logo Kompas.id
Politik & HukumJatuhnya Penjaga Konstitusi
Iklan

Jatuhnya Penjaga Konstitusi

Oleh
· 5 menit baca

Tertangkapnya Hakim Konstitusi (nonaktif) Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sekali lagi menandai rapuhnya benteng keadilan di Tanah Air. Kali ini lebih tragis lagi karena hakim yang semestinya menjaga norma-norma agar tetap sesuai konstitusi, diduga turut dalam perbuatan yang menodai cita-cita konstitusi itu sendiri.Peristiwa ini bukan kali pertama karena sebelumnya, awal Oktober 2013, KPK juga menangkap tangan Akil Mochtar (Ketua MK saat itu) dalam operasi tangkap tangan. Akil terlibat dalam sejumlah kasus suap dan jual-beli putusan sengketa pilkada. Akil dijatuhi hukuman seumur hidup.Penangkapan kembali hakim konstitusi menyisakan tanya: apakah hakim konstitusi tidak belajar dari pengalaman? Pertanyaan ini diulas lebih jauh dalam acara Satu Meja yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo di Kompas TV, Senin (30/1) malam. Sebagai narasumber dalam acara itu anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan; ahli hukum tata negara Refly Harun; peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun; dan mantan Hakim Konstitusi (2003-2013) Harjono.Pertanyaan dasar mengenai apakah hakim MK tidak belajar dari pengalaman tidak memperoleh jawaban pasti. Harjono mengatakan, dirinya yang 10 tahun bertugas di institusi itu pun tidak habis pikir mengapa penangkapan itu kembali terjadi. "Saya emosional dan sampai menitikkan air mata. Jika peristiwa ini dianggap sebagai hal yang biasa, ini menunjukkan turunnya martabat hakim MK. Apa yang salah? Saya tidak tahu. Mestinya MK belajar," kata Harjono.Penangkapan Patrialis menyiratkan ada problem di internal MK. Penangkapan Akil pada 2013 semula dipandang sebagai kesalahan individual. Namun, anggapan itu kini dipertanyakan karena jangan-jangan ada problem institusional di MK.Dewan Etik MK yang dibentuk sebagai respons atas penangkapan Akil pun dinilai tidak efektif. Sifat Dewan Etik di internal MK menjadi salah satu alasan mengapa lembaga itu tidak cukup kuat dan tegas dalam menindak pelanggaran hakim."Alasan kedua, kinerja Dewan Etik tidak transparan dan tidak partisipatif sehingga publik tidak mengetahui detail pemeriksaan atau sanksi yang dijatuhkan kepada hakim," kata Refly.Celah rekrutmenCelah yang ditimbulkan oleh lemahnya mekanisme pengawasan itu memburuk karena sistem rekrutmen hakim MK yang tidak akuntabel, transparan, dan partisipatif. Mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang tidak jelas diatur di dalam undang-undang mengakibatkan tiga lembaga, yakni DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden, tidak punya mekanisme baku dalam perekrutan hakim MK.Penunjukan Patrialis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2013, misalnya, memicu penolakan. Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan akhirnya dimenangi. Akan tetapi, Patrialis tetap diangkat sebagai Hakim Konstitusi setelah kasasi Presiden dikabulkan MA. Tama mengingatkan, ICW sebagai salah satu elemen yang termasuk di dalam koalisi itu mengajukan gugatan karena penunjukan Patrialis dinilai tidak transparan dan terbuka. Publik juga memiliki catatan kritis terhadap Patrialis."Selain integritas, rekam jejak, dan kejelasan statusnya sebagai pejabat atau bukan, hal lain yang harus diperhatikan ialah prestasi. Dalam kasus Patrialis, ia dicopot dari posisi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia karena tak perform dan saat mencalonkan dari DPR untuk menjadi hakim MK pun tidak lolos. Dengan materi semacam ini, hakim MK seperti apa yang dihasilkan," ucap Tama. Refly, misalnya, mencontohkan inkonsistensi sikap pemerintah dalam memilih hakim. Pada periode pertama, Yudhoyono membentuk panitia seleksi (pansel) untuk memilih hakim MK. Akan tetapi, pada periode selanjutnya, ia langsung menunjuk Patrialis, tanpa melalui pansel. DPR juga pernah mencoba beberapa model, salah satunya dengan mendatangkan panel ahli untuk mengukur kenegarawanan dan pemahaman calon tentang hukum tata negara. Untuk menyelamatkan MK, Presiden Joko Widodo diharapkan segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mengatur rekrutmen hakim dengan parameter jelas dan penguatan pengawasan hakim. Tanpa pengawasan kuat, MK seperti menciptakan kerajaan sendiri. "Kalau sudah ada perppu, janganlah dibatalkan lagi saat ada judicial review. Kalau perppu itu dibatalkan lagi, itu namanya MK tidak mau berubah," ujar Trimedya. Pemerintah pernah mengeluarkan Perppu No 1/2013 tentang MK setelah Akil Mochtar ditangkap KPK. Perppu yang kemudian menjadi UU No 4/2014 itu mengatur mekanisme seleksi hakim MK melalui panel ahli dan mensyaratkan jeda tujuh tahun bagi politisi yang ingin menjadi hakim MK. Perppu juga mengatur pengawasan melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK). Akan tetapi, perppu itu dibatalkan MK. Sebelumnya, MK melalui putusan Nomor 005/PUU-IV/ 2006 membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim MK. "Kalau bicara pengawasan, bi- sa menimbulkan resistensi MK. Istilah pengawasan itu bisa dialihkan menjadi upaya menjaga keluhuran dan martabat hakim. Upaya itu sebaiknya ditarik ke luar (eksternal). Jika dilakukan di internal MK akan menjadi tidak terbuka," ucap Refly."Keengganan" MK untuk diawasi ini berbahaya. Apalagi, jika menilik kembali kisah Lothario yang dikutip Multatuli dalam romannya, Max Havelaar. Drama yang dimuat di awal roman itu mengisahkan tentang Lothario, warga yang diajukan ke pengadilan karena dituduh membunuh perempuan bernama Barbertje. Lothario yang membela diri malah disebut hakim bersikap sombong karena mengaku bukan pembunuh dan orang baik. Bahkan, setelah Barbertje terbukti masih hidup, hakim itu tetap memerintahkan Lothario digantung. Dia dinilai salah karena dianggap congkak. Drama satir itu menggambarkan bagaimana seorang hakim "buta" dan mengakibatkan orang lain mati. Dalam negara demokratis, hakim dengan kualitas yang semacam itu tidak layak, lebih-lebih jika ia adalah hakim konstitusi yang setiap putusannya memengaruhi lebih dari 200 juta warga.(RINI KUSTIASIH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000