur-jalur sebelumnya, yakni berselimut salju. Kontur jalan cenderung datar, di mana total ketinggian hanya 217 meter.
Sekitar pukul 16.00, saya pun tiba di kota Riga, salah satu kota besar di Latvia. Kota ini terletak di tepi pantai, persisnya di Teluk Riga. Kami menginap di Hotel Rija VEF. Hotel ini cukup mewah, tetapi harganya ekonomis, yakni 34 euro, setara Rp 550.000 per malam. Harga ini termasuk termurah di Eropa kalau dibandingkan dengan kualitas hotelnya.
Komitmen lingkungan
Keesokan harinya, saya melanjutkan bersepeda dari Riga menuju Metzapoole. Kota ini sudah masuk wilayah Estonia. Hari itu suhu membaik, yakni minus satu derajat celsius. Bagi masyarakat Eropa, suhu seperti ini tergolong hangat selama musim dingin.
Saya memulai bersepeda pada pukul 10.22. Cuacanya sangat cerah. Pakaian musim dingin saya kurangi beberapa potong. Helm menggunakan yang khusus sepeda. Begitu pula dengan kacamata. Untuk jaket pun saya memilih yang tipis.
Kendati demikian, salju masih menyelimuti semua tempat. Sungai dan parit tertutup salju. Airnya pun membeku dan mengeras.
Hari itu, 10 Januari, juga merupakan Hari Lingkungan Hidup Nasional. Momentum ini saya gunakan untuk mendorong masyarakat agar terus-menerus menjaga lingkungan. Mulai sekarang dan selamanya bersahabatlah dengan alam walaupun alam tidak bersahabat dengan kita. Artinya, peliharalah alam sebagai sahabat dekat: tidak melukai, apalagi menyakiti.
Untuk menyiasati saat alam tidak bersahabat adalah melakukan mitigasi. Sebab, bumi adalah habitat yang harus kita jaga untuk kelestariannya. Rumah dan keluarga adalah habitat terkecil di bumi.
Maka, untuk menjaga bumi, mulailah dari rumah. Kebersihan, keindahan rumah, dan keharmonisan adalah cerminan bumi yang lestari.
Di negara maju, jalan raya pun disapu bersih bagaikan lantai rumah. Bahkan, bila perlu dipel. Sungai-sungai selalu mengalirkan air tanpa limbah. Tanpa deretan rumah di pinggirnya. Ikan, itik, bebek, dan burung bebas liar menikmati alamnya di sungai dan danau.
Pepohonan berbaris rapi di tepi jalan. Pohon-pohon yang ada terawat bagaikan rambut manusia yang dipangkas secara periodik.
Demikian pula dengan dahan dan ranting. Pemotongan pun tidak sembarangan. Selalu mempertimbangkan sudut kemiringan. Semua diatur dengan baik. Sampah udara pun tidak bebas beterbangan. Langit selalu biru dan indah dipandang mata.
Perjalanan saya hari itu cukup lancar. Jalan yang ada selalu lengang. Truk-truk besar dan kendaraan umum lainnya selalu menggunakan jalan bebas hambatan. Itu sebabnya saya bergerak lebih lancar melewati Teluk Riga.
Hambatan serius saya siang itu adalah angin. Tiupannya cukup kencang sehingga beberapa kali saya terpaksa berlindung di belakang mobil pengiring agar dapat melaju lebih cepat.
Laut membeku
Memasuki Kilometer 82, persisnya sekitar pukul 15.30, saya dikagetkan dengan pemandangan alam di sebelah kiri jalan yang begitu menakjubkan. Dari kejauhan seperti ada dataran yang amat luas. Ternyata itu adalah laut yang tertutupi es. Sungguh luas dan sangat indah.
Saya pun penasaran dan meningkatkan laju kayuhan agar mendekati lokasi. Semakin dekat, saya semakin terpana dengan keindahannya. Begitu berada di lokasinya, rupanya hamparan yang menawan tersebut adalah laut yang telah membeku dan mengeras setelah cukup lama tertutupi salju. Laut tersebut masih dalam perairan Teluk Riga.
Rasa penasaran pun membubung tinggi. Benarkah laut dapat membeku seperti ini? Rasanya mustahil. Maklum, sebagai orang tropis, sejak kecil belum pernah menyaksikannya. Membayangkan laut membeku ibarat menyaksikan dunia kiamat.
Begitu berada di lokasi, saya seolah masih tidak percaya dengan kenyataan itu. Saya pun mencoba berjalan di atas hamparan laut yang membeku tersebut sejauh lebih kurang 25 meter ke tengah dengan menenteng sepeda. Kapan lagi berjalan di laut yang membeku. Saya mengabadikan diri dalam berbagai gaya. Tempat yang saya lewati telah mengeras seperti batu.
Ternyata, laut membeku itu sungguh nyata. Mungkin sejauh lebih kurang 2 mil ke tengah. Sungguh luar biasa. Sementara pantai, meski ada batas yang cukup jelas, telah pula tertutup salju. Rasanya mengerikan juga menyaksikan fenomena alam seperti ini.
Setelah itu, saya melanjutkan bersepeda menuju border Latvia-Estonia. Sekitar pukul 17.30, saya tiba di perbatasan dan masuk kota Metzapoole. Hingga mencapai kota ini saya sudah bersepeda sejauh 115,60 kilometer. Perjalanan hari itu sangat landai, di mana total ketinggian hanya 185 meter.
Memasuki wilayah Estonia, kami lagi-lagi melakukan ritual perbatasan. Setelah itu, saya pun loading menuju ke kota Parnu sejauh 75 kilometer. Malam itu kami menginap di kota ini. Suhu dingin tetap menjadi suasana yang sulit terelakkan.