Membumikan Pancasila dengan Perdebatan Wacana hingga Implementasi
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membumikan nilai-nilai Pancasila perlu dilaksanakan dari tataran wacana hingga implementasi. Sebagai dasar negara, Pancasila perlu menyentuh dan hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia yang majemuk, sekaligus sebagai wadah keragaman dan penangkal ideologi radikal.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, Kamis (8/6), menyampaikan, setidaknya ada tiga tataran yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan untuk membumikan Pancasila, yakni pada tataran diskusi wacana di kalangan akademisi, tataran praktis dalam penyusunan kebijakan di pemerintahan, serta tataran implementasi di masyarakat.
”Tiga tataran ini harus dilaksanakan. Pada tata pertama, saya kira, itu yang sudah dilakukan pada Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, oleh ketuanya Yudi Latif. Di sini perlu dibangun diskusi terkait Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ada makna filosofis secara akademis yang perlu didalami sehingga Pancasila berada di perangkat atas dibandingkan ideologi lain,” tutur Imam.
Pada tataran kebijakan, nilai-nilai Pancasila harus dijabarkan secara konkret dalam setiap kebijakan, baik dalam program pembangunan di masyarakat maupun kebijakan dalam kerukunan antarumat beragama, pendidikan, dan juga dalam kehidupan sosial.
Sila pertama ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, kata Imam, dapat dikonkretkan lewat program pendidikan yang bertujuan membangun religiositas untuk memahami kehidupan dengan berdekatan pada alam dan kehidupan sosial.
Ada makna filosofis secara akademis yang perlu didalami sehingga Pancasila berada di perangkat atas dibandingkan ideologi lain.
”Membangun religiositas itu bukan menambah jam pelajaran agama, tetapi bagaimana merenungi kejadian alam dan kehidupan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Kata kuncinya adalah mengalami, untuk merasakan ketuhanan, mendekatkan diri kepada alam dan sosial,” ujar Imam.
Partisipasi masyarakat
Kemudian, pada sila ketiga ”Persatuan Indonesia”, menurut Imam, dapat diimplementasikan pada kebijakan pembangunan di Indonesia yang mengedepankan partisipasi masyarakat. Pembangunan yang hanya menggunakan pendekatan proyek diyakini tak akan menumbuhkan modal sosial. Oleh karena itu, perlu dirancang pembangunan yang dapat mendorong keterlibatan publik dan masyarakat.
”Seperti sekarang, walau banyak sekali pembangunan infrastruktur, hingga Rp 300 triliun, tetapi itu juga mengundang pertanyaan di mana partisipasi publik,” jelasnya.
Partisipasi publik dalam pembangunan ini, lanjut Imam, cukup penting karena sekaligus dapat dijadikan wadah menjaga nilai gotong royong, toleransi, dan keberagaman. Kelompok yang bermusuhan didorong untuk kerja sama dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini, ujarnya, merupakan bagian dari tataran implementasi yang dapat menghadirkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Jika Pancasila dapat benar-benar dihidupkan dalam kegiatan masyarakat sehari-hari, menurut Imam, itu dengan sendirinya akan membangun keadilan sosial bagi seluruh bangsa. Dalam hal ini, Pancasila digunakan sebagai ideologi yang dapat memberikan keadilan, bukan digunakan oleh penguasa untuk mengindoktrinasi pengaruhnya.
”Pancasila jangan digunakan sebagai ideologi penguasa, melainkan sebagai cara untuk menumbuhkan keadilan dan pembangunan partisipatorif. Keadilan jadi narasi dan wacana dan tugas pemerintah menjabarkan dalam kerjanya,” ucap Imam.
Selama nilai-nilai Pancasila hidup di masyarakat, kata Imam, niscaya baik ideologi kanan maupun kiri yang radikal akan sulit memengaruhi kehidupan masyarakat. Sebab, lewat implementasi sila keempat ”kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dan permusyawaratan”, masyarakat dibiasakan hidup dengan bermusyawarah terhadap sesama ataupun kelompok yang berbeda.
Pancasila tak digunakan sebagai ideologi penguasa, melainkan sebagai cara untuk menumbuhkan keadilan dan pembangunan partisipatorif.
Lewat musyawarah yang tentunya berkeadilan, setiap kelompok dijamin menyuarakan pemikirannya. Dengan demikian, ideologi radikal yang dibawa oleh sekelompok orang pun akan mengalami sintesa dengan ideologi yang memihak pada keberagaman.
”Lewat musyawarah, nanti kan diuji baik yang ideologi kiri yang radikal maupun ideologi kanan yang radikal, termasuk ideologi Pancasila. Di sana akan terjadi proses dialogis sehingga ideologi radikal ini tak akan mudah memengaruhi masyarakat,” tutur Imam.