logo Kompas.id
Politik & HukumKerja MK Belum Efektif
Iklan

Kerja MK Belum Efektif

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme penanganan perkara di Mahkamah Konstitusi selama ini dinilai belum efektif. Ada jeda yang relatif lama antara pemeriksaan perkara di persidangan dan waktu pembacaan putusan. Jeda waktu tersebut membuka potensi terjadinya jual beli perkara.Terkait dengan hal itu, Mahkamah Konstitusi (MK) diminta memperbaiki hal tersebut. MK diharapkan membuat skala prioritas dalam penanganan perkara, khususnya perkara yang menarik perhatian publik dan berdampak besar terhadap sistem ketatanegaraan RI. Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, Senin (20/2), yang dihubungi dari Jakarta, menengarai masih adanya masalah dalam penanganan perkara di MK. Misalnya, tidak ada skala prioritas dalam penanganan perkara. Padahal, penting bagi MK untuk membuat hal itu. Oce mencontohkan kasus uji materi ketentuan cuti petahana di dalam UU Pilkada, yang diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, hingga kini belum diputus. Padahal, tahapan cuti kampanye telah terlewati. "Pencari keadilan yang mengajukan uji materi tentu membawa ekspektasi, yakni dalam waktu cepat akan mendapatkan putusan final. Namun, ketika ekspektasi tidak terpenuhi, wajar ada pertanyaan mengenai kinerja MK," ujarnya.Salah satu perkara yang memakan waktu lama adalah uji materi UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berakhir dengan penangkapan mantan hakim konstitusi, Patrialis Akbar. Dalam salah satu fakta yang diungkapkan oleh Majelis Kehormatan MK, Kamaludin mempertemukan Patrialis dengan Basuki Hariman, importir daging. Dalam pertemuan itu, Basuki mengeluhkan lamanya penanganan uji materi. Perkara itu didaftarkan pada awal November 2015 dan diputus 18 Januari 2017. Berdasarkan data kepaniteraan MK, saat ini ada 52 perkara yang sejak akhir 2015 hingga awal 2017 belum diputus. Jeda yang terlalu panjang antara rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan pembacaan putusan membuka potensi terjadinya jual beli perkara. Atau, masuknya kepentingan-kepentingan lain dalam penentuan putusan. "Hal itu, misalnya, terbukti dengan kasus Patrialis Akbar," ujar Oce.Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, menuturkan, penundaan pembacaan putusan bertentangan dengan asas peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Penelitian Setara Institute menunjukkan, ada penundaan pembacaan putusan selama lebih dari 8 bulan terhadap 12 perkara uji materi di MK. Ketua MK Arief Hidayat menampik anggapan MK tidak efektif dalam bekerja. "Para hakim bisa melakukan RPH lebih dari sekali karena harus berargumentasi dengan landasan dan referensi akademis. Setelah RPH, masih ada tahapan finalisasi draf yang dilakukan hakim drafter, dan harus dipaparkan di dalam RPH," katanya. (REK)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000