logo Kompas.id
Politik & HukumPelaku Teror dan Dunia Digital
Iklan

Pelaku Teror dan Dunia Digital

Oleh
· 4 menit baca

Fenomena lone wolf atau pelaku teror tunggal masih menyimpan misteri dalam upaya pencegahan terorisme di Indonesia. Pelaku teror tunggal secara diam-diam bermunculan seiring meluasnya penyebaran radikalisme di dunia maya.Pada era terorisme 2.0 atau setelah berakhirnya Al Qaeda dan munculnya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), serangan pelaku teror tunggal pertama kali terjadi di Indonesia ketika Leopard Wisnu Kumala melakukan pengeboman di salah satu pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, Oktober 2015.Kala itu, Leopard beralasan, dia tidak menyukai kawasan mewah di sekitar pusat perbelanjaan itu. Dengan berbekal kemampuan teknik informatika dan ilmu pembuatan bom di internet, Leopard merakit bom berdaya ledak rendah yang digunakan dalam aksi itu.Hampir setahun kemudian, tepatnya Agustus 2016, Ivan Armadi Hasugian melakukan aksi teror di Gereja Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara. Ivan juga belajar merakit bahan peledak melalui dunia maya. Berbeda dengan Leopard yang melakukan aksi karena sentimen pribadi, Ivan dipengaruhi paham radikal seorang terpidana perkara terorisme asal Bandung, Jawa Barat. Mereka intens berhubungan melalui Facebook pada akhir 2015. Bahkan Ivan juga berkomunikasi dengan Bahrun Naim, salah satu unsur pimpinan sayap NIIS asal Indonesia.Pada Oktober 2016, Sultan Azianzah jadi pembicaraan ketika menyerang polisi di Cikokol, Tangerang, Banten. Dengan menggunakan senjata tajam, ia menyerang tiga polisi yang tengah mengatur lalu lintas.Setelah mengikrarkan diri sebagai simpatisan NIIS, Sultan memperdalam pengetahuan radikal dari dunia maya.Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, aksi pelaku teror tunggal cenderung lebih rawan dibandingkan aksi sel-sel teroris yang berasal dari kelompok teroris tertentu. Ia memastikan, sebagian besar sel teroris telah dipetakan tim Datasemen Khusus 88 Antiteror Polri sebagai langkah pencegahan."Lone wolf ini belajar sendiri dari internet, teradikalisasi sendiri, dan melakukan operasi sendiri," kata Tito.Secara umum, menurut Daveed Gartenstein-Ross dan Nathaniel Barr dalam artikel berjudul "The Myth of Lone-Wolf Terrorism" yang dimuat majalah Foreign Affairs edisi Juli 2016, terdapat empat kategori teroris pelaku tunggal. Kategori pertama, pelaku teror tunggal telah dilatih dan diutus sebuah organisasi radikal, seperti NIIS. Kedua, para pelaku tunggal itu berhubungan melalui media sosial dengan perencana aksi teror, misalnya Bahrun Naim. Kemudian kategori ketiga adalah pelaku teror tunggal yang sempat melakukan kontak dengan kelompok teroris, tetapi tidak mendapat instruksi spesifik terkait aksi teror. Kategori keempat, yaitu bagi seseorang yang murni pelaku teror tunggal karena tidak pernah berkomunikasi dengan jaringan kelompok teroris, baik secara daring maupun langsung.Dari kategori di atas, tiga pelaku teror tunggal di Indonesia terdiri dari tiga kategori berbeda. Leopard termasuk dalam kategori keempat, Ivan jadi bagian kategori kedua, serta Sultan menjadi bagian kategori ketiga.Dari sejumlah aksi pelaku teror tunggal di Indonesia, baik yang dapat dicegah atau telah terjadi, tim Densus 88 Antiteror Polri mengategorikan aksi itu umumnya dilakukan oleh jaringan teroris di Tanah Air yang mendapat pengaruh dari teroris asal Indonesia di Suriah. Para teroris yang ada di Suriah itu mengirimkan dana dan mengarahkan teknis aksi pelaku teror tunggal di Tanah Air.Media sosialKehadiran pelaku teror tunggal tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dunia digital. Kini, seseorang dapat memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk menyebarkan paham radikal serta memanfaatkan aplikasi pesan, seperti Telegram dan Whatsapp, untuk berinteraksi dengan sel radikal. Sementara mesin pencar seperti Google sering dipakai untuk mencari informasi tentang keahlian tertentu, misalnya membuat bahan peledak.Dalam buku Lone Wolf Terrorism: Understanding The Growing Threat (2013), Jeffrey D Simon menjelaskan, internet juga digunakan pelaku teror tunggal untuk merencanakan aksi. Hal itu didukung sejumlah fasilitas, salah satunya Google Maps, yang dapat membantu mempelajari lokasi aksi teror.Pada masa mendatang, pelaku teror tunggal yang ahli komputer diperkirakan bisa memanfaatkan internet sebagai target aksi teror. "Bagi mereka yang tidak tertarik melakukan aksi di \'dunia nyata\', mereka bisa melakukan serangan terorisme siber dengan menyebarkan virus atau membajak data pemerintah dari ruang nyaman dan pribadi di rumah", tulis Simon.Menurut Simon, pelaku teror tunggal adalah sosok yang canggih dan menakutkan. Canggih karena mereka dapat merencanakan aksi teror secara kreatif dan inovatif, tetapi juga menakutkan karena mereka tidak memiliki rasa takut dan tidak segan memberikan penderitaan kepada target dengan kekerasan.Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan, aksi teror pada masa terdahulu menjadi modal bagi pelaku teror tunggal untuk melakukan aksi serupa. Oleh karena itu, pencegahan terorisme, termasuk "menjinakkan" lone wolf, perlu dilakukan dengan kombinasi strategi yang optimal dan berkesinambungan.Untuk meredam ancaman pelaku teror tunggal, program pemantauan dan pengawasan individu yang dilakukan tim Densus 88 Antiteror perlu dibarengi patroli siber yang secara khusus memantau interaksi dan perencanaan aksi teror di dunia maya. Namun, jangan dipinggirkan pula upaya kontra radikalisme di lembaga pendidikan, lingkungan sosial, dan internet, terutama untuk menguatkan kembali pemahaman Pancasila dan membatasi penyebaran paham radikal.(Muhammad Ikhsan Mahar)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000