logo Kompas.id
Politik & HukumPerkuat Gerakan Moderasi
Iklan

Perkuat Gerakan Moderasi

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan kekuatan Islam moderat di Indonesia. Dengan caranya masing-masing, kedua ormas keagamaan itu tetap harus terus memperkuat gerakan moderasi beragama dan menjalin kerja sama dengan jejaring kelompok moderat lainnya. Demikian diyakini Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu\'ti saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (12/3). Langkah yang kini dilakukan Muhammadiyah adalah menindaklanjuti hasil-hasil Tanwir Muhammadiyah 2017 di Ambon bulan lalu secara internal dan eksternal. Internal tentunya penguatan kelembagaan. Sementara langkah keluar adalah mengintensifkan komunikasi dengan para tokoh lintas organisasi dan politik. "Komunikasi ini termasuk dengan kader-kader Muhammadiyah yang ada di partai politik dan pemerintahan. Muaranya pada pelaksanaan Deklarasi Ambon," ucapnya.Deklarasi Ambon yang dibacakan di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla memuat sejumlah poin untuk menegakkan kedaulatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menjaga kebinekaan termasuk di dalamnya. Menurut Mu\'ti, Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi besar tentu memiliki banyak varian di dalamnya. Sebagian cenderung liberal, sebagian cenderung radikal. Namun, arus utama tetaplah kelompok moderat. Pengurus pusat selalu berusaha menjaga Islam moderat yang sudah disepakati bersama. Hal senada dikatakan Ketua Pengurus Besar NU Robikin Emhas. NU mengatakan garis gerakannya sebagai Islam moderat dengan contoh nyata. Pertemuan PBNU menempatkan ulama khos dalam posisi tinggi yang selalu dimintai pertimbangan dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Hal ini yang membuat PBNU akan menggelar pertemuan dengan 99 kiai khos pada 16 Maret di Rembang, Jawa Tengah. Selain meminta pandangan para ulama, pertemuan itu juga untuk menggaungkan wajah Islam ahlus sunnah wal jamaah sebagai upaya untuk menunjukkan wajah Islam yang ramah kepada dunia global. Robikin mengatakan, sinergi antara ulama (pemimpin agama) dan umara (pemimpin negara) harus terus dilakukan sebagaimana sejarah mengajarkan. "Pak Said (Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj) mengatakan, masa depan Islam Nusantara semakin kuat dan jaya. Masyarakat tidak pernah berhenti tahlil, ziarah, haul, serta menyambungkan batin spiritualitasnya dengan para wali, ulama, dan orang-orang saleh. Warga NU tetap haul dan tahlil karena sudah merasakan nikmatnya dekat dengan ulama," katanya. Sebelumnya, peneliti LIPI, Syamsuddin Haris, dan pengamat politik, AS Hikam, menyentil peran NU dan Muhammadiyah yang kurang strategis dalam menghadapi radikalisme. Kedua ormas itu dinilai terlalu santai karena ada di zona nyaman dengan jemaahnya yang besar. Langkah strategis mendesak dilakukan saat radikalisasi semakin menggerus moderasi (Kompas, 10/3). Mu\'ti menuturkan, Muhammadiyah dan NU tetap tidak bisa mengabaikan kecenderungan radikalisme yang menguat karena faktor pendidikan dan perkembangan dunia global. Radikalisme tumbuh karena faktor politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Sebagian umat Islam diperlakukan tidak adil. Sebagian cenderung radikal karena pengalaman pendidikan baik di dalam maupun luar negeri. "Namun, saya yakin, Islam moderat di Indonesia terlalu besar untuk tumbang atau ditumbangkan," ucapnya. (IVV)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000