Saya Mulai Bersepeda di Negeri Jerman
Kami memulai beraktivitas di tanah Jerman dengan mendengarkan lagu kebangsaan Denmark dan menyanyikan ”Indonesia Raya”.
Melakukan perjalanan bersepeda di Eropa pada awal tahun memang begitu banyak tantangan. Setelah beberapa pekan terhadang suhu dingin dengan salju yang membeku, di pengujung Januari 2024 saya menghadapi angin yang sangat kencang. Ini terjadi di Jerman utara. Kecepatannya mencapai 49,6 kilometer per jam.
Saya meninggalkan Kota Robdy, Denmark, pada 24 Januari 2024. Kota ini berada di tepi Laut Baltik dan menjadi salah satu pintu Denmark menuju ke atau dari Jerman melalui jalur laut di Selat Femer Baelt.
Robdy termasuk kota yang indah dan ramai. Mobilitas warga dari Denmark ke Jerman atau sebaliknya berlangsung hampir setiap saat dengan menggunakan kapal penyeberangan dan kapal cepat. Lama pelayaran paling lambat 45 menit. Jadi, jaraknya cukup dekat. Jutaan orang terangkut setiap tahun.
Saat ini Pemerintah Denmark dan Jerman sedang membangun terowongan bawah laut di Selat Femer Baelt sejauh 18 kilometer. Terowongan untuk jalur kereta api dan jalan bebas hambatan itu bakal menjadi yang terpanjang di dunia. Lama perjalanan kereta bakal hanya 7 menit, sedangkan mobil sekitar 10 menit.
Baca juga: Saya Sempat Terjatuh di Jalan Es
Proyek yang melintasi Laut Baltik yang dikenal sebagai Sabuk Fehmarn itu ditargetkan selesai pada 2029 dengan menelan biaya sekitar 10 miliar euro. Terowongan tersebut menghubungkan Rodbyhavn di Denmark dan Puttgarden di Jerman.
Bahkan, Denmark berencana membangun jalur rel kereta listrik berkecepatan tinggi melewati terowongan tersebut. Layanan kereta tersebut akan berlanjut hingga Swedia, Norwegia, dan Finlandia.
Suhu pagi itu sekitar satu derajat celsius. Perjalanan saya hari tersebut akan menuju ke kota Heiligenfafen, Jerman, melalui Puttgarden. Mengingat suhu semakin baik, saya mulai mengurangi pakaian anti dingin. Saya mulai bersepeda pada pukul 08.54. Dari hotel langsung menuju pelabuhan feri yang jaraknya tidak begitu jauh, sekitar 2 kilometer. Di Pelabuhan, setelah menyelesaikan urusan tiket, saya pun langsung menaiki kapal untuk mengantar menuju Puttgarden.
Pelabuhan ini tergolong ramai. Setiap saat kapal penyeberangan melayani mobilitas masyarakat dan kendaraan. Kapal yang beroperasi dalam berbagai ukuran. Ada pula kapal cepat. Kapal-kapal yang ada sangat bersih. Penumpang dan mobil yang berangkat dan tiba tampak lumayan banyak.
Setelah berlayar kurang lebih 45 menit, kami pun tiba di Pelabuhan Puttgarden, Jerman. Di pelabuhan, saat memarkirkan mobil pengiring, kami disambangi polisi setempat. Mungkin mereka melihat sebuah mobil dengan nomor polisi yang belum pernah dilihat di Eropa.
Mereka menyapa kami dengan ramah. Menanyakan asal kami, dan hendak menuju kemana?
Saya kemudian menjelaskan tentang perjalanan kami, yakni bersepeda dari Jakarta sejak 8 Juli 2023 melewati daratan Asia hingga mengelilingi Eropa dan akan finis di Paris saat menjelang pembukaan Olimpiade Musim Panas pada Juli 2024.
