Puasa di negeri orang kerap mengasyikkan. Bagaimana rasanya puasa di Hong Kong?
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·4 menit baca
Berpuasa identik dengan perjuangan berdamai dengan suasana, baik dari dalam diri maupun suasana di luar diri. Haus dan lapar sebagai bagian dari suasana dalam diri menjadi amat lumrah. Yang menarik justru menghadapi suasana di luar diri, apalagi jika suasana tersebut tidak biasa kita hadapi, seperti saat berpuasa di negeri orang dengan kultur yang berbeda, misalnya. Nah, ini sepercik cerita tentang berpuasa di Pelabuhan Harum alias Hong Kong.
Begitu check in hotel, resepsionis memberi tahu bahwa memasuki bulan Ramadhan, tamu bisa memesan makanan khusus untuk sahur. Makanan ini akan dikemas dalam kotak dan bisa diambil antara pukul 03.00 dan 04.00 waktu setempat. Saya menginap di kawasan Wan Chai, sekitar 38 kilometer dari Bandara Internasional Hong Kong. Hotel yang terletak di sebelah kantor berita Xinhua ini kala itu dihuni tak kurang dari 230 tamu dan hanya 4-6 orang yang berpuasa, begitu keterangan resepsionis.
”Apakah ada permintaan khusus tentang makanan sahurnya?” kata resepsionis berkaca mata yang enggan disebutkan namanya itu.
”Apa saja, yang penting tidak mengandung daging babi.”
”Oke. Dua kotak ya?”
”Betul,” kata saya yang sekamar dengan seorang fotografer dari Indonesia.
Kami sama-sama mengikuti acara Hong Kong Trade Development Council (HKTDC), the Hong Kong International Film and TV Market (Filmart) di Hong Kong yang digelar pada 10-14 Maret 2024. Beberapa delegasi dari Indonesia datang atas undangan dari Kementerian Pariwisata dan Perekonomian Kreatif, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaaan, Riset, dan Teknologi.
Pada Selasa (11/3/2024) dini hari kami mengambil kotak makan untuk sahur, yang rupanya hanya berisi dua kroisan yang dibelah dan disisipi seiris tipis daging salmon dan selembar daun selada. Lalu ditambah segelas plastik es jeruk. Semuanya dalam kondisi dingin. Yang terbiasa dengan sajian hangat di saat sahur, tentu dapat menimbang hasrat untuk makan dengan menu seperti itu. Apalagi di kamar kebetulan tidak ada alat pemanas atau microwave, hanya teko untuk membuat kopi atau teh.
Bukan salah orang dapur di hotel, salah kami juga tidak memberikan rincian pemesanan. Tapi mau tak mau kami harus makan sahur atau lemas seharian karena tidak makan. Akhirnya saya makan juga. Beruntung kami ada pasokan kurma dan roti gandum dan sebotol madu. Ini yang menjadi menu tambahan.
Keesokan harinya kami mengantisipasi itu dengan membuat catatan menu sahur dalam selembar kertas. Kami paham bahwa resepsionis restoran tidak begitu paham berbahasa Inggris, sementara kami buta bahasa China atau Kanton, yang sering digunakan warga Hong Kong. Ada tamu yang gagal mendapatkan makan sahur karena keterbatasan bahasa ini dan berujung kesalahpahaman. Kami tidak ingin itu terjadi, jadi menu kami tulis dalam dua bahasa Inggris dan China menggunakan bantuan Google Translate.
Menu itu adalah yogurt, omelet, hash brown, dan buah-buahan. Rupanya yang disetujui hanya yogurt dan buah-buahan. Alasan mereka, omelet dan hash brown tidak bisa disajikan dalam kondisi dingin karena akan merusak rasa, sementara mereka tidak mungkin menyediakannya dalam kondisi hangat karena melampaui jam kerja petugas dapur. Baiklah, alasan yang masuk akal.
Berbuka puasa
Selama puasa relatif tidak ada godaan yang berat. Bisa dibilang seperti saat puasa di Jakarta saja. Biasa, banyak yang makan siang atau minum kopi di tengah acara. Suhu udara kebetulan juga bersahabat, yakni antara 20 derajat celsius dan 13 derajat celsius saat di luar ruangan. Di dalam ruangan bisa 1 sampai 2 derajat lebih hangat. Bagi yang terbiasa berpuasa di tengah panas Jakarta, ini sebuah keberuntungan, tentu saja.
Yang menantang justru saat berbuka puasa karena ternyata tidak mudah menemukan restoran halal di Hong Kong, apalagi bagi pendatang baru. Untuk mengatasi ini perlu banyak mencari informasi di internet. Itu pun belum sepenuhnya sesuai selera.
Seperti pada Rabu (13/3/2024) kami menemukan informasi tentang tempat makan yang katanya serupa food court makanan-makanan halal di sebuah mal, Chungkin Mansions. Kami ke sana menggunakan kereta commuter line. Begitu tiba di sana ternyata tidak banyak pilihan, seragam makanan India atau Pakistan yang kebetulan kurang cocok dengan selera rekan seperjalanan. Akhirnya, kita pindah restoran di gedung lain.
Berrbeda dengan saat buka puasa hari sebelumnya, berkat panduan kawan dari rekan seperjalanan, kami diajak bertemu di sebuah restoran Islam Food yang berdiri sejak 1950 di Shun King Building, Tak Ku Ling Road. Jaraknya sekitar 30 menit perjalanan menggunakan kereta dan jalan kaki. Meskipun harus antre, makanan di sini memenuhi selera. Bahkan, ada sop daging dan kare daging kambing. Terasa betul saat itu puasa penuh berkah.
Apalagi dilanjutkan dengan shalat Tarawih di sebuah masjid tak jauh dari hotel. Di Masjid Ammar, yang juga menjadi Osman Ramju Sadick Islamic Center, ini ada dua kelompok jemaah shalat Tarawih. Kelompok pertama adalah orang-orang yang mengikuti shalat Tarawih di Masjidil Haram, Mekkah. Biasanya berlangsung sampai 1,5 jam karena bacaannya panjang-panjang. Mayoritas jemaahnya adalah orang Pakistan. Mereka shalat di lantai 2.
Kelompok kedua menjalankan shalat Tawarih dengan bacaan-bacaan pendek seperti di mushala atau masjid di Indonesia. Jemaahnya adalah orang-orang Indonesia, tentu saja. Dari sekitar 51 orang, 40 di antaranya perempuan. Mereka adalah para pembantu rumah tangga yang sudah bertahun-tahun bekerja di Hong Kong. ”Saya sudah 14 tahun di sini,” kata Riris (35), asli Malang, Jawa Timur.
Kelompok kedua ini shalat Tarawih di sebuah ruangan yang biasanya dimanfaatkan untuk ruang kelas atau seminar di bangunan yang sama dengan kelompok pertama tadi. Kelompok kedua memilih shalat dengan bacaan pendek karena mereka harus bekerja.
Meskipun dapat izin untuk menjalankan ibadah oleh majikannya, tidak lantas mereka bisa seenaknya. Dengan kata lain, ini cara kompromis berada di tengah dua kewajiban: kewajiban sebagai hamba sekaligus sebagai pekerja. Mereka menemukan titik keseimbangan di sana persis seperti pesan puasa, menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani.