logo Kompas.id
Politik & HukumPasal Makar Perlu Dimaknai...
Iklan

Pasal Makar Perlu Dimaknai Ulang

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pemaknaan ulang atau reinterpretasi terhadap pasal-pasal makar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana diperlukan untuk menjamin relevansi pasal-pasal peninggalan era kolonial itu dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia. Pasal yang mengatur tentang makar dalam KUHP cenderung represif karena masih menganut pola pikir kolonial Belanda yang pada zaman itu merupakan negara monarki.Upaya reinterpretasi terhadap pasal itu, antara lain, dilakukan melalui uji materi pasal-pasal tentang makar, misalnya Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139 a, Pasal 139 b, dan Pasal 140 KUHP, terhadap Undang-undang Dasar 1945."Kami tidak meminta MK (Mahkamah Konstitusi) membatalkan pasal-pasal itu, tetapi memberi tafsir atau memaknai kembali makar itu supaya tidak terlalu lentur sehingga berpotensi untuk disalahgunakan oleh penguasa," kata Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), seusai menghadiri sidang lanjutan uji materi pasal-pasal makar di gedung MK, Jakarta, Selasa (13/6).Dua ahli yang dihadirkan ICJR dalam sidang, Roichatul Aswidah (anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dan Anugerah Rizki Akbari (pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia), menyebutkan perlunya pembatasan definisi makar dalam KUHP. Selama ini, definisi makar sangat luas sehingga bisa dimaknai apa pun, termasuk sikap tidak setuju terhadap pemerintahan yang sah. "Menjahit bendera Republik Maluku Selatan (RMS) saja bisa disebut makar. Padahal, untuk melihat itu suatu perbuatan makar atau tidak harus dilihat konteksnya. Apakah seseorang yang menjahit bendera RMS itu terkait dengan organisasi atau hanya orang suruhan dan apakah di lingkungannya memang terdapat RMS," kata Roichatul dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.Dengan pertimbangan itu, Rizki mengatakan, definisi makar lebih baik jika dibatasi hanya pada ada atau tidaknya serangan (aanslag). Suatu perbuatan belum bisa disebut sebagai makar jika tidak ada pengerahan pasukan atau pelibatan senjata. "Perbuatan makar tidak harus menunggu selesai. Artinya, makar bisa ditindak tanpa menunggu perbuatan itu terlaksana. Ketika sudah ada permulaan perbuatan, makar sudah bisa ditindak. Niat dan perencanaan saja tidak cukup untuk menilai apakah suatu perbuatan itu bisa disebut sebagai makar," tuturnya. MK, kemarin, juga memeriksa permohonan uji materi pasal-pasal makar yang dimohonkan oleh enam pemohon dari Papua. "Pasal makar memberikan dampak mendalam bagi orang Papua. Sebab, selama ini, pasal itu kerap digunakan untuk memenjarakan mereka yang aktif berunjuk rasa di Papua," kata Yusman Coronas, kuasa hukum warga Papua. Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Hukum UI Satya Arinanto mengatakan, pasal makar dalam KUHP mengikuti semangat zaman kolonial Belanda yang melindungi ratu dan takhtanya dari serangan. Pasal makar tidak harus dihapuskan, tetapi perlu direinterpretasi dengan semangat negara merdeka dan demokrasi. (REK)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000