Mereka pun tercengang dan takjub. Kami tidak lupa menunjukkan surat izin mengemudi (SIM) internasional. Bahkan, tanpa diminta kami juga memperlihatkan paspor dan visa. Tak lama kemudian mereka menyilakan kami melanjutkan perjalanan.
Memang, polisi ini murni bertugas memeriksa dokumen perjalanan. Mereka bukan petugas keimigrasian, sekalipun di Jerman bagian keimigrasian menjadi bagian dari struktur dan organisasi kepolisian setempat. Negara lain yang imigrasi menyatu dengan kepolisian adalah China dan Iran.
Setelah itu, mereka pun berlalu. Kami memulai beraktivitas di tanah Jerman dengan melakukan ritual perbatasan. Kami mendengarkan lagu kebangsaan Denmark, lalu menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” sambil membentangkan bendera Merah Putih.
Ritual perbatasan ini sempat menarik perhatian warga setempat.Ada yang sempat memperlambat perjalanan sambil merekam video dan mengambil gambar. Mungkin mereka heran, kok ada tiga orang bernyanyi dan membentangkan bendera selain bendera Jerman? Ritual berlangsung cukup singkat. Tidak lebih dari 10 menit.
Angin kencang
Selepas itu, saya melanjutkan bersepeda menuju arah selatan. Dari Oslo perjalanan mengarah ke selatan. Kontur jalan yang ada beraspal sangat mulus dan cenderung landai. Salju nyaris tidak tampak lagi. Saya pun mengayuh penuh semangat. Gairah tersebut didukung pula oleh suhu udara yang kian kondusif.
Namun tanpa terasa embusan angin yang datang dari arah kanan mulai kencang. Semakin melaju, kecepatan angin sepertinya terus meningkat. Memasuki Kilometer 38,6 persisnya di Jembatan Fehmarn, saya merasa tiupan angin sudah melampaui batas kemampuan. Saya pun mengecek data pada Strava menunjukkan kecepatan angin mencapai 49,6 kilometer per jam. Sangat kencang. Ini sudah melampaui angin saat di Yunani mencapai 38 kilometer per jam.
Semula berniat mendorong saja sepeda hingga di ujung jembatan. Akan tetapi, jarak masih lumayan jauh. Apalagi, belajar dari pengalaman di Yunani, ketika sepeda pun nyaris terbang saat saya berhenti sejenak akibat tiupan angin yang kencang.
Saat itu, waktu menunjukkan pukul 12.30. Saya pun memilih berlindung pada sebuah tiang besar di tengah jembatan yang memiliki panjang 248 meter tersebut. Jembatan ini masih berada di Laut Baltik yang beroperasi sejak 30 April 1963.
Saat berlindung di tiang jembatan, saya mengontak mobil pengiring agar memutar balik menjemput saya. Tak lama kemudian mobil pun tiba dan mengangkut sepeda dan saya hingga di ujung jembatan.
Dari sana, saya melanjutkan bersepeda kembali sebab tiupan angin terasa mulai berkurang. Namun, lima kilometer berikutnya, angin kencang datang lagi. Data pada Strava menunjukkan kecepatannya mencapai 49 kilometer per jam.
Saya mencoba menyiasati dengan berlindung di samping mobil, juga tidak efektif. Malah berpotensi terjadi kecelakaan sebab di Eropa mengenal sistem lalu lintas kanan. Artinya, mobil atau kendaraan yang mendahului saya berada di sebelah kiri, sedangkan saya juga berada di sisi kiri karena angin datang dari sebelah kanan (barat).
Hingga di titik itu, gowes saya pada hari itu mencapai 44,13 kilometer. Persisnya di wilayah Heiligenfafen. Total ketinggian 277 meter. Saat itu waktu menunjukkan pukul 16.00. Dengan berat hati, saya memutuskan loading menuju Hamburg dan tiba pukul 19.00.
