JAKARTA, KOMPAS — Pembuktian penodaan agama dengan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana bukan hal yang mudah. Tindakan yang masuk klasifikasi penodaan agama harus nyata, tidak bisa hanya berasal dari suatu pernyataan yang lalu ditafsirkan menginjak harkat agama tertentu.
Ihwal itu disampaikan ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy), dalam persidangan perkara penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (14/3).
Eddy dihadirkan sebagai saksi ahli oleh tim penasihat hukum terdakwa. Selain Eddy, juga dihadirkan tiga orang lain yang merupakan saksi fakta yang meringankan. Mereka ialah Suyanto (sopir Basuki), Fajrun (teman sekolah Basuki), dan mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Belitung Juhri.
Dalam menggunakan Pasal 156a KUHP, penjelasan dan pemaknaan pasal itu juga harus didalami. Faktor kesengajaan tak cukup untuk menjerat seseorang dengan pasal tersebut. "Tak hanya karena kesengajaan, tapi juga niat. Untuk itu, saat pemeriksaan terdakwa, majelis hakim dapat mengeksplorasi sehingga setelah disandingkan dengan fakta persidangan dapat disimpulkan kemudian," ujar Eddy.
Isi KUHP Pasal 156a berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a). Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, b). Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Keseharian
"Keseharian terdakwa juga harus dilihat jika seperti ini. Itu salah satu indikator walau bukan menjadi satu-satunya. Berbeda jika seseorang dengan jelas diketahui merobek atau menginjak-injak kitab suci, itu jelas menghina. Tapi jika yang dilakukan berupa pernyataan, harus dilihat secara holistik bahkan dengan mendatangkan sejumlah ahli, termasuk ahli fisiologi untuk menilai gerak tubuh dan mimik wajah," ujar Eddy di persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto.
Validitas kesaksian dalam upaya pembuktian juga jadi hal yang harus dipertimbangkan dalam perkara penodaan agama ini. Kesaksian dari saksi fakta yang tidak hadir di lokasi sulit dinilai independensinya dan dikhawatirkan sarat motif tertentu. Untuk itu, penanganan perkara semacam ini mesti dilakukan dengan sangat berhati-hati.
Unsur bersifat permusuhan, katanya, juga umumnya bisa terlihat dari keseharian yang bersangkutan. "Apakah memang orang itu kerap menebar kebencian atau menunjukkan rasa permusuhan terhadap agama tertentu? Itu harus dilihat dari kesehariannya. Itu salah satu indikator, walau bukan merupakan satu-satunya," ujar Eddy.
Mengenai keseharian Basuki, Suyanto bercerita pengalamannya selama bekerja dengan Basuki. Ia justru selalu diingatkan beribadah oleh Basuki. Bahkan Basuki tak pernah keberatan menunggu Suyanto menunaikan shalat Jumat saat keduanya sedang dalam perjalanan. "Pak Basuki bilang waktu itu \'Sudah kamu shalat dulu, saya tunggu di mobil\'," ujar Suyanto.
Begitu pula dengan Fajrun, ia mengungkapkan Basuki tak pernah tebang pilih dalam memberikan bantuan. Hubungan sosialnya dengan penganut agama lain di Belitung pun terjalin baik. Bahkan, di hadapan majelis hakim yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto, Fajrun menyatakan Basuki beberapa kali membiayai umrah warganya. (IAN)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.