JAKARTA, KOMPAS — Komando Armada RI Wilayah Barat TNI Angkatan Laut menangkap dua tanker yang dibawa kabur dari perairan Malaysia di perairan Tanjung Uma, Batam, Kepulauan Riau. Panglima Komando Armabar Laksamana Muda (TNI) Aan Kurnia dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (25/4), mengatakan, informasi awal tentang kaburnya kapal tanker tersebut diterima dari Agency Penguatan Maritim Malaysia atau Bakamla Malaysia.
Kapal yang ditangkap itu bernama MT Brama Ocean yang berbendera Malabo dan MT Orca yang berbendera Fiji. Adapun ABK MT Brama Ocean diketahui ada tujuh orang dengan 4 orang di kapal dan 3 orang turun ke darat. Sementara ABK MT Orca sebanyak empat WNI.
Laporan diterima Komando Armabar pada Sabtu (22/4) sekitar pukul 17.30 tentang hilangnya kapal MT Orca yang diikuti informasi tentang raibnya kapal MT Brama Ocean. Upaya pencarian dilakukan di sekirar perairan Batam, Bintan, dan Tanjung Balai Karimun. Keesokan harinya, pukul 08.30 WIB, Sea Rider Unit 1 Jatanrasla (Kejahatan dan Kekerasan di Laut) berhasil menemukan dua kapal tersebut di perairan Tanjung Uma, Batam.
Menurut Panglima Komando Armabar, kedua kapal itu berlayar tanpa port clearance atau izin berlayar, dari Malaysia yang melanggar Pasal 323 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta Pasal 303 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 yang menyatakan kapal dioperasikan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan berlayar.
Aan menuturkan, saat ditangkap, diketahui kapal tersebut karena tidak mempunyai dokumen yang sah. Ia menyebut ada sanksi yang bakal diberikan atas kapal tersebut. ”Sesuai aturan, dia melanggar apa, ini masih didalami kedua belah pihak. Sanksi terberat bisa didata oleh negara, nanti bisa dilihat lagi bagian hukumannya juga berat, jumlahnya juga besar. Ini dengan undang-undang, dengan aturan yang ada,” katanya. Aan tidak mau mengomentari dugaan kedua kapal itu membawa muatan minyak ilegal.
”Armada Hantu”
Dihubungi per telepon, Direktur Institute for Defense, Security, and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim menerangkan bahwa ada fenomena ”Armada Kapal Hantu” (Phantom Fleet) di Selat Malaka. Armada Hantu yang dimaksudkan adalah kapal-kapal yang lego jangkar di perairan antara Malaysia, Singapura, dan Indonesia tanpa maksud dan tujuan jelas.
”Kapal-kapal tersebut kemudian beraktivitas memuat barang rompakan atau jarahan yang kemudian mereka bawa ke negara ketiga, tempat penadah yang membeli barang rompakan. Sebagian besar kapal Armada Hantu adalah kapal tanker atau kapal barang,” ujar Mufti Makarim.
Menurut Mufti Makarim, perairan Selat Malaka adalah perairan dengan ancaman perompakan kedua paling berbahaya sesudah Teluk Aden atau perairan Somalia. Efektivitas patroli bersama Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan juga, misalnya, perjanjian Indonesia, Malaysia, Filipina di Laut Sulu harus dimaksimalkan.