Begitu tiba, kami mencari penginapan menggunakan panduan dari google. Kami pun berhasil mendapatkan hotel dengan harga yang terjangkau sesuai keinginan. Saat perjalanan menuju Hamburg, kami memang sengaja belum memesan. Salah satu pertimbangan utama adalah kondisi cuaca yang sulit terprediksi. Ada kekhawatiran Laut Baltik pun tertutup salju, membeku dan membatu. Jika hal itu terjadi, pelayaran kapal bakal terhambat.
Memesan hotel dengan panduan Google selalu ada kelemahan. Yang paling nyata adalah harga. Biasanya harga hotel yang ditampilkan selalu lebih murah. Ketika tiba di hotel, harganya sudah bertambah beberapa euro.
Misalnya, data yang muncul pada google sekitar 90 euro, maka ketika tiba di hotel harga berkisar 100-105 euro. Kata petugas hotel, harga dari mereka yang tepat. Kasus seperti ini kami alami beberapa kali selama perjalanan di Eropa.
Restoran Indonesia
Keesokan harinya, yakni Kamis 25 Januari 2024, kami istirahat. Waktu yang ada kami manfaatkan untuk cuci pakaian, cuci sepeda, jalan-jalan menggunakan angkutan umum di Hamburg. Termasuk melakukan edit foto, video, dan saya menyusun laporan perjalanan.
Sekitar pukul 09.00, setelah sarapan pagi, kami meluangkan waktu mengunjungi Pelabuhan Hamburg dengan berjalan kaki. Pelabuhan ini termasuk salah satu yang tertua di dunia. Dibangun tahun 1189, ratusan tahun sebelum Indonesia Merdeka.
Kota Hamburg termasuk kota yang bersih dan indah. Kami tidak menemukan sampah yang berserakan di tepi jalan atau di depan gedung dan lainnya. Sungai pun bersih, bening, dan tanpa limbah. Trotoar juga bersih, rapih, dan lebar. Jalur sepeda selalu ada membentang dari jalan kecil hingga di jalan utama.
Masyarakat Hamburg juga sangat tertib dalam berlalu lintas. Saat lampu merah, para pejalan kaki berdiri sopan dan tertib. Mereka tidak sembarangan menyeberangi jalan raya. Sama sekali tidak tampak saling serobot di jalan raya. Tampak nyata sikap saling menghargai. Pejalan kaki dan pesepeda selalu mendapatkan prioritas. Di setiap lampu lalu lintas selalu ada kesempatan kepada pejalan kaki dan pesepeda terlebih dahulu menyeberang.
Dari Pelabuhan, kami menuju restoran Indonesia bernama Jawa Restaurant. Lokasi agak jauh sehingga kami naik tram. Sekitar pukul 11.30 sudah tiba di restoran itu. Saat itu pula restoran tersebut mulai buka.
Pemilik restoran seorang ibu asal Jakarta yang juga selaku kepala koki. Dia sangat terampil memasak. Semua menu yang disajikan khas Indonesia, seperti gado-gado, rendang, rawon, soto ayam, sayur lodeh, nasi campur, bakso, mi ayam, nasi goreng, mi pangsit, sate, bebek goreng, tumis daging sapi dan lainnya. Ada pula es teler dan es degan.
Restoran ini sudah beroperasi kurang lebih 30 tahun, sedangkan para pelayan umumnya warga Jerman keturunan Turki. Buka setiap hari. Untuk hari Senin sampai Kamis selama pukul 11.30 hingga 19.00. Khusus hari Jumat dan Sabtu buka pukul 11.30 hingga pukul 22.00. Hari Minggu tutup. Harga pun terjangkau. Umumnya tidak lebih dari 10 euro.
Makanannya enak dan lezat. Terbukti, tidak lama setelah buka, semua kursi dalam restoran sudah terisi penuh. Mayoritas tamu adalah masyarakat Hamburg. Mereka makan penuh semangat. Sepertinya ada yang menjadi pelanggan tetap.
