Jual-Beli Status WTP BPK, dari Puluhan Juta hingga Miliaran Rupiah
Oleh
Riana Ibrahim
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jual-beli opini Badan Pemeriksa Keuangan bukan merupakan hal baru. Beberapa kali para auditor BPK justru meraup untung dari menjajakan status wajar tanpa pengecualian atau status wajar dengan pengecualian kepada sejumlah lembaga negara yang membutuhkan. Harga jual-beli status itu berkisar dari puluhan juta hingga miliaran rupiah.
”Mendapatkan status tersebut dari BPK memang berdampak besar pada lembaga negara atau pemerintah daerah terkait. Kepercayaan publik meningkat, reformasi birokrasi dianggap berhasil sehingga modus suap pun dihalalkan,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Hendri, di Jakarta, Sabtu (27/5).
Para auditor pun memanfaatkan momen ini. Saat integritas yang semestinya dijaga justru ditanggalkan, dengan harapan tidak ada yang menyadari aksi licik mereka dalam mengobral status opini lembaga pemeriksa keuangan tersebut.
Pada 2010, dua auditor BPK Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto, mendapat ganjarannya. Mereka dijatuhi vonis 4 tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp 400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dengan maksud memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Bekasi Tahun 2009.
Pada 2016, giliran bekas auditor BPK Sulawesi Utara, Bahar, yang dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Ia disebut pernah meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) hampir di seluruh Sulawesi Utara. Para pejabat pemkab atau pemkot tersebut pun dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.
Belum lama ini, dalam sidang perkara kartu tanda penduduk elektronik, salah seorang auditor BPK bernama Wulung juga disebut menerima uang Rp 80 juta. Seusai penerimaan uang tersebut, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mendapat status WTP pada 2011.
Beberapa kasus ini hanyalah sekelumit permainan kotor para auditor untuk menipu publik dan mengamankan para pejabat lembaga negara yang tidak mampu mengikuti aturan dalam mempertanggungjawabkan penggunaan anggarannya. Tidak mengherankan, banyak lembaga yang mengantongi status WTP, tetapi laporan keuangan dan kinerjanya masih karut-marut.