Pada Jumat, 26 Januari 2024, saya melanjutkan bersepeda dari Hamburg menuju ke kota Seven. Saya memulai gowes pada pukul 08.48. Tiupan angin normal dan kondusif. Suhu udara pun terus membaik, yakni 4 derajat celsius. Namun, pagi itu suasana agak mendung.
Tidak lama bersepeda, persisnya di jembatan yang hanya khusus pejalan kaki dan pesepeda, saya berpapasan dengan tiga pemuda asal Ukraina.Mereka menyapa dengan ramah sehingga terjadilah obrolan yang hangat. Mereka menanyakan tentang saya, asal, dan aktivitas selama di Eropa. Saya pun menjelaskan garis besarnya.
Kemudian, saya meminta informasi tentang mereka. Ternyata mereka berasal dari Ukraina yang sedang melanjutkan studi di Hamburg. Mereka cukup bersahabat dan sangat antusias minta foto bersama.
Terowongan khusus
Kota Hamburg bukan kota pesisir pantai dan berada jauh dari laut. Kota ini adalah kota dengan memiliki cukup banyak sungai. Terbesar adalah Sungai Elbe yang mengalir di tengah kota. Sungai ini pula menjadi akses transportasi kapal sejak ratusan tahun silam yang mana muaranya ke arah barat, yakni di Laut Utara dan Laut Atlantik Utara.
Sebagai kota sungai, Hamburg sudah pasti memiliki banyak jembatan. Ada satu jembatan yang desainnya mirip Jembatan Ampera di Palembang. Saya sempat kaget. Bahkan, di bawah Sungai Elbe terbangun pula terowongan yang khusus pejalan kaki dan pesepeda.
Terowongan itu berada pada 12 meter di bawah permukaan sungai dengan panjang 426 meter. Di kedua ujung terowongan terbangun gedung beratap bulat. Pada gedung itu tersedia lift menuju terowongan. Menariknya, terowonganini dibangun pada tahun 1907. Melewati terowongan ini sesungguhnya di luar skenario perjalanan. Saat gowes di Hamburg, saya kemudian diarahkan Google Maps untuk melewati sungai. Begitu tiba, saya tidak melihat jembatan. Kapal atau perahu pun tidak tampak. Begitu pula dermaga.
Saya mulai kebingungan. Namun, Google tetap mengarahkan untuk menyeberang dari titik tersebut menuju ke selatan. Saya kemudian menanyakan kepada warga setempat dan para pesepeda yang sedang lewat. Mereka kemudian menjawab bahwa penyeberangan harus melewati terowongan sambil menunjukkan sebuah gedung sebagai sentra perjalanan. Saya pun mendatangi gedung beratap bulat tersebut dan menyeberangi terowongan.
Terowongan ini memang khusus pejalan kaki dan pesepeda. Tersedia dua jalur, dimana setiap jalur memiliki lebar sekitar dua meter. Sungguh menarik dan fantastis. Tak lama setelah keluar dari terowongan, hujan turun cukup lebat. Untung saja saya sudah mengenakan pakaian antihujan sehingga tetap melanjutkan gowes.
Pagi itu mobil tidak bisa mengikuti saya dari belakang sebab saya melewati jalur sepeda. Mobil terpaksa menggunakan jalur lain yang melambung cukup jauh.
Jalur sepeda di Hamburg sangat banyak, bahkan masuk hingga ke taman-taman kota. Ada juga jalur sepeda yang menyusuri irigasi. Hal ini mengingatkan saya tentang Selokan Mataram di Yogyakarta. Ada hamparan sawah dan jalur jalan beraspal di tepi irigasi. Para pesepeda selalu menyukai rute yang kini terkenal dengan jalur Luna Maya.
Bersepeda menuju kota Seven relatif lancar. Total jarak perjalanan mencapai 68,4 kilometer dengan elevation gain 270 meter atau cukup landai. Dari Seven, saya loading ke Kota Bremen dan menginap di kota